08 Januari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » ”Quo Vadis” UU ITE ?

”Quo Vadis” UU ITE ?

Oleh DANRIVANTO BUDHIJANTO

Gemuruh pemberitaan kasus Bank Century ternyata mampu disaalip oleh pemberitaan Luna  Maya versus wartawan infotainment. Lagi-lagi Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi berkah sekaligus musibah. UU ITE dianggap ”memakan” korban yang tidak bersalah. Para blogger dan facebooker ikut panas dingin menyikapinya. Apakah memang UU ITE bersifat represif dan memberangus hak konstitusional untuk menyampaikan pendapat? Betulkah kebebasan berekspresi di media internet dikekang oleh UU ITE?


Peristilahan yang dipergunakan untuk hukum yang mengatur kegiatan di dalam cyber space antara lain adalah the law of the internet; the law of information technology; the telecommunication law; dan lex informatica. Perlunya pengaturan di Indonesia atas kegiatan-kegiatan di cyber space dilandasi tiga pemikiran utama, yaitu perlunya kepastian hukum bagi para pelaku kegiatan-kegiatan di cyber space karena belum diakomodasikan secara memadai dalam regulasi yang ada; upaya untuk mengantisipasi implikasi-implikasi yang ditimbulkan akibat pemanfaatan teknologi informasi; dan adanya variabel global, yaitu perdagangan bebas dan pasar terbuka (E. Saefullah Wiradipradja dan Danrivanto Budhijanto, ”Perspektif Hukum Internasional tentang Cyber Law, Dalam Cyberlaw: Suatu Pengantar”, Mieke Komar Kantaatmadja, et.al., 2002)

Bentuk pengaturan dunia maya dapat ditinjau dari dua pendekatan. Pertama, apakah perlu menciptakan norma-norma baru dan peraturan-peraturan khusus untuk kegiatan/aktivitas di cyber space? Kedua, perlu diterapkan model-model peraturan yang dikenal di dunia nyata pada dunia maya. Indonesia menyusun pengaturan cyber space yang lebih berorientasi kepada pengaturan yang pokok-pokoknya saja tetapi mencakup pengaturan secara keseluruhan (umbrella provisions).

Selanjutnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika melalui Direktorat Jenderal Aplikasi Telematika menyiapkan dan menyusun RUU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Setelah melalui perjalanan panjang sejak 1999, akhirnya RUU ITE disetujui menjadi UU ITE pada Rapat Paripurna DPR 25 Maret 2008. Presiden kemudian menetapkan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE dan memberlakukannya sejak 21 April 2008.

Kebebasan berekspresi dan bertukar informasi yang tecermin dalam komunitas blogger, Facebook, Twitter, dan milis memiliki arti penting sebagai sarana informasi untuk masyarakat. Demokrasi hanya akan berjalan efektif jika warga negaranya terinformasi dengan baik. Informasi dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan warga negara untuk melakukan tindakan-tindakan, termasuk tindakan politik, baik dalam rangka berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan maupun menolak kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan kehidupan masyarakat.

Pada sisi lain, penghargaan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan tidak boleh tercederai oleh tindakan yang mengusik nilai-nilai kemanusiaan melalui tindakan penghinaan dan pencemaran nama baik. Konstitusi memberikan jaminan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28G ayat (1) UUD Tahun 1945.

Praktik perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, termasuk perlindungan terhadap kebebasan berekspresi, berbicara, mengeluarkan pikiran dan pendapat adalah lebih ditujukan pada tercapainya keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dalam masyarakat (Romli Atmasasmita, ”Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum”, 2001). Setiap pilihan individu yang bebas terletak juga kewajiban distribusi hak secara sosial. Pemilikan hak berarti adanya situasi sosial yang menghendaki hak itu dihormati oleh orang lain. Kebebasan individu merupakan kondisi logis dari penghormatan terhadap kebebasan individu lain.

UU ITE pernah dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan contitusional review terhadap UUD 1945. UU ITE Pasal 27 Ayat (3) yang memuat perbuatan dilarang, khususnya penghinaan dan pencemaran nama baik melalui sistem elektronik dianggap bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 tentang hak berkomunikasi dan memperoleh informasi. MK berpendapat, meskipun setiap orang mempunyai hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, tetapi tidak menghilangkan hak negara untuk mengaturnya.

Pembeda utama antara interaksi di dunia nyata dan dunia maya hanyalah dari sudut media yang digunakan. Seluruh interaksi dan aktivitas melalui internet seperti transfer data, melalui distribusi (broadcastable); transmisi; dapat diaksesnya informasi; dokumentasi elektronik ternyata dapat menimbulkan dampak negatif yang sangat ekstrem dan masif di dunia nyata.

MK menyatakan dalam pertimbangan putusannya, pembatasan-pembatasan yang dilakukan negara tidak dalam rangka memasung atau membenamkan hak-hak dasar untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Perlu tetap diberikan jaminan kepada orang lain untuk menikmati kebebasan dirinya dari ancaman serangan terhadap kehormatan dirinya, keluarganya, serta perendahan harkat dan martabat kemanusiaan yang dapat menyebabkan dirinya tidak dapat hidup secara layak sebagai manusia yang dimuliakan oleh Sang Pencipta. MK pada 14 Mei 2009 memutuskan, norma Pasal 27 Ayat (3) UU ITE adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, HAM, dan prinsip-prinsip negara hukum. UU ITE tidak dimaksudkan sebagai perangkat represif untuk membelenggu kebebasan berekspresi, berbicara, mengeluarkan pikiran dan pendapat, melainkan untuk menjaga agar kebebasan tidak menjadi supra absolut.

Perubahan masyarakat di Indonesia saat ini mengarah kepada masyarakat informasi dan peranan hukum adalah untuk menjamin perubahan itu terjadi dengan cara yang tertib dan teratur. Prinsip kehati-hatian dan iktikad baik adalah landasan utama pemanfaatan teknologi informasi. Fenomena sosial teknologi perlu disikapi secara bijak dan jernih sehingga tidak terjerat ”perangkap” dari pemanfaatan teknologi informasi yang destruktif.***

Penulis, dosen Cyberlaw Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Anggota Tim Penyusun Interdep UU ITE.
Opini Pikiran Rakyat 9 Januari 2010