06 Januari 2010

» Home » Media Indonesia » Mengembalikan Reformasi PAN

Mengembalikan Reformasi PAN

Partai Amanat Nasional (PAN) akan menggelar Kongres ketiga, 7-9 Januari 2010 di Batam. Selain hiruk-pikuk perebutan kursi ketua umum, hal penting yang akan menjadi agenda adalah bisakah PAN kembali pada reformasi politik yang sesuai pada saat didirikan?
Agenda reformasi politik ini penting dikemukakan mengingat PAN adalah salah satu kalau bukan satu-satunya partai yang betul-betul lahir untuk melaksanakan agenda reformasi yang sebelumnya menjadi agenda Majelis Amanat Rakyat (Mara) majelis yang dideklarasikan 14 Mei 1998 dan beranggotakan para cendekiawan pejuang reformasi garda depan, lintas profesi, lintas agama. PAN lahir agar gerakan reformasi yang digulirkan Mara tidak berhenti pada gagasan.


Masalahnya, gerakan reformasi politik tidak lagi memiliki daya tarik disebabkan, pertama, semua partai politik yang muncul di permukaan pada umumnya menyodorkan tema reformasi politik, hatta partai-partai yang tokoh-tokohnya teridentifikasi menjadi bagian dari pilar politik Orde Baru yang secara substantif bertolak belakang dengan semangat reformasi.
Kedua, gerakan reformasi politik masih sebatas jargon, belum memiliki cetak biru yang mampu dipahami secara masif, maka pada tataran implementasinya banyak mengalami hambatan, bahkan mengalami kontradiksi-kontradiksi yang pada akhirnya justru mendelegitimasi gerakan reformasi. Contoh yang paling menonjol adalah meluapnya euforia politik yang cenderung tanpa kendali yang berefek pada semakin sulitnya melakukan konsolidasi demokrasi.
Sejatinya, luapan euforia politik itu bisa dipahami lantaran efek balik dari tekanan-tekanan politik sebelumnya. Guillermo O'Donnell dan Philippe C Schmitter (1986) menyebut luapan euforia politik semacam itu sebagai proses liberalisasi yang signifikan. Namun, di sejumlah negara yang diteliti Donnel dan Schmitter, proses itu memang tidak selalu berjalan kokoh sehingga berpotensi menjadi sesuatu yang belum tentu menjadi lebih baik.

Repotnasi
Gerakan reformasi hanya menjadi seranai ketidakpastian yang diisi antara lain oleh serangkaian pemerintahan yang datang silih berganti tanpa memberikan alternatif baru yang lebih baik, minimal mampu menjanjikan kehidupan yang lebih sejahtera, damai, dan adil bagi segenap rakyat. Suasana politik seperti itulah yang kita rasakan di Indonesia.
Mengapa terjadi demikian? Bisa jadi akibat kegagalan partai-partai politik, tak terkecuali PAN. Bahkan, pada saat muncul stigma negatif terhadap gerakan reformasi yang katanya menyebabkan 'repotnasi', PAN merasa menjadi partai terdepan dalam menanggung beban untuk melakukan upaya destigmatisasi tersebut.
Sayangnya, segala upaya yang dilakukan PAN tidak cukup memadai untuk menanggulangi tugas berat itu. Yang paling utama disebabkan dalam pemilihan umum nasional PAN belum berhasil memperoleh dukungan rakyat yang cukup untuk menjadi pionir gerakan reformasi.
Upaya yang dilakukan PAN untuk menggandeng kekuatan lain dengan cara membangun kekuatan Poros Tengah pun gagal di tengah jalan, antara lain disebabkan bangunan kekuatan itu tidak dilandasi kesamaan platform dan ketulusan untuk mengonsolidasikan demokrasi, tapi hanya untuk menghambat laju tokoh partai politik tertentu. Nasib konsolidasi demokrasi menjadi semakin tidak jelas pada saat tokoh yang bersangkutan juga tak cukup berhasil pada saat diberi kesempatan memimpin gerakan reformasi.

