08 Januari 2010

» Home » Kompas » Pengalaman (Tidak) Melarang Buku

Pengalaman (Tidak) Melarang Buku

Tahun 2006, saya diminta Kejaksaan Agung untuk menjadi narasumber pada rapat clearing house untuk menilai buku Antonie C A Dake, Sukarno File. Selain saya, juga diundang Kepala Pusat Sejarah TNI.
Peserta pertemuan tersebut terdiri atas perwakilan intelijen dari berbagai lembaga, seperti BAIS, BIN, Polri, selain dari Kejaksaan Agung. Juga hadir wakil dari Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional (Pusat Perbukuan). Mereka itulah yang menjadi tim clearing house Kejaksaan Agung.
Pihak pengundang mengatakan bahwa mereka telah berapat beberapa kali dan belum menemukan kata sepakat apakah buku Sukarno File akan dilarang atau tidak. Saya berprinsip penerbitan sebuah buku seyogianya tidak dilarang. Kalau ada yang tidak setuju dengan isinya, silakan menulis buku yang lain. Apabila ada yang tersinggung atau merasa dilecehkan, silakan mengadu kepada pihak berwajib sehingga kasus ini bisa diproses secara hukum.


Mengundang protes
Bagaimana reaksi Pusat Sejarah TNI? Di luar dugaan saya, mereka mengatakan bahwa seyogianya tidak ada lagi pelarangan buku pada zaman keterbukaan ini. Saya bergumam bahwa tampaknya mereka sudah reformis sekarang. Namun, apakah sikap ini hanya khusus untuk buku Sukarno File atau juga secara umum? Buku Sukarno File memang memuji-muji Jenderal Soeharto dan menganggap CIA tidak terlibat dalam peristiwa G30S 1965.
Buku Sukarno File menimbulkan protes di tengah masyarakat, seperti di Yogyakarta dan Medan. Di CSIS Jakarta tanggal 29 September 2006, ketika berlangsung seminar soal G30S yang sedianya menghadirkan Antonie Dake, Lambert Giebels, Sulastomo, Taufik Abdullah, dan saya, demonstrasi terjadi di luar gedung menuntut penulis Sukarno File diadili. Dake tidak muncul dan konon pada saat-saat terakhir membatalkan kedatangannya ke Jakarta.
Keluarga Bung Karno bereaksi keras. Sukmawati protes. Megawati berang dan mengatakan bahwa isi buku tersebut merupakan character assassination terhadap Bapak Bangsa. Dake menyimpulkan Soekarno ”secara langsung harus memikul tanggung jawab atas pembunuhan enam orang jenderal dan secara tidak langsung juga untuk pembantaian antara komunis dan bukan komunis yang berlangsung kemudian”.
Menuduh seorang Presiden berkonspirasi menghabisi nyawa para jenderal dan kemudian terlibat pembunuhan massal yang memakan korban minimal 500.000 jiwa tentu harus berdasarkan fakta. Padahal, tudingan itu hanya berdasarkan laporan pemeriksaan Kopkamtib terhadap ajudan Soekarno, Bambang Widjanarko, yang dilakukan di bawah tekanan.
Yayasan Bung Karno yang dipimpin Guruh telah menerbitkan buku putih yang membantah buku Dake dan sekaligus melaporkan penerbit edisi Indonesia buku itu (Aksara Karunia) kepada polisi tertanggal 16 Juni 2006. Komisaris Jenderal Makbul Padmanegara mengatakan bahwa ada 20 titik masuk untuk memidanakan buku Dake tersebut. Saya tanyakan kepada wakil dari Kejaksaan Agung yang ikut rapat clearing house, yang menjawab bahwa penyidikan ditangani direktorat pidana umum polisi.
Entahlah apakah saran saya diikuti oleh Kejaksaan Agung, yang jelas buku Sukarno File tidak pernah dilarang sampai saat ini. Ada dua hal yang dapat dipersoalkan; pertama, dasar hukum dan, kedua, logika pelarangan. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang salah satu pasalnya mengatur pengawasan buku ini perlu diuji kembali. Demikian pula dengan Undang-Undang No 4/pnpas/1963 tentang pengamanan barang yang dapat mengganggu ketertiban umum.
Yang tidak kalah urgensinya mempertanyakan mengapa buku Sukarno File yang memfitnah Presiden Soekarno dibiarkan beredar, sedangkan buku John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal, dilarang sejak Desember 2009. Padahal, buku tersebut ditulis melalui penelitian ilmiah bertahun-tahun dan termasuk tiga buku terbaik dalam bidang ilmu-ilmu sosial pada International Convention of Asian Scholars di Kuala Lumpur pada 2007. Menurut Robert Cribb dari Australian National University, ”Inilah upaya ilmiah pertama dalam kurun dua dekade untuk mengkaji secara serius bukti-bukti yang berkenaan dengan teka-teki paling penting dalam sejarah Indonesia, kudeta 30 September 1965.”
Doktrin yang dianut oleh aparat Kejaksaan Agung adalah ”Satya Adhi Wicaksana”, satya berarti setia yang berkaitan dengan kejujuran. Adi maksudnya sempurna, tugas dilaksanakan secara profesional. Wicaksana bermakna bijaksana dalam menerapkan kekuasaan dan wewenang. Tentu semuanya diterapkan tidak dengan logika terbalik.
Asvi Warman Adam Ahli Peneliti Utama LIPI
Opini Kompas 9 Januari 2010