15 Februari 2010

» Home » Suara Merdeka » Aliran Sesat di Balik Etos Ekonomi

Aliran Sesat di Balik Etos Ekonomi

FENOMENA aliran sesat yang belakangan muncul bersamaan menjadi catatan penting dalam laju agama di peradaban informasi ini. Hampir secara serentak aliran sesat itu muncul di Kudus, Pati, dan Polewati Sulawesi Barat. Semuanya mengatasnamakan sebagai juru selamat yang akan membawa manusia pada jalan kebenaran dan surga.


Di Kudus, aliran sesat disebarkan oleh Sabdo Kusumo dengan pengakuannya sebagai nabi sekaligus rasul akhir zaman. Aliran ini heboh karena mencuat pada jantung relegius masyarakat Kudus, yakni kompleks Menara Kudus. Di Pati, muncul di daerah Sokopuluhan Puncak Wangi dengan nama A’maliyah. Aliran ini diduga sesat karena mengajarkan hal-hal di luar ketentuan Islam. Di Polewali muncul aliran keagamaan Pua Imma, dan tokoh aliran ini mengaku dirinya sebagai Nabi Khidir.

Aliran sesat yang muncul di Indonesia telah lama terjadi. Sejak kemunculan paling ramai Kerajaan Langit Lia Aminuddin atau Lia Eden sampai paling singkat dan langsung bertobat, Ahmad Mushadeq. Aliran sempalan ini lahir dari kegelisahan akan ketidakpastian hidup. Lia dalam Perkenankan Aku Menjelaskan Sebuah Takdir (1998) mengaku bahwa dirinya bersama Malaikat Jibril dan Nabi Isa datang ke bumi menyelamatkan manusia dari kesesatan.
Lia merasa bahwa dirinya telah mendapat titah dari langit sebagaimana nabi-nabi sebelumnya untuk menyampaikan kedamaian dan mengajak pada keselamatan hidup.

Aliran sesat yang muncul ini menurut analisis Adi Ekopriyono (2005: 150-152) menyitir pendapat John Naisbitt merupakan imbas dari gejolak globalisasi. Globalisasi yang ditandai dunia yang datar meyimpan gejolak kemunculan kembali nilai-nilai dasar kehidupan. Agar tak tercerabut dari akar agamanya maka muncul arus kuat refundamentalisasi agama dengan tujuan memperkuat basis komunitasnya.

Pada titik ini munculnya aliran sesat adalah sebagai basis penguatan nilai-nilai kehidupan. Di sisi lain aliran sesat juga sebagai “pelarian” dari agama resmi yang dinilai tidak bisa menyelesaikan masalah. Agama resmi yang dianutnya sibuk dengan dirinya sendiri. Elite agama yang seharusnya menyambangi umatnya malah asyik berpolitik. Agama menjadi candu, seperti diungkap oleh Karl Marx.

Agama tak menjalankan fungsinya sebagai the way of live. Permasalahan umat terbesar dan pelik adalah soal ekonomi yang tentunya dianggap tidak dijawab oleh agama. Aliran sesat yang muncul tak lepas dari kegelisahan kondisi ekonomi. Ekonomi dalam kehidupan global ini menjadi jantung kehidupan dan pusara ketentraman sehingga orang dengan tergesa-gesa ingin memilikinya dengan berbagai cara.

Agama sebagai jalan kehidupan dituntut untuk mengeluarkan manusia tidak hanya dari kesesatan teologi tetapi duniawi dengan pemberdayaan ekonomi umatnya. Pergerakan agama yang bertumpu pada pemajuan etos ekonomi umatnya ini merupakan peleraian dari aliran sesat.

Sebagai sebuah ideal, Zuly Qodir dalam Agama & Etos Dagang (2002), merumuskan bahwa agama sejatinya memberikan pengaruh etos ekonomi kepada umatnya. Keberadaan agama diposisikan sebagai pendorong semangat ekonomi. Nilai-nilai agama digali, ditelaah, dan difungsikan sebagai pendobrak kejumudan ekonomi.
Etos Ekonomi Zuly meneliti etos dagang masyarakat di Pekajangan, Pekalongan yang berakhir pada kesimpulan bahwa pengaruh agama sangat kuat dalam memotivasi etos ekonomi. Pengusaha di Pekajangan memanfaatkan gerakan sosial sebagai wadah elaborasi implementasi agama. Agama menjanjikan imabalan besar dan melimpah, ketika aktivitas sosial dengan pengeluaran harta untuk kemaslahatan umat. Di sini terlihat agama tidak hanya berorientasi vertikal, melainkan horisontal.

Sifat agama sebagai pendorong ekonomi sebetulnya telah lama digemakan oleh Max Weber dengan buku terkenalnya The Protestant Ethicand Spirit of Capitalism. Weber membicarakan bahwa etika protestan menjadi kelahiran kapitalisme awal. Semangat agama melatari ekspansi ekonomi di barat. Ini sinkron dengan semboyan Belanda ketika menjajah Indonesia dengan semanat 3 G (gold, glory, dan gospel). Emas (gold) dan agama (gospel) menjadi satu padu dalam semboyan itu. Ini tentunya mengartikulasikan kebutuhan gold dalam gospel sangat penting dan saling mengait.

Pengokohan ekonomi umat dalam agama merupakan jalan terbaik dan solutif mengatasi aliran sesat. Aliran sesat yang kini bertebaran dan tidak menutup kemungkinan akan muncul lagi adalah bagian dari kehidupan agama kita. Dengan kata lain, kita pun secara tak langsung menyebabkan munculnya aliran sesat.

Sikap sosial yang minim dan mengakarnya individualistis dalam kehidupan modern ini membuat sebagian orang yang kondisi ekonominya rendah mencari jalan alternatif yang lebih menjanjikan guna memperoleh ketentraman batin. Andai aspek ekonomi dari umat agama terpenuhi setidaknya ia merasa telah dianggap sebagai bagian integral dari agama. Pemenuhan aspek ekonomi adalah bagian dari ketentraman menjalankan agama. (10)

— Zakki Amali, sedang meneliti orientasi keragamaan di Kudus, peneliti dari Paradigma Institut

Wacana Suara Merdeka 16 Februari 2010