BEBERAPA hari menjelang pemandangan awal fraksi-fraksi terhadap hasil kerja Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket kasus Bank Century, Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat Amir Syamsuddin mengembuskan isu perombakan (reshuffle) Kabinet Indonesia Bersatu II.
Isu reshuffle itu ditanggapi serius oleh partai terbesar (di luar Partai Demokrat) pendukung koalisi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono, Partai Golkar, dengan nada menantang. Golkar tidak takut tiga kadernya di kabinet diganti. Partai berlambang pohon beringin ini tetap maju terus dengan posisi “apa yang benar katakan benar, apa yang salah katakan salah.” Partai Keadilan Sejahtera (PKS), anggota koalisi yang sering pula disebut “berkhianat” juga tetap kukuh pada posisinya. Mereka tampaknya juga tidak takut empat kadernya di kabinet diberhentikan.
Perombakan kabinet merupakan suatu yang biasa dan menjadi hak prerogatif presiden. Reshuffle biasanya terjadi dengan tujuan penyegaran, perbaikan kinerja kabinet, atau karena ada anggota kabinet yang melanggar hukum dan telah memperoleh putusan hukum tetap. Namun apa yang diembuskan Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat itu tampaknya bukan suatu hal yang biasa dan normal. Ini merupakan bagian megaphone politics (politik cuap-cuap) melalui media massa untuk menekan partai-partai anggota koalisi agar dalam pemandangan awal fraksi jangan terlalu keras terhadap pemerintah.
Melalui politik itu akan timbul ketakutan di partai-partai koalisi jika Presiden SBY benar-benar ingin mengganti para menteri yang berasal dari partai-partai koalisi yang “berkhianat”. Gertakan Amir Syamsuddin itu bukan menimbulkan ketakutan, melainkan justru perlawanan yang lebih kuat lagi dari partai-partai politik anggota koalisi, khususnya Partai Golkar. Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie, misalnya, secara tegas mengatakan bahwa Partai Golkar tidak melakukan koalisi dengan Partai Demokrat, melainkan ada kontrak politik dengan presiden terpilih saat itu, SBY.
Dengan kata lain, Ical (panggilan akrab Aburizal Bakrie) ingin mengatakan, janganlah Partai Demokrat melakukan penekanan-penekanan terhadap Golkar. Itu berarti, ada persoalan dalam komunikasi politik antara Partai Demokrat dan partai-partai anggota koalisi pemerintah. Dalam hubungan internasional gaya megaphone diplomacy, memang dapat memengaruhi proses diplomasi antara dua negara atau lebih. Namun dalam politik domestik, megaphone politics ala Partai Demokrat tentu tidak tepat dan hanya memperkeruh suasana keakraban di dalam partai-partai koalisi yang sudah semakin rusak itu.
Cara berpolitik Partai Demokrat sangat tidak elegan dan jauh dari sasaran. Akan lebih baik jika Partai Demokrat melakukan pendekatan-pendekatan informal antarelite partai anggota koalisi agar tercapai kesepakatan politik yang dapat mempertahankan harmoni hubungan antarpartai anggota koalisi. Akan lebih baik pula jika Presiden SBY, sebagai penandatangan kontrak politik dengan para pimpinan partai anggota koalisi, melakukan pendekatan-pendekatan langsung terhadap para pimpinan partai. Kerugian yang diperoleh SBY dan Partai Demokrat akan jauh lebih besar jika perombakan kabinet hanya didasari oleh motif politik untuk menekan partai koalisi.
Kalau itu benar-benar terjadi, kekuatan koalisi di parlemen akan semakin lemah dan Partai Demokrat sebagai kekuatan utama di DPR akan semakin menjadi “macan ompong” yang tidak memiliki taring politik yang kuat. Kelemahan Partai Demokrat akan semakin kentara. Sebenarnya persoalan Bank Century tidak akan membesar seperti ini jika sejak awal Presiden SBY berani mengambil alih tanggung jawab kasus tersebut. Selama ini SBY selalu sesumbar bahwa sistem yang kita anut adalah sistem presidensial.
Sistem ini bukan hanya memberi hak pada presiden untuk menjadi the first among equals (pertama di antara yang sederajat) di dalam kabinet, melainkan juga sebagai penanggung jawab akhir semua kinerja kabinet. Presiden SBY jangan hanya dapat mengatakan bahwa wakil presiden dan para menteri adalah pembantunya dan karena itu tidak memiliki wewenang independen untuk memutuskan tanpa sepengetahuan atau persetujuan presiden. Presiden juga harus berani mengatakan, sesuai dengan sistem presidensial, Presiden adalah penanggung jawab tertinggi atas setiap kebijakan pemerintah, terkecuali jika wakil presiden atau menteri melakukan pelanggaran hukum.
Tidak sedikit pandangan bahwa tampaknya akan terjadi perombakan kabinet kecil-kecilan, khususnya jika ada menteri yang melakukan “pelanggaran hukum”. Kalimat itu tampaknya tertuju pada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang dituduh melakukan kesalahan dalam pengambilan keputusan bailout Bank Century karena dia adalah Ketua Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK). Padahal, dia melakukan itu atas dasar peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang ditandatangani Presiden dan setiap langkahnya dilaporkan ke Presiden. Ini berarti Presiden SBY mengetahui dan ikut bertanggung jawab atas kasus Bank Century.
Persoalan apakah ada penyalahgunaan kekuasaan atas pemberian dana talangan terhadap Bank Century biar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menentukannya. Jabatan presiden di dalam sistem presidensial yang demokratis bukanlah jabatan yang “amat sakral” bagaikan “lambang negara”. Jika menyentuh soal hukum, presiden juga sama derajatnya di muka hukum. Adalah lebih elegan jika SBY berani menyatakan saya ambil alih tanggung jawab dan saya bersedia datang ke Pansus Bank Century dengan atau tanpa panggilan Pansus.
Jika ini terjadi, para anggota koalisi tidak akan ribut soal pertarungan jabatan untuk mendapatkan kursi wakil presiden atau pun menteri keuangan. Dan isu reshuffle pun akan menguap secara cepat.(*)
IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI
OPini Okezone 9 Februari 2010
09 Februari 2010
Reshuffle oh Reshuffle
Thank You!