29 Januari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Prospek Sukuk Dalam Pembangunan

Prospek Sukuk Dalam Pembangunan

Oleh Irawan Febianto

SALAH satu surat kabar baru-baru ini melansir berita bahwa Malaysia berencana menerbitkan enam sukuk pada 2010, sama seperti tahun lalu. Penjualan sukuk akan dimulai Januari ini dengan sukuk bertenor 3,5 tahun dan akan berakhir pada November mendatang dengan tenor sepuluh tahun.

Diberitakan juga bahwa penjualan sukuk global di tahun lalu mencapai 20,2 miliar dolar AS, meningkat dari pencapaian di 2008 yang sebesar 14,1 miliar dolar AS. Data pada 2007 menunjukkan, pasar sukuk global mencetak rekor dengan penerbitan 31 miliar dolar AS saat negara-negara di Timur Tengah mengalami kelebihan likuiditas.


Menurut data terkini, Malaysia menjadi pusat penerbit sukuk terbesar di dunia dengan pangsa pasar 60 persen. Sementara Uni Emirat Arab menjadi pemimpin penerbit sukuk di Gulf Cooperation Countries (GCC) dengan total 26,8 miliar dolar AS dari 34 penerbitan antara 2000-2008. Diikuti dengan Bahrain yang mencatat 89 penerbitan sukuk senilai 4,5 miliar dolar AS di kurun waktu yang sama.

Sejarah

Sukuk merupakan bentuk jamak dari kata sakk. Bukti tertulis penggunaan istilah sakk pertama kali muncul pada masa awal kekhalifahan Islam, yang berfungsi sebagai cheque seperti dikenal dalam terminologi perdagangan di Eropa. Istilah ini dalam perdagangan internasional di wilayah Islam digunakan bergantian dengan istilah saftajah untuk merepresentasikan kewajiban finansial dari perdagangan, peminjaman (qurud) dan aktivitas kerja sama (mudaraba) (Adam & Thomas, 2005).

Dalam fatwa No.  32/DSN-MUI/IX/2002, sukuk atau obligasi syariah didefinisikan sebagai ”suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.”

Salah satu hal yang menarik, sukuk atau obligasi syariah ini dalam praktiknya harus didasarkan pada akad-akad yang sesuai dengan standar syariah, seperti mudarabah, musyarakah, murabahah, ijarah, salam, istisna, dan lain-lain. Skema yang ada bisa bermacam-macam, tergantung pada kebutuhan dan kondisi perekonomian suatu negara dan masyarakat. Skema tersebut bisa dalam bentuk mudarabah sukuk, musyarakah sukuk, murabahah sukuk, salam sukuk, dan lain-lain. Dengan pola demikian, obligasi syariah ini dapat menjadi alat yang efektif untuk mendorong pertumbuhan sektor riil karena akad-akad tersebut pada dasarnya merupakan bentuk investasi di sektor riil (Beik, 2008).

Sukuk pemerintah merupakan terobosan penting dan menciptakan banyak peluang baru dalam bidang perbankan dan keuangan syariah. Penerbitan sukuk pemerintah oleh Malaysia, Bahrain, dan Qatar telah membuka peluang pasar dan telah mendapat pengakuan secara internasional. Ini sekaligus menunjukkan peran dari instrumen keuangan sukuk dalam pembangunan nasional dengan cara membantu pemerintah mendapatkan uang di mana pajak bukanlah pilihan.

Bahkan Inggris berambisi menjadi pintu masuk (gateway) bagi perdagangan dan keuangan syariah (Islamic finance and trade). Strateginya adalah menjadikan Inggris sebagai pusat bagi transaksi keuangan syariah global. Sekitar 85 persen dari seluruh obligasi yang dikeluarkan negara-negara yang tergabung dalam GCC (Bahrain, Oman, Kuwait, Qatar, Arab Saudi, dan UEA) berbentuk sukuk, dan London memegang posisi penting sebagai pasar sukuk (Sunarsip: 2007).

Di Indonesia

Indonesia mempunyai banyak projek infrastruktur yang menjadikannya daya tarik luar biasa bagi investor syariah. Industri energi (pertambangan, migas), industri berbasis sumber daya alam (perkebunan), dan industri infrastruktur berpendapatan valas (airport, seaport) merupakan sektor yang biasanya paling diminati investor syariah. Dalam hal jangka waktu investasi, perilaku investor syariah juga agak berbeda. Investor syariah biasanya memilih dan memiliki horison investasi jangka panjang, 5 sampai 15 tahun. Perhatian utama investor ini adalah pada keutuhan modal, return yang kompetitif, tetapi dengan horison investasi yang panjang, bukan pada return jangka pendek.

Pemerintah Indonesia telah menerbitkan sukuk atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebanyak empat kali pada periode antara 2008 dan 2009 dengan total mencapai Rp 19,8 trilliun. Awal 2009, pemerintah menerbitkan sukuk ritel dan sukuk global. Sukuk global telah mengalami tujuh  kali lipat oversubscribed dari penerbitan awalnya 650 juta dolar AS menjadi 4,7 miliar dolar AS. Ini menjadi sinyal positif prospek sukuk sebagai alternatif sumber pembiayaan untuk membiayai pembangunan dalam negeri khususnya pembangunan infrastruktur.

Berdasarkan itu, kita berharap penerbitan kembali SBSN pada 2010 ini tidak hanya akan menjadi salah satu sumber pembiayaan untuk menambal defisit APBN. Namun, sudah seharusnya modal yang terkumpul melalui penerbitan SBSN dapat lebih dimanfaatkan pada sektor-sektor produktif, khususnya untuk pengembangan proyek infrastruktur yang berdampak pada pertumbuhan sektor rill.***

Penulis, dosen Konsentrasi Manajemen Syariah di Departemen Manajemen dan Bisnis Unpad serta kandidat Ph.D. in Islamic Finance dari INCEIF (Malaysia) dan peneliti LMFE Unpad

Opini Pikiran Rakyat 20 Januari 2010