08 Januari 2010

» Home » Okezone » Magnet Silaturahmi Gus Dur

Magnet Silaturahmi Gus Dur

Saya sudah lupa hari dan tanggalnya, tetapi waktu itu adalah awal tahun 2001, saat saya menjabat sebagai menteri pertahanan di bawah kepresidenan Gus Dur.

Kepala Staf Angkatan Udara saat itu, Hanafi Asnan, menelepon saya. “Pak Mahfud, saya mendapat berkah, seperti kejatuhan bulan dan bintang,” kata Hanafi. “Ada apa, Pak,” tanya saya. “Presiden tiba-tiba minta mampir ke rumah Ibu saya di Madura,” jawab Hanafi. Orang mampir ke rumah orang tentulah hal biasa. Namun peristiwa itu menjadi surprise bagi Hanafi karena yang akan mampir ke rumah ibunya adalah Presiden. Padahal Gus Dur tak pernah kenal dengan ibunda Hanafi kecuali bahwa Hanafi adalah bawahannya yang berasal dari Madura.

Apalagi rencana mampir itu diberitahukan kepada Hanafi hanya dua hari sebelum keberangkatan Gus Dur ke Madura. Saat itu Presiden Gus Dur dijadwalkan kunjungan kerja ke Madura bersama Menteri Kehutanan Marzuki Usman untuk acara menanam seribu pohon dalam program penghutanan. Ketika rencana keberangkatan dilaporkan dan dimatangkan, tiba-tiba Presiden meminta diselipkan acara mampir ke rumah Hanafi Asnan di Socah, Bangkalan.

Meski diberi tahu bahwa KSAU Hanafi Asnan tak ikut dalam rombongan, Gus Dur mengatakan bahwa dirinya akan bersilaturahmi kepada ibu Pak Hanafi. Itulah sisi lain kehidupan Gus Dur yang jarang diperhatikan orang, yakni suka bersilaturahmi kepada siapa pun. Banyak yang meyakini bahwa kegemaran bersilaturahmi tanpa jarak “antara orang besar dan orang biasa” itulah yang mengakibatkan Gus Dur menjadi milik dan dicintai oleh begitu banyak orang.***

Sebagai politikus dan pejuang Gus Dur selalu dapat membedakan antara urusan politik dan hubungan pribadi. Dia bisa keras, tegas, dan cenderung berkepala batu dalam sikap-sikap politiknya, tetapi selalu menjaga hubungan pribadi melalui silaturahmi yang selalu hangat dan bersahabat. Bukan hanya kawan politiknya yang diakrabi, tetapi lawan-lawan politiknya pun dihormati dengan silaturahmi. Kita tentu masih ingat nama Abu Hasan, pesaing Gus Dur dalam perebutan kursi Ketua Umum PBNU pada Muktamar NU (1994) di Cipasung.

Sebagai calon ketua umum yang menurut berita diskenariokan oleh kekuatan luar untuk menjinakkan NU, Abu Hasan ngotot untuk menjadi Ketua Umum PBNU. Setelah kalah dalam pemilihan yang demokratis di muktamar Abu Hasan tidak mau terima. Dia pun membentuk PBNU tandingan dengan nama KPPNU. Namun berkat dukungan arus bawah terhadap Gus Dur, meski memakan waktu agak lama, akhirnya KPPNU itu bubar tanpa komunike karena tak bisa bekerja tanpa dukungan umat. Yang mengharukan, setelah KPPNU runtuh dan PBNU di bawah Gus Dur berjaya, justru Gus Dur-lah yang datang bersilaturahmi ke rumah Abu Hasan tanpa mengungkit kelakuan dan cercaan-cercaan pedas yang pernah dilontarkan Abu Hasan terhadap dirinya.

