14 Januari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » UU ITE dan Perlindungan HAM

UU ITE dan Perlindungan HAM

Oleh Teguh Nugroho
DALAM artikel "Quo Vadis UU ITE" yang dimuat di Pikiran Rakyat, Sabtu (9/1), Danrivanto Budhijanto berargumentasi dengan mengutip Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI (selanjutnya disebut UUD 1945) sebagai jaminan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

 

Namun, sejatinya Pasal 28G ayat (1) tersebut tidaklah tepat untuk dijadikan dasar argumen dalam opini tersebut karena peraturan perundang-undangan bukanlah teks belaka, tetapi juga ada situasi sosial yang melatarbelakanginya. Seseorang kemungkinan besar akan mendapat suatu pemahaman yang sesat mengenai sesuatu peraturan perundang-undangan jika hanya membaca teks dari suatu peraturan perundang-undangan tanpa secukupnya mengkaji mengenai situasi sosial atau latar belakang historis yang menyertai atau menyebabkan diadakannya suatu peraturan perundang-undangan.
Adalah suatu kekeliruan menggunakan Pasal 28G ayat (1) tersebut sebagai dasar untuk berargumen demi memperoleh pembenaran untuk diberlakukannya UU ITE. Karena pasal-pasal mengenai HAM yang ada dalam UUD 1945 hampir seluruhnya mengacu pada instrumen-instrumen internasional United Nations mengenai HAM. Bahwa pemikiran doktrin-doktrin dan perlindungan mengenai HAM adalah seiring dengan sejarah peradaban manusia (lihat Encyclopedia Britannica, 15th edition, Knowledge in Depth, volume 8, halaman 1183).
Filsuf bernama John Locke mengajarkan (doktrin) bahwa suatu negara yang sangat tidak baik adalah negara yang hukum dan keadilannya tidak tegak; negara yang hakim-hakimnya tidak impartial (dipengaruhi kekuasaan lain); negara yang tidak punya petugas pelaksana putusan hakim.Untuk mengatasi hal-hal tersebut , manusia bersepakat membentuk suatu tatanan sosial yang menciptakan pemerintahan dengan tujuan demi melindungi HAM.
Doktrin dari John Locke tersebut, secara implisit menyatakan bahwa keharusan untuk melindungi HAM muncul dari situasi sosial -- di mana negara telah menjadi sangat tidak baik -- disebabkan oleh penyalahgunaan kekuasaan sehingga setiap warga negara memiliki hak-hak asasi yang harus dilindungi terhadap kesewenang-sewenangan kekuasaan negara.
Selain itu, perlindungan HAM muncul dengan latar belakang sosial/situasi sosial sebagai berikut, peraturan perundang-undangan masa lalu (ancient) telah gagal untuk memberikan jaminan dan menghargai hal-hal mengenai kebebasan setiap manusia terhadap gangguan kekuasaan negara (Encyclopedia Britannica, 15th Edition, Knowledge in Depth, volume 8, halaman 1183). Karena kegagalan itu, juga karena menurut Lord Acton, secara empiris, power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely, jaminan dari negara mengenai kebebasan dan hak-hak warga negara adalah suatu kebutuhan yang sangat penting demi kemanusiaan.
Selain itu, Deklarasi Wina menyatakan, "... Konferensi dunia mengenai HAM menegaskan komitmen negara-negara untuk memenuhi segala kewajiban memperluas penghargaan, ketaatan, serta perlindungan bagi hak-hak manusia dan kebebasan hakiki bagi semua yang berkaitan dengan Piagam PBB, instrumen-instrumen lain yang berkaitan dengan HAM, dan hukum internasional. Sifat universal hak-hak asasi dan kebebasan hakiki ini tidak perlu lagi dipertanyakan." (lihat Deklarasi Universal HAM, Panduan Bagi Jurnalis, Juli 2000, LSPP, halaman 20).
Berpedoman kepada hal-hal tersebut, maksud yang sejati dari suatu HAM yang dijamin Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 adalah memberikan jaminan secara konstitusional kepada warga negara Indonesia untuk memperoleh perlindungan dari para aparat negara/petugas yang memang berkewajiban untuk melayani warga negara demi rasa aman yang harus diterima oleh warga negara.
Pasal 28G ayat (1) ini tidaklah tepat dijadikan dasar untuk berargumen demi memperoleh pembenaran untuk diberlakukannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana diuraikan Budhijanto dalam opininya. Dasar argumen/alasan hukum yang tepat untuk hal pembatasan HAM demi kepentingan umum adalah Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi RI tidaklah supraabsolut. Kutipan mengenai pendapat/dasar putusan Mahkamah Konstitusi (MK RI) dalam opini Budhijanto, perlu juga untuk diluruskan. Bahwa meskipun Putusan MK RI berkekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum, tetapi putusan MK RI tidaklah supraabsolut. Karena berdasarkan Pasal 42 ayat (2) PMK 06/PMK/2005, "... Permohonan pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda." ***
Penulis, advokat KAI (Kongres Advokat Indonesia), tinggal di Jakarta.
Opini Pikiran Rakyat 15 Januari 2010