Oleh Didin S Damanhuri
(Guru Besar Ekonomi-Politik, FEM IPB)
Kalau ditanyakan apa bedanya antara 'ekonomi arus tengah' (Neoliberalisme) dengan Ekonomi-Politik Indonesia untuk Rakyat (baca: EPI-R). Secara sederhana Ekonomi Neolib sangat percaya pada instrumen pasar sebagai solusi untuk menyelesaikan problem ekonomi dan sosial serta menempatkan kaum pemilik modal sebagai agen terpenting untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi.
Baru dengan keberhasilan mencapai pertumbuhan nantinya diharapkan terjadi penetesan ke bawah (trickle down effect ) untuk menyelesaikan masalah kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. Sementara, EPI-R lebih percaya kepada direct attack to proverty, unemployment, and income inequality alleviation di mana peran negara yang efektif, mekanisme pasar yang fair , swasta (kaum modal) yang punya tanggung jawab sosial serta mendorong gerakan koperasi, serikat buruh, juga tani dan nelayan yang secara sinergi memperjuangkan keadilan sosial dan menghindari hegemoni kaum modal.
Hingga sekarang, belum ada negara sebagai model neolib yang berhasil. Buktinya AS sebagai surga neolib hingga kini dihinggapi sekitar 22 persen kemiskinan menurut garis kemkiskinan mereka disertai ketimpangan yang sangat mencolok, di mana kelompok 40 persen termiskin hanya memperoleh kurang 17 persen dari PDB. Sementara Uni Eropa, khususnya Eropa Utara dengan PDB per kapita melebihi AS, 40 persen warga miskinnya memperoleh lebih dari 22 persen PDB (menurut Bank Dunia mesuk kategori merata).
Model Eropa (Utara) ini bukan laissez faire (model neolib), karena kuatnya Civil Society, serikat buruh, gerakan koperasi, dan sistem jaminan sosial yang menjamin kesejahteraan kaum dhuafa. Demikian juga, Model Jepang yang sama level kesejahteraan kaum buruh dan tani serta masyarakat umumnya seperti gambaran di Eropa utara di atas.
Indonesia secara normatif (konstitusi UUD 45) memiliki prinsip-prinsip EPI-R yang juga menyempal ( heterodox ), baik terhadap model neolib maupun sosialis. Tapi, sejak awal kaum ekonom yang mengisi wacana maupun program aksi dan kebijakan dalam pemerintahan umumnya masih jauh dari orientasi konstitusi. Meskipun, sejak awal pun terdapat para pejuang EPI-R. Sengaja istilahnya tak menyebut sekadar ekonomi, berhubung kompleksitas yang terjadi di dalam tubuh bangsa ini. Sehingga, Prof Sayogyo pernah membuat adagium terkenal: 'jika mau melihat ekonomi Indonesia, lihatlah politiknya. Sementara kalau mau melihat politik, lihatlah ekonominya'.
Dalam konteks ini, saya menyambut sangat antusias deklarasi terbentuknya Asosiasi Ekonomi-Politik Indonesia (AEPI) tanggal 9 Februari 2010 di Jakarta. Dalam deklarasi tersebut, asosiasi ini bersifat multidisiplin (tak hanya kaum ilmuwan berbagai disiplin, juga LSM dan para pemberdaya masyarakat) yang memperjuangkan langsung kesejahteraan rakyat berbasiskan Konstitusi UUD 45 dengan menentang segala macam bentuk penjajahan ekonomi dan politik oleh pihak asing (termasuk ketergantungan kepada utang luar negeri yang berkelanjutan).
Dalam sejarahnya saya kira kita mengenal founding father EPI-R, seperti Mohammad Natsir sebagai perdana menteri bersama Sumitro Djojohadikusumo sebagai menteri perdagangan, yang melakukan aksi kebijakan 'politik Benteng' (1950-55), meski tidak sepenuhnya berhasil adalah contoh negarawan yang berorientasi EPI-R serta berupaya merealisasikan prinsip-prinsip Konstitusi-UUD 45.
Juga, kita mencatat Wilopo SH yang mengkritik para ekonom yang dikemudian hari menjadi teknokrat 'Mafia Barkeley' Orde Baru (Widjojo Nitisastro, Emil Salim dan kawan-kawan) yang dianggap tak berorientasi dan tak berupaya melaksanakan UUD 45. Dan, tentu saja Bapak EPI-R yang menjadi Tokoh di balik penyusunan pasal-pasal ekonomi UUD 45 (terutama pasal 27, 33, dan 34) adalah Mohammad Hatta yang bukan hanya sebagai Administrator, Pemikir, Ilmuwan, juga Negarawan yang mengkritik Presiden Soeharto waktu itu (1959-65), yang tak melaksanakan prinsip demokrasi serta tak menjalankan program kesejahteraan ekonomi rakyat sehingga oleh Benyamin Higgin (Ekonom Kanada), Indonesia termasuk negara termiskin di dunia.
Kemudian pada zaman Orba, yang kebijakan ekonominya diisi para Teknokrat Ekonomi Liberal, meskipun terdapat catatan swasembada beras, pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen, dan stabilitas politik, namun ketimpangan sangat buruk, konglomerasi dengan memarginalkan ekonomi rakyat serta Rezim Otoritarian yang penuh KKN (sekitar 30 hingga 50 persen APBN-APBN selama 30 tahun). Maka, dicatat terdapat para pejuang-cendekiawaan EPI-R seperti Prof Dawam Rahardjo yang banyak mengkritik ideologi Developmentalism Orba yang menciptakan kesenjangan sosial, Dr Sritua Arief dan Adi Sasono, yang mngenalkan kritik Strukturalisme terhadap pembangunan Orba. Prof Mubyarto yang mengkritik pembangunan yang mengorbankan pertanian dan pedesaan.
Juga, Prof Sri-Edy Swasono yang mengkritik pembangunan koperasi yang top-down dan pembangunan tak menjalankan UUD 45, dan Kwik Kian Gie yang mengkritik pembangunan yang menciptakan Konglomerasi Hitam yang merampok uang rakyat. Sementara, Dr Rizal Ramli mendirikan ECONIT (kini dipimpin Dr Hendri Saparini) yang banyak mengungkapkan fakta empiris dari pembangunan sejak Orba hingga pasca-Orba, yang mengabaikan rakyat dan terlalu terperangkap utang dan IMF. Juga, saya (Didin S Damanhuri), Prof Didik J Rachbini, Dr Fadhil Hassan, dan Faisal Basri mendirikan INDEF (kemudian dilanjutkan oleh Prof Bustanul Arifin, Dr Drajat Wibowo, dan Aviliani; belakangan dipimpin oleh Dr Erani Justika dan Dr Ikhsan Modjo) yang banyak mengkritik secara ekonomi-politik dengan data-data empiris segala kebijakan ekonomi dan keuangan yang merugikan ekonomi rakyat sejak Orba (mulai 1995) hingga pasca-Orba (1998-dan seterusnya).
Belakangan Revrisond Baswir (pelanjut Prof Mubyarto) mendirikan Pusat Kajian Ekonomi Rakyat di UGM yang mengkritik kebijakan ekonomi pasca-Orba yang sangat neolib dan mengkhianati konstitusi dan ekonomi rakyat. Umumnya para Pejuang-Cendekiawan EPI-R yang sangat kritis terhadap kebijakan ekonomi yang teknokratis (tanpa berorientasi kepada konstitusi UUD 45), terlalu tergantung pada utang dan modal asing dan kurang membangun kemandirian dengan mengorbankan kedaulatan ekonomi dan memarginalkan ekonomi rakyat. Memang kalangan EPI-R sejak Orba dan pasca-Orba lebih banyak mengembangkan wacana kritis, mengkritik kebijakan di samping menyodorkan kebijakan alternatif, dan umumnya secara epistemonologis berbasiskan Konstitusi UUD 45 meskipun terkadang meminjam referensi pemikiran ekonomi alternatif (strukturalis, reformis, heterodoks, sosial-demokrasi, dan seterusnya) dalam membongkar kepalsuan kebijakan ekonomi dan politik yang memarginalkan rakyat.
Salah satu masalah krusial sejak masa reformasi/pasca-Orba yang amat sangat mengganggu realisasi agenda EPI-R dan prinsip-prinsip UUD 45 adalah karena pemerintahan secara berkelanjutan mengadopsi program 'Washington Consensus'. Yakni, liberalisasi, privatisasi, pencabutan subsidi, dan prinsip minimum state yang terakhir ini dimasukkan dalam amandemen Pasal 33 UUD 45 oleh Dr Sri Mulyani, Dr Sri Adiningsih, dan Dr Syahrir yang membuat walk out Prof Mubyarto dan Prof M Dawam Rahardjo dari sidang Komisi Konstitusi MPR waktu itu.
OPini Republika 9 Februari 2010
09 Februari 2010
Ekonomi Politik untuk Rakyat
Thank You!