Mengapa gagal?
Bisa jadi PAN akan mampu mengimplementasikan gerakan reformasi jika diberi kesempatan untuk memimpin gerakan ini. Syaratnya, tentu bila PAN mendapatkan dukungan suara mayoritas rakyat. Mengapa PAN belum berhasil? Menurut studi yang dilakukan, baik oleh kalangan internal PAN (yang dilakukan Badan Litbang PAN) maupun yang dilakukan lembaga-lembaga riset di luar PAN, bisa disimpulkan bahwa ada dua penyebab utamanya.
Pertama, PAN dipersepsi sebagai partai elite yang jauh dari jangkauan (kepentingan) masyarakat level bawah (grassroot). Persepsi itu muncul terutama karena dua hal: (1) platform atau bahkan jargon-jargon politik PAN cenderung idealis dan tidak down to earth; (2) para kader dan pimpinan PAN pada umumnya dari kalangan akademisi, atau setidaknya dari kelompok kelas menengah ke atas.
Kedua, dalam peta segmentasi politik nasional, posisi PAN berada pada ruang yang masih sempit, yakni Islam modernis. Basis dukungan politik PAN masih terbatas dari kalangan Muhammadiyah. Beranjak dari dua kekurangan itulah, di bawah kepemimpinan Soetrisno Bachir, PAN melakukan upaya reposisi, dari elitis menjadi populis, dari segmentasi Islam modernis menjadi ke 'tengah' bahkan menyerempet ke 'kiri'.
Soetrisno Bachir-รข€“yang populer disapa SB--berusaha membangun PAN secara populis dengan jargon-jargon politiknya yang mudah dipahami publik, misalnya dengan PAN Partai Orang Biasa, dan Hidup adalah Perbuatan. Dalam batas-batas tertentu, upaya itu berhasil mengangkat popularitas SB, tapi belum mampu menambah perolehan suara PAN secara signifikan. Suara PAN dalam Pemilu 2009 tidak lebih baik daripada dua pemilu sebelumnya.

Kembali ke awal?
Karena gagal meraih suara signifikan, PAN lantas menempuh jalan koalisi. Pascapemilu 1999, PAN menggalang Poros Tengah, pascapemilu 2004 dan 2009 PAN berkoalisi dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Asumsinya, gerakan reformasi bisa ditempuh dari luar dan dari dalam pemerintahan. Dari dalam dianggap lebih baik karena ada kesempatan untuk bisa mewarnai. Namun, apa yang terjadi? Alih-alih mewarnai, PAN larut dalam agenda-agenda pemerintah yang semakin menjauh dari platform reformasi politik yang dulu diusung PAN.
Malah hal-hal yang baik dari pemerintah pun di mata rakyat tidak dianggap karena andil PAN. Namun, pada saat pemerintah gagal melakukan perbaikan-perbaikan masyarakat, partai-partai koalisi, termasuk PAN, dianggap ikut andil memperburuk citra pemerintah. Pada pemerintahan SBY, ibarat kata pepatah, Partai Demokrat dapat nangkanya, partai-partai koalisi hanya dapat getahnya.
Untuk meraih suara lebih besar, PAN mengubah asas dari Pancasila, menjadi Pancasila dengan tambahan 'akhlak politik berdasarkan agama yang membawa rahmat bagi sekalian alam'. Selain itu, dalam platformnya, PAN menghapus komitmen menjadi oposisi di samping menghilangkan klausul 'untuk mencegah disintegrasi nasional, terbuka terhadap gagasan negara serikat'. Nyatanya, perolehan suara PAN terus menurun.
Penulis yakin platform reformasi pada saat PAN didirikan, Agustus 1998, merupakan gagasan terbaik. Mengubah platform reformasi membuat kondisi PAN lebih buruk. Apalagi dengan mengubah asas. Kalau memang demikian, mengapa PAN tidak kembali ke gagasan reformasi politiknya yang awal? Menjadi partai yang benar-benar pluralis; jika kalah dalam pemilu berkomitmen menjadi partai oposisi; dan tidak menabukan gagasan negara federasi. Bagi PAN, barangkali, inilah pilihan terbaik. Wallahualam!

Oleh Abd Rohim Ghazali, Penasihat The Indonesian Institute
Opini Media Indonesia 7 Januari 2010