Dirangkulnya Abu Hasan sebagai sahabatnya. Saya juga masih ingat ketika terjadi konflik PKB Jawa Timur yang melibatkan Kiai Fawaid. Saat itu Kiai Fawaid terpilih sebagai Ketua Dewan Syura PKB Jawa Timur, tetapi tidak ada kecocokan dengan Gus Dur dan Ketua PKB Jawa Timur Choirul Anam dalam susunan kepengurusan. Kiai Fawaid merasa hak-haknya sebagai Ketua Dewan Syura hasil musyawarah wilayah (muswil) dilanggar, apalagi Gus Dur sempat marah dan menyatakan tak akan berhubungan lagi dengan Kiai Fawaid.

Pewaris tokoh NU karismatik Kiai As’ad Syamsul Arifin itu pun keluar dari PKB dan bergabung dengan PPP. Pada saat Kiai Fawaid bersikap keras dan resmi menyatakan bergabung ke PPP, Gus Dur tetap menyambung silaturahminya dengan Kiai Fawaid. Pada suatu tengah malam secara mendadak Gus Dur berkunjung ke rumah Kiai Fawaid di Sukorejo meskipun harus menempuh perjalanan darat yang sangat jauh. Gus Dur menghormati pilihan Kiai Fawaid keluar dari PKB dan silaturahmi terus dipelihara.***

Untuk soal silaturahmi saja saya punya seribu kenangan dengan Gus Dur. Gus Dur sering ke rumah saya baik di Yogyakarta maupun di Madura. Namun Muktamar II PKB tahun 2005 pernah menimbulkan masalah psikologis. Saat itu saya menolak ajakan Gus Dur yang meminta saya untuk menjadi pengurus DPP PKB hasil Muktamar Semarang itu. Meskipun mungkin terlalu subjektif, saya menilai Muktamar Semarang tidak fair sehingga saya tak bersedia menjadi pengurus DPP PKB dan memilih menjadi anggota biasa saja.

Ada pendukung hasil Muktamar Semarang yang menciptakan opini dan insinuasi bahwa saya membangkang dan dimarahi atau dimusuhi Gus Dur. Namun tak banyak yang tahu bahwa dalam situasi “perang dingin” seperti itu Gus Dur justru mengunjungi rumah saya di Yogyakarta. Suatu sore saya ditelepon oleh sekretaris pribadi Gus Dur, Munib Huda, yang mengabarkan bahwa Gus Dur ingin minum teh di rumah saya karena kebetulan ada di Yogyakarta. Kami pun bercengkerama sambil menikmati rempeyek kacang dengan tetap pada posisi masing-masing dalam menyikapi hasil Muktamar Semarang. “Silaturahmi jangan sampai putus,” kata Gus Dur.

Gus Dur dan Ibu Sinta tetap sering bermain ke rumah saya seperti halnya saya dan istri tetap selalu berkunjung ke rumah keluarga Gus Dur. Ketika keluar dari PKB karena menjadi hakim konstitusi pun saya dilepas oleh Gus Dur melalui silaturahmi yang manis dan sangat mengesankan. Ada lagi. Pada suatu hari saya menghubungi Gus Dur dan memulai menyapa dengan pertanyaan rutin, “Gus Dur ada di mana?” Ternyata Gus Dur sedang menengok orang tua Choirul Huda, sopir pribadinya, yang sedang sakit di sebuah desa di kawasan Jombang.

Gus Dur tak pernah lelah bersilaturahmi kepada siapa pun, mulai dari kota besar sampai ke desa terpencil, mulai dari sahabat karib sampai ke lawan-lawan politik, mulai dari orang-orang besar sampai orang-orang kecil.

Jadi selain karena modal politik- sosiologisnya sebagai tokoh yang berdarah biru NU, kecerdasan dan kepandaiannya yang luar biasa, kehidupannya yang bersahaja, serta keterbukaan dan kesantunannya terhadap semua golongan, perihal kegemaran untuk selalu bersilaturahmi menjadi penguat bagi munculnya keseganan dan kecintaan masyarakat terhadap Gus Dur. Belum lama Gus Dur wafat, tapi kita sudah sangat merindukannya.(*)

Moh Mahfud MD
Ketua Mahkamah Konstitusi RI

Opini Okezone 5 Januari 2010