14 Januari 2010

» Home » Kompas » Di Luar Pengadilan

Di Luar Pengadilan

Di bawah ini merupakan tulisan terakhir almarhum Prof Satjipto Rahardjo (79) yang dikirim ke Kompas pada 24 November 2009 dan belum sempat dimuat hingga beliau wafat pada Jumat (8/1). Pemuatan ini sebagai pemenuhan janji hari Sabtu pekan lalu bahwa beberapa tulisan almarhum yang telanjur dikirim ke Kompas akan tetap dimuat.
Redaksi Sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggunakan istilah out of court settlement (penyelesaian di luar pengadilan) untuk kasus Bibit S Rianto-Chandra M Hamzah, istilah itu pun menjadi populer. Rakyat juga mendapat pelajaran baru, yaitu penyelesaian perkara dapat juga dilakukan di luar pengadilan. Satjipto Rahardjo.


Ini sebuah konsep baru. Selama ini publik pada umumnya berpendapat bahwa perkara hanya dapat dan boleh diselesaikan melalui pengadilan, notabene pengadilan negeri.
Bagi mereka yang menggunakan optik sosiologi hukum dalam memandang hukum, penyelesaian di luar pengadilan adalah hal yang biasa. Namun, tidak demikian halnya dengan mereka yang berpikir formal-legalistik. Para legalis ini mengutamakan bentuk, sedangkan sosiologi hukum melihat pada fungsi.
Sejak hukum itu memasuki era hukum tertulis, yang menjadi salah satu ciri hukum modern, panggung hukum pun berubah menjadi panggung hukum tertulis. Lebih daripada itu, hukum tertulis ini bergandengan tangan dengan dominasi negara modern, yang muncul pada abad ke-18. Sejak saat itu, semua institusi, termasuk hukum, didominasi oleh negara. Terjadilah hegemoni negara, mulai dari hukum negara, pengadilan negeri, dan seterusnya.
Pengadilan rakyat
Dominasi negara ini menjadikan semua institut hukum mengutamakan bentuk, seperti pengadilan yang harus berbentuk pengadilan negeri. Hanya pengadilan negerilah yang diakui oleh negara. Sementara itu, sosiologi hukum itu lebih melihat pada fungsi. Maka, apabila hukum modern hanya mengakui kehadiran pengadilan negeri, sosiologi hukum melihat bahwa pengadilan itu dapat hadir di mana-mana, tidak terikat pada bentuknya. Yang diutamakan adalah apakah suatu institut menjalankan fungsi pengadilan.
Apabila suatu institut itu menjalankan fungsi pengadilan, jadilah ia sebagai badan pengadilan. Suatu industri atau organisasi sebesar Kompas dapat saja memiliki pengadilannya sendiri yang berfungsi mengadili sengketa antaranggota komunitas Kompas. Putusan ”pengadilan Kompas” tersebut diterima oleh anggota komunitas di lingkungan itu.
Beberapa tahun lalu, di Desa Keboromo, Jawa Tengah, digelar suatu ”pengadilan rakyat” terhadap sejumlah aparat desa yang diduga melakukan korupsi. Betapa serius bekerjanya pengadilan tersebut terlihat dari waktu sembilan jam yang dibutuhkan sebelum menjatuhkan putusan. Tentu saja pengadilan berlangsung tidak pro-justisia, melainkan prokomunitas Keboromo. Ia juga tidak menggunakan KUHP (hukum pidana) dan KUHAP (hukum acara pidana). Sesudah bersidang selama sembilan jam, para aparat desa tersebut bertekuk lutut dan mengaku melakukan korupsi serta bersedia mengembalikan uang hasil korupsi ke kas desa.
Sebuah contoh lagi melengkapi keabsahan daftar pengadilan yang dijalankan di luar pengadilan negeri. Ini terjadi pada Mahkamah Agung di Suva, ibu kota Fiji. Warga negara Fiji banyak yang datang dari India. Suatu ketika, seorang warga Fiji yang notabene buta hukum datang jauh dari desa ke mahkamah Fiji di Suva. Pada waktu seorang pegawai, yang kebetulan orang Sikh, membukakan pintu baginya, orang desa tersebut langsung mengira bahwa ia sedang berhadapan dengan pak hakim. Tanpa menjalani macam-macam prosedur, ia langsung menceritakan masalahnya kepada ”penjaga pintu cum hakim” itu. Orang Sikh penjaga pintu yang sangat menguasai adat istiadat India itu menjawab semua pertanyaan dengan lancar. Akhirnya orang desa tersebut puas dan pulang. Dalam pikirannya ia sudah membawa masalahnya ke mahkamah dan sekaligus ”menerima putusan” dengan segala kepuasan.
Bukan hal luar biasa
Para hakim yang melihat peristiwa itu membiarkannya saja karena melihat bahwa orang desa tersebut sudah puas. Mereka ini berpendapat, apabila orang tersebut harus menempuh koridor hukum dengan sekalian kerumitannya, belum tentu ia mengerti apa yang terjadi, apalagi merasa puas.

Keputusan Presiden menghentikan perkara Bibit-Chandra jika dilihat dari optik sosiologi hukum, itu bukan hal yang terlalu luar biasa. Ada banyak fora untuk menjalankan fungsi mengadili. Marc Galanter menamakannya ”justice in many rooms” (pengadilan dapat dijalankan di banyak tempat), tanpa memerlukan format dan prosedur yang formal. Seorang antropolog hukum menyebutnya dengan istilah ”window shopping”.
Ada berbagai pilihan bagi seseorang ke mana membawa perkaranya untuk diselesaikan. Cara beperkara lebih dari satu tempat lebih lagi berlaku bagi Indonesia yang begitu majemuk, terdiri dari sekian ratus komunitas adat atau lokal. Hukum modern yang diterapkan di seluruh wilayah Nusantara, dalam disertasi Bernard L Tanya, yang mengadakan penelitian di Sumba, disebut sebagai ”beban budaya lokal”.
Barangkali sudah waktunya ”out of court settlement” yang dilakukan oleh Presiden membuka mata kita akan rumitnya penerapan hukum modern di negeri kita.

Satjipto Rahardjo Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro
Opini Kompas 15 Januari 2010