29 Januari 2010

» Home » Kompas » Kuasa, Kisruh, Jernih

Kuasa, Kisruh, Jernih

Bila menoleh ke tahun 2009, mungkin layak menyebutnya dengan tahun kekisruhan. Negeri ini kisruh oleh kisah cicak-buaya, cerita korupsi Bank Century.
Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun lalu ditandai perobekan piagam PBB oleh Presiden Libya Moammar Khadafi, diikuti teriakan protes keras Perdana Menteri (PM) Inggris Gordon Brown sambil berdiri. PM Italia Silvio Berlusconi dilempar patung sehingga mukanya berdarah. Mantan Presiden Amerika Serikat George Walker Bush pernah dilempar sepatu. Merenung di atas sejarah seperti ini, kekuasaan seperti tidak habis-habisnya menghasilkan kekisruhan.


Meminjam penghitungan perputaran waktu di beberapa tradisi, putaran waktu kali ini adalah putaran waktu yang gelap. Oleh karena itu, terjadi kekacauan kosmik di mana-mana. Tempat-tempat di mana dahulunya turun kesejukan berupa wahyu dan nabi (India, Pakistan, dan Timur Tengah) sekarang menjadi tempat membara oleh perang. Lembah Swat di Pakistan adalah salah satu tempat langka yang menyimpan kisah langka, di situ sekitar seratus ribu manusia pernah mengalami pencerahan secara bersamaan. Sekarang, Lembah Swat berdarah-darah oleh tembakan senjata.
Dengan demikian, jangankan kekuasaan yang dari dulunya sudah kotor, berdarah, dan menakutkan, tempat-tempat di mana cahaya penerang itu pernah turun pun menakutkan. Memang, kadang lahir wajah kekuasaan yang membawa kelembutan. Nelson Mandela, Mahatma Gandhi, Mohammad Hatta, dan Dalai Lama hanya sebagian contoh. Namun, sebagian kekuasaan tergelincir ke dalam kegilaan seperti Ferdinand Marcos dan Hitler, sehingga memberi pilihan kepada setiap pemimpin yang sedang berkuasa, akankah dibikin mulya atau dibikin gila oleh kekuasaan?
Sunyi yang mengabdi
Kendati lahir di tempat dan waktu berbeda, ada yang sama di antara pemimpin yang dibikin mulya oleh kekuasaan, yakni batinnya Brahmana, badannya Ksatria. Setelah melewati kesalehan asketik yang keras, puncak perjalanan seorang Brahmana tercapai ketika batin seseorang telah mencapai apa yang disebut tetua di Jawa sebagai suwung. Tidak ada keakuan, ketakutan, keinginan, apa lagi kerakusan yang tersisa. Semuanya lenyap ditelan suwung . Seperti ruang yang memberi tempat bertumbuh pada apa saja dan siapa saja. Kendati terlihat tidak ada apa-apa, tetapi ruang melimpahkan kasih sayang secara tidak terbatas.
Karena ada ruang, maka cahaya matahari bisa melaksanakan tugasnya, pohon bertumbuh, manusia menjadi lebih dewasa. Begitulah batin yang suwung . Ia kerap disebut mengetahui yang satu kemudian membebaskan semuanya. Karena ketidakterbatasan kasih sayangnya itulah yang menyebabkan mereka dikenang jauh lebih lama dari umur badannya.
Namun, dalam badan ksatria (setelah melewati disiplin ketentaraan yang ketat), kaki selalu melangkah tegap tanpa tersisa sedikit pun ketakutan, tangan selalu siap menembak tanpa sedikit pun keraguan. Tak ada tempat bagi keragu-raguan. Keragu-raguan hanya cermin batin belum suwung . Diterangi batin yang suwung, kemudian pemimpin bisa memutuskan apa saja yang harus diputuskan tanpa beban.
Ksatria yang bertindak cepat tanpa dibimbing oleh batin yang suwung , serupa dengan tentara yang menembak kesetanan ke segala arah. Pemimpin Brahmana yang suwung tanpa disertai oleh kesigapan dan kecepatan bertindak hanya akan menjadi tukang doa yang salah alamat. Karena bukan untuk itu dia lahir. Pemimpin dilahirkan untuk bertindak, biar segala macam bentuk kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, dan keterbelakangan segera bisa dikurangi.
Intisari kepemimpinan
Makanya, seorang ayah pernah berpesan kepada putranya: memandanglah seperti langit, bertindaklah seperti bumi. Dalam pandangan langit (baca: suwung ), semuanya dipayungi dan dilindungi tanpa mengenal pengotak-ngotakan. Namun, dalam bertindak, laksanakan hukum bumi secara ketat: bila menanam ketela dapatnya ketela, menanam kelapa buahnya kelapa. Siapa yang korupsi akan dicaci, ia yang mengabdi akan dihormati. Itu sebabnya tetua menyaring intisari kepemimpinan dalam kalimat sederhana: batin yang sunyi, badan yang mengabdi.
Pesan ini yang dibadankan secara mendalam oleh pemimpin seperti Mohammad Hatta, Nelson Mandela, dan HH Dalai Lama. Tatkala berselisih paham dengan atasannya, tanpa beban Pak Hatta kembali ke profesinya yang semula sebagai dosen di Universitas Gadjah Mada. Menyisakan pesan jelas sekali, keegoan dan keakuan pemimpin mesti kalah dibandingkan ketertiban dan kesejahteraan rakyat.
Ketika rezim kulit putih jatuh, Nelson Mandela yang dipenjara lebih dari seperempat abad plus nyaris mati berkali-kali, lebih memilih memaafkan dibandingkan mengumbar dendam. Pelajarannya terang sekali, kekuasaan bukan sarana untuk mengumbar dendam dan keserakahan. Namun, hanya kendaraan untuk meninggalkan pulau keterbelakangan.
HH Dalai Lama lahir dan bertumbuh di lahan penuh kesedihan dan penderitaan. Umur belasan tahun, negaranya diambil orang. Mengungsi di tempat amat sederhana di India Utara lebih dari setengah abad. Rakyatnya menjadi minoritas di negeri sendiri. Ketika melafalkan doa ini, beliau sering menangis di depan umum: semasih ada ruang, semasih ada makhluk, izinkan saya terus-menerus lahir ke tempat ini, biar ada yang membimbing para makhluk keluar dari kegelapan kemarahan, keserakahan, dan kebingungan.
Cahaya pengertiannya terang sekali, kesedihan dan penderitaan bukanlah api untuk mengobarkan amarah ke mana-mana. Ia hanya sapu pembersih yang membuat hati manusia semakin jernih dari hari ke hari. Andaikan suatu hari nanti peradaban bisa melahirkan pemimpin dengan batin yang sunyi dan badan yang mengabdi mungkin di situ baru kekuasaan bisa menjadi sahabatnya kejernihan.
Gede Prama Penulis Buku Simfoni di Dalam Diri: Mengolah Kemarahan Menjadi Keteduhan
Opini Kompas 30 Januari 2010