29 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Pledoi, Bisakah Selamatkan Antasari?

Pledoi, Bisakah Selamatkan Antasari?

Bila hakim menyatakan Antasari harus dibebaskan, harus disikapi sebagai putusan hukum yang perlu dihormati. Soal jaksa mau banding atau tidak, itu  haknya

PLEDOI atau pembelaan Antasari Azhar, terdakwa kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnain yang disampaikan Kamis (28/1) secara tegas menolak dakwaan, dalil-dalil, dan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) dalam persidangan sebelumnya. Penolakan Antasari, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu wajar. Suatu pembelaan dapat saja memunculkan penolakan ketika dirasa pada persidangan tidak ada bukti yang secara sah dan menyakinkan bahwa terdakwa melakukan tindak pidana.
Demikian halnya terhadap tuntutan hukuman yang disampaikan jaksa, kalau dinilai berat dan berlebihan, apalagi sampai tuntutan hukuman mati, sangat wajar bila ditolak lewat  pembelaan.


Pembelaan Antasari patutlah dikaji bersama karena ketiadaan bukti yang signifikan tidaklah dapat dijadikan dasar menyatakan terdakwa itu bersalah dan dituntut.  Beberapa saksi pun mencabut keterangannya saat diperiksa di kepolisian, dan meringankan terdakwa.

Soal tudingan ada rekayasa dan ada penyimpangan dalam proses kasus pembunuhan Nasrudin juga patut dimunculkan untuk pembelaan. Termasuk keterangan Komjen (Pol) Susno Duadji, mantan Kabareskrim Polri, tentang adanya penyimpangan dalam penanganan, serta adanya dugaan kasus Antasari sebagai alat balas dendam personal dan kelembagaan, khususnya terhadap terdakwa dan lembaga yang waktu itu dipimpinnya.

Semua itu adalah arahan yang bila hakim berkeyakinan benar adanya, dapat mematahkan dakwaan dan tuntutan jaksa  sehingga mampu menyelamatkan terdakwa, setidaknya dari jeratan vonis mati.

Sebaliknya, bila semua dalil Antasari yang disampaikan dalam pledoinya sekedar alasan pembenar diri dan menutupi kebenaran, terdakwa dapat dijerat dengan pidana berat, yaitu pidana mati sebagaimana diajukan jaksa melalui tuntuannya. Vonis demikian dapat saja diberikan bila dakwaan jaksa terbukti secara sah dan menyakinkan di persidangan bahwa terdakwa bersalah melakukan pembunuhan berencana.

Antasari dapat disalahkan karena secara bersama-sama sekaligus menjadi otak pembunuhan Nasrudin. Adanya petunjuk SMS berisi ancaman kekerasan yang diduga direkayasa tidaklah mampu mematahkan fakta kalau dia  berseteru dengan Nasrudin karena masalah Rani Juliani, istri ketiga korban. Nasrudin pun kemudian meninggal karena ditembak.

Fakta itulah yang membuka pintu ada keterkaitan dan rentetan bukti Antasari dan Sigid Haryo Wibisono dianggap mengotaki pembunuhan. Dari bukti hasil rekaman pembicaraan kedua terdakwa itu, jaksa meyakini  mereka mengotaki pembunuhan itu sehingga menuntutnya hukuman mati.

Ada rekayasa atau tidak, diakui atau tidak, terungkap jelas di rekaman, ada petunjuk keduanya terlibat pembicaraan yang intinya merencanakan pembunuhan terhadap Nasrudin dengan menggunakan tangan orang lain. Ada rencana bersama pembunuhan dan hal itu tampaknya yang akan menjadi kekuatan bagi jaksa menyusun dakwaannya.

Bagi hakim, tuntutan hukuman mati yang disampaikan jaksa tentu harus disikapi secara tepat. Hukuman mati sebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP, adalah hukuman pokok yang dapat dijatuhkan hakim pada seseorang yang di persidangan terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana berat. Seperti pembunuhan berencana yang dapat dijerat dengan Pasal 338 dan Pasal 340 KUHPidana dengan ancaman hukuman mati.

Peringatan demikian terkait dengan pertanyaan, apakah hakim harus memvonis mati seperti yang dituntutkan jaksa? Soal ya atau tidaknya, hakim harus mempertimbangkan hasil pemeriksaan di persidangan sesuai aturan hukum. Hakim juga harus dapat mempertimbangkan rasa kemanusiaan dan keadilan serta ketertiban umum sekaligus sikap terdakwa selama di persidangan.
Pasal 184 Ayat (1) KUHAP telah memberi pedoman cara mempertimbangkan salah atau tidaknya terdakwa, hakim harus terikat dengan adanya alat bukti, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Pasal 183 KUHAP menegaskan, hakim tidak boleh menjatuhkan vonis pidana terhadap terdakwa kecuali ada dua alat bukti yang sah, dan hakim berkeyakinan bila tindak pidana yang didakwakan benar dilakukan terdakwa. Semua itu haruslah melandaskan pada prinsip mencari kebenaran material berdasarkan hukum  (materiele waarheid) demi terwujudnya kebenaran materiil  (substantial truth).

Di persidangan diungkapkan Nasrudin meninggal karena ditembak di bagian kepalanya. Ini dibuktikan dengan surat keterangan kematian, keterangan saksi, dan keterangan ahli. Menurut keterangan saksi, barang bukti, keterangan ahli dan petunjuk, termasuk rekaman hasil pembicaraan Antasari dan Sigid, ada keterkaitan antara tindak pidana pembunuhan Nasrudin dan perencanaan pembunuhan oleh Antasari dan Sigid yang dibantu Wiliardi Wizard.

Soal dugaan ada rekayasa dalam kasus ini, tidak masalah bila ada petunjuk jelas di persidangan Antasari dan Sigid, merencanakan sekaligus otak atau yang menyuruh membunuh. Petunjuk ini kuat dan dapat pula diterapkan pada Wiliardi yang dilibatkan (ikut membantu) dalam perencanaan pembunuhan.
Bila dalam putusannya nanti hakim harus menyatakan Antasari  secara sah dan menyakinkan bersalah dan harus dipidana, apapun bentuk pidananya, tentu harus disikapi dengan tepat sebagai putusan hukum oleh semua pihak. Termasuk putusan hukuman mati yang tentunya dapat dianggap sependapat dengan jaksa. 

Terdakwa bila tidak puas dapat mengajukan banding. Sebaliknya, bila hakim harus menyatakan terdakwa Antasari tidak bersalah dan harus dibebaskan, tentu putusan itu harus disikapi dengan tepat oleh semua pihak sebagai putusan hukum yang harus dihormati bersama. Soal jaksa mau banding atau tidak, itu  haknya.

Itulah dua hal yang dapat diputuskan hakim sebagai bentuk sikap terhadap pledoi Antasari dan hasil persidangan dengan terdakwa tersebut. Soal pledoi Antasari ternyata dapat diterima dan dia lolos dari vonis hukuman mati, itu adalah keputusan hukum. Demikian juga sebaliknya bila pledoi tidak dapat menyelamatkannya..

Semoga saja sikap hakim dapat memperkukuh hal selama ini,  dapat mewujudkan persidangan yang melindungi hak asasi manusia kepada Antasari (protection of human right), melaksanakan proses hukum yang sesuai aturan hukum (principle of legality), dan baik, sehingga mampu memperlakukan terdakwa tersebut, yang orang penting sebagaimana mestinya di depan hukum tanpa ada pembedaan (equality before law). (10)

— M Issamsudin, PNS dan peminat masalah hukum, tinggal di Semarang
Wacana Suara Merdeka 30 Januari 2010