14 Januari 2010

» Home » Solo Pos » Mengikis toleransi semu menuju kerukunan

Mengikis toleransi semu menuju kerukunan

Di pengujung tahun 2009 lalu KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur meninggal dunia. Suasana sedih mewarnai emosi masyarakat Indonesia. Tidak sedikit umat Kristiani yang saat itu sedang khusuknya menghayati Natal, turut menaruh kembang-kembang duka disisi mendiang Gus Dur.



Selain umat muslim dan Kristen, umat penganut agama lainnya pun tak ketinggalan mengacungkan pujian hormat dan belasungkawa sedalam-dalamnya kepada bapak pluralisme, Gus Dur.
Gus Dur termasuk tokoh yang paling getol menyuarakan keterbukaan, toleransi, dialog dan pentingnya kerja sama antarumat beragama. Berbagai manifestasi atau bentuk relasi apapun selama tidak menggerus hal-hal prinsip dalam agama, perlu terus-menerus ditumbuhkan. Keberagaman Indonesia memang menuntut demikian. Ambil contoh masalah ucapan selamat hari raya keagamaan dari umat agama satu kepada umat agama yang lain. Bagi Gus Dur, ucapan demikian tidaklah menjadi soal. Tindakan positif itu merupakan satu dari sekian media pemupus sekat-sekat ketertutupan dan kesenjangan relasi antarumat beragama.
Tulisan berikut merupakan bentuk apresiasi positif atas gagasan-gagasan dan aksi Gus Dur selama hidupnya. Selain itu juga bagian dari ikhtiar mewacanakan lebih dekat lagi bangunan-bangunan konsep hubungan antarumat beragama agar tercipta suasana toleransi dan kerja sama demi kemajuan bangsa.
Hemat penulis, ada batu sandungan mewujudkan iklim keharmonisan dan dialog antarumat beragama yang meniscayakan sikap toleran. Batu sandungan itu justru muncul dari keyakinan teologis. Contohnya seperti model fatwa. Dalam bahasa Paul F Kniter (1990), batu sandungan sepert itu merupakan bentuk toleransi yang malas (lazy tolerance).
Dalam lazy tolerance setiap agama memang mengajak agama lain untuk mengakui keabsahan masing-masing, tapi pada saat yang sama saling mengabaikan satu sama lain. Akibat dari toleransi malas atau semu itu, antarumat beragama seperti bara dalam sekam. Hubungan dan dialog keagamaan yang mendalam tidak terjadi karena umat beragama memilih menjaga jarak.
Perhatian serius pun tak luput dari sosok Mohammad Natsir (1983:12). Bagi Natsir, dalam konteks kebhinekaan dan persatuan bangsa (Negara Kesatuan Republik Indonesia/NKRI), kerukunan antarumat beragama merupakan syarat bagi tegaknya negara Republik Indonesia yang adil dan makmur.
Dengan bahasa dan nada tulus Natsir menegaskan bahwa kalau memang masyarakat hendak menjamin kemerdekaan agama dan hendak menegakkan kejernihan hidup antarumat beragama di tengah jutaan penduduk Indonesia yang bermacam-macam agama ini, maka sebagai dasar dari kesatuan negara tidak lain adalah menyebarkan paham toleransi.
Cukup banyak ayat dalam Alquran yang memerintahkan umatnya untuk bersikap toleran. Misalnya QS Al-Hajj/22 ayat 40, “Yaitu orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: Tuhan kami hanyalah Allah. Dan sekiranya tidak menolak keganasan sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya disebut nama Allah”.
Jelas, landasan teologis dalam Islam memberikan kerangka acuan bagi toleransi keagamaan di masyarakat tanpa harus menempatkan agama lain dalam posisi inferior. Di samping dituntut memahami agama secara benar dan berkomitmen menjadikan agama yang dianutnya sebagai pedoman hidup, seyogianya tidak mengabaikan agama dan kepercayaan manapun, baik secara lisan maupun dengan perbuatan.

Pluralisme positif
Menggunakan optik Mohammed Arkoun (1994), batu sandungan toleransi yang antara lain berwujud fatwa menyimpan kesalahan metodologis dan kurang menohok pada aspek epistemologis pemahaman keagamaan. Bisa jadi, kegagalan dalam membangun toleransi dan kerjasama antaragama selama ini disebabkan karena kurang menohok aspek epistemologis itu. Upaya membangun kerukunan lebih diwarnai oleh kepentingan sepihak dengan tujuan jangka pendek. Dari kritik epistemologi Arkoun di ataslah penyelaman terhadap sejarah hidup agama-agama perlu dilakukan. Selain itu, juga penting mengawal pembacaan ulang tafsir keagamaan sekaligus melihat relasi kuasa dan mengawinkan berbagai disiplin ilmu sebagai fondasi kerukunan antaragama.
Pluralisme bukan berarti menyamakan semua agama, dan melebur agama-agama menjadi satu, tapi menegaskan adanya perbedaan dan bagaimana menghormati, menerima dan mengakomodasi perbedaan dengan cara-cara yang konstruktif. Pluralisme lebih dari toleransi, saling berkait. Sementara toleransi lebih pada persoalan kebiasaan dan perasaan pribadi, pluralisme menuntut suatu pemahaman yang serius terhadap pihak lain dan kerja sama (Mohammed Fathi Osman: 2006).
Kritik epistemologi, pembongkaran terhadap sejarah agama-agama, tafsir keagamaan, dan pengawinan berbagai disiplin ilmu patut digalakkan dalam upaya memelihara dialog antaragama. Hal ini dapat mengantarkan seorang penganut agama dapat hidup berdampingan dan memberi manfaat kepada penganut agama lain tanpa kehilangan komitmen keberimanan yang diyakininya, perlu memromosikan keabsahan sosiologis agama-agama lain, sebagai jalan yang menyelamatkan kehidupan.
Logika fatwayang kurang menohok aspek epistemologis pemahaman agama tampaknya perlu “dikontraskan” dengan fakta dan praktik Nabi Muhammad SAW: “Suatu ketika Nabi menerima tamu dari kaum Nasrani Najran. Mereka datang pada waktu asar. Sembari menunggu bertemu nabi, mereka (kaum Nasrani Najran) kemudian menunaikan salat di Masjid Nabi. Ketika salah seorang sahabat hendak menegur apa yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani Najran tersebut, Nabi mencegah dan berkata: Biarkan mereka salat. Maka, orang-orang Nasrani Najran tersebut salat menghadap ke timur”. Wallahua’lam. - Oleh : Legiman, Mahasiswa program doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Opini SoloPos 15 Januari 2010