08 Januari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Sama, Dengan, dan Oleh

Sama, Dengan, dan Oleh

Oleh Ajip Rosidi

Dalam satu acara diksusi yang disiarkan melalui televisi, tokoh Betawi Ridwan Saidi berkata, ”Saya kagum dengan Bung Karno”. Penggunaan kata dengan di situ kurang tepat, karena seharusnya sama, jadi kalimatnya harus, ”Saya kagum sama Bung Karno”.

Dalam berita di Suara Merdeka, 7 Juni 2009, dengan judul ”Reog Wonogiren Getarkan IPAM 2009”, terdapat kalimat, ”Ya, lihatlah dengan tiga penari perempuan itu!” Perkataan dengan di situ pun tidak tepat karena kalimat itu berarti bahwa kita dianjurkan melihat bersama-sama dengan ketiga penari itu. Padahal maksudnya supaya kita melihat kepada ketiga orang penari itu. Jadi, seharusnya si wartawan mempergunakan kalimat, ”Ya, lihatlah kepada tiga penari perempuan itu!” atau cukup ”Ya, lihatlah tiga penari perempuan itu!”


Akan tetapi, kata sama dalam bahasa Betawi dan bahasa Melayu Pasar, kecuali berarti kepada atau terhadap, mempunyai arti lain, yaitu dengan. Misalnya kalimat ”Kemaren ana pegi ke Bandung (s)ame si Dulle”.  Namun, kata sama dalam bahasa Betawi dan Melayu Pasar juga digunakan untuk kata oleh seperti dalam kalimat ”Tadi  si Amat dipukul (s)ame si Bondan.”  Dan kata sama juga mempunyai arti kepada seperti tampak dalam kalimat ”Kasihkan duit ini sama ibumu!” Sementara yang berarti terhadap terdapat dalam kalimat ”Gue malu (s)ame si Ardan”.

Wartawan Suara Merdeka itu juga mempergunakan perkataan dengan di situ karena dalam bahasa Melayu Pasar dia akan menulis, ”Ya, lihatlah sama tiga penari perempuan itu!”

Dari contoh-contoh tersebut, jelaslah bahwa kata sama dalam bahasa Betawi dan bahasa Melayu Pasar mempunyai beberapa arti yang dalam bahasa Indonesia harus menggunakan kata-kata yang berlainan, seperti kata kepada, terhadap, oleh, dan dengan. Sementara kata sama itu sendiri telah biasa digunakan dalam bahasa Indonesia, di samping kata sama yang sudah ada sebelumnya yang artinya serupa, tidak berbeda. Akan tetapi, dalam percakapan sehari-hari, termasuk dalam bahasa surat kabar, hal itu sering dikacaukan, akibat kekurangcermatan si pembicara atau si penulisnya.

Pengaruh bahasa Melayu Pasar terhadap bahasa Indonesia telah berlangsung sejak lama. Bahkan, sebenarnya bahasa yang banyak digunakan dalam pers sebelum perang ketika istilah bahasa Indonesia baru diperkenalkan adalah bahasa Melayu Pasar. Hanya satu atau dua majalah yang mempergunakan bahasa yang pada waktu itu disebut sebagai ”Melayu Tinggi”, seperti majalah Poedjangga Baroe dan mingguan Pandji Poestaka yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Namun, sebagai pengaruh bahasa Melayu yang diajarkan di sekolah-sekolah dan penggunaan bahasa tersebut dalam buku-buku bacaan terutama terbitan Balai Pustaka, maka pemakaian bahasa Melayu Pasar dalam pers itu terdesak oleh pemakaian bahasa Indonesia (yang berasal dari bahasa Melayu Tinggi tetapi banyak menerima pengaruh dari bahasa Melayu Pasar). Namun, pemakaian bahasa Melayu Pasar yang ”murni” tetap digunakan oleh sebagian pers yang baik pengelola maupun pembacanya kebanyakan orang keturunan Cina, sehingga disebut juga sebagai bahasa Melayu Cina. Akan tetapi, terjadi penurunan terus-menerus penggunaan bahasa Melayu Cina dalam pers. Sekitar pertengahan abad yang lalu (abad XX), habislah pers yang menggunakan bahasa Melayu Cina. Surat kabar Keng Po, Sin Po, majalah Star Weekly, dan lain-lain, bahasanya tidak eksklusif lagi, melainkan kian mendekati bahasa Indonesia yang baku. Pers bahasa Melayu Cina, baik majalah maupun surat kabar seperti Sin Tit Po (Surabaya), Sin Min (Semarang), Liberty (Surabaya),  Sunday Courier (sempat berubah nama menjadi Sadar, Jakarta), dan lain-lain, berhenti terbit.

Meskipun banyak orang yang menganggap bahasa Melayu Pasar sebagai bahasa yang buruk yang tak patut dihargai, tetapi tokoh pembina bahasa Indonesia  S. Takdir Alisjahbana pada 1930-an sudah mengakui arti bahasa Melayu Pasar (Cina) buat pengembangan bahasa Indonesia. Bahasa Melayu Pasar memang digunakan secara luas dalam masyarakat, terutama masyarakat kota. Penyebarannya kecuali secara lisan dan melalui pers, juga melalui  buku-buku cerita yang diterbitkan di berbagai kota, sampai di kota-kota kecil seperti Cicurug (Sukabumi), dan lain-lain.   

Menurut penelitian  Claudine Salmon dari Prancis, sampai 1960 ada lebih dari 3.000 judul buku bacaan, baik asli maupun terjemahan yang terbit dalam bahasa Melayu Pasar yang ditulis oleh lebih dari 800 penulis, kebanyakan  keturunan Cina –  tetapi banyak juga orang indo dan pribumi. Kebanyakan berupa bacaan hiburan, antara lain cerita silat. Pada mulanya pembacanya adalah masyarakat kota yang gemar membaca. Akan tetapi kemudian, terutama buku cerita silat, dibaca juga oleh orang-orang pribumi sekolahan. Melalui buku-buku cerita silat itulah banyak masuk kata-kata dan ungkapan Melayu Pasar ke dalam tulisan-tulisan para sastrawan yang menulis dalam bahasa Indonesia, seperti berkelit, tak bergeming, suhu, tenaga dalam, jengah, keder, dan lain-lain.

Namun demikian, hendaknya berhati-hati dalam pemakaian kata-kata yang mempunyai arti ganda atau aneka arti ketika berbahasa Indonesia yang baku. Hal ini karena kalau memilih kata yang tidak tepat bisa menimbulkan salah paham, paling tidak menimbulkan kerancuan seperti dengan kata-kata dengan, sama, oleh, kepada dan terhadap. Perkataan sama dalam bahasa Betawi atau bahasa Melayu Pasar mempunyai arti yang berbeda-beda sehingga ketika harus menggunakan kata padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia baku, kalau tidak ingin timbul salah paham atau kerancuan.***

Penulis, budayawan.
Opini Pikiran Rakyat 9 Januari 2010