06 Januari 2010

» Home » Media Indonesia » 2010, Penyehatan Demokrasi Prosedural

2010, Penyehatan Demokrasi Prosedural

TAHUN 2009 demokrasi Indonesia didera epilepsi politicking yang berdampak struktural, baik politik maupun ekonomi. Berawal dari campur tangan negara atas Bank Century yang terlahir cacat pada November 2008, menyeruak menjadi skandal yang meruntuhkan moral negara. Dampak psikopolitiknya ialah memaksa pemilih menggugat kembali legitimasi kemenangan fantastik yang diperoleh Partai Demokrat dalam pemilihan umum legislatif tahun 2009 sebesar 21%, padahal tahun 2004 hanya 7% suara sah nasional. Lonjakan itu sulit diterima akal sehat, jika dirujuk pengalaman kita selama ini, apalagi di negara-negara yang mapan berdemokrasi prosedural.


Demikian pula pemilu presiden, dimenangi secara fantastik oleh pasangan SBY-Boediono yang mendapat lebih dari 60% suara. Banyak indikasi pelanggaran oleh KPU, mendorong pasangan Megawati-Prabowo menggugat ke Mahkamah Konstitusi, namun MK menyatakan tidak ada pelanggaran konstitusional oleh KPU dalam seluruh proses penyelenggaraan pilpres. Padahal banyak pihak bersaksi terjadinya pelanggaran DPT (daftar pemilih tetap), sebagai bentuk pengingkaran hak konstitusional warga negara untuk menyalurkan hak pilihnya, baik itu karena tidak didaftar atau tidak memiliki kartu panggilan, atau lainnya. Ini bukan saja melanggar UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, tetapi juga melanggar HAM sebagaimana telah diatur dalam UUD 1945.

Tangan kotor demokrasi
Absurditas legitimasi politik akibat money politics atau dengan memanipulasi tabulasi penghitungan suara hasil pemilu di tempat yang rawan seperti di PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan), merupakan kejahatan demokrasi prosedural, atau meminjam istilah Dennis F Thompson sebagai 'tangan-tangan kotor demokratik' atau dirty hands istilah JP Sartre (Dennis F Thompson, Political Ethics and Public Office, 1987). Indikasinya, selain DPT amburadul, juga indikasi korupsi pengadaan sarana teknologi informasi (TI) oleh KPU yang bertujuan menghitung cepat hasil pemilu, yang saat itu akan disidik KPK. Namun berhenti di tengah jalan karena Ketua KPK Antasari Ashar menjadi tersangka otak pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasruddin Zulkarnaen.
Kasus Antasari itu hingga kini bagai mengurai benang kusut politik-hukum. Publik mencium konspirasi penegak hukum dengan pemerintah, dengan menggunakan 'tangan-tangan kotor' lain semisal pengusaha, dengan tujuan melemahkan KPK yang dianggap super-body. Selepas kasus Antasari, menyeruak pula kasus penyuapan oleh Anggoro Widjojo dan adiknya, Anggodo, yang menjadikan pimpinan KPK lain Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto sebagai tersangka bahkan sempat 'berlibur' semalam di Rutan Mabes Polri Kelapa Dua-Depok.
Masih dalam bayang-bayang 'tangan kotor demokratik' itu, kita menyaksikan debat-debat politik berlangsung panas, sampai kita hampir kehilangan tokoh intelektual netral, karena semua berlomba memihak capres tertentu. Celakanya, Lembaga Survei Indonesia (LSI) pimpinan Denny JA 'meminta' pemilih cukup satu putaran agar tidak menghamburkan biaya. Padahal publik tahu kalau dana kampanye pilpres pasangan SBY-Boediono yang paling banyak menenggak biaya, terbukti dari jenis dan frekuensi tayangan (iklan dan berita) mendominasi televisi dan surat kabar.
Mencuatnya skandal Century tahun 2009, tercium aroma korupsi white colar crime (kejahatan kerah putih), berdasarkan temuan audit investigasi BPK dan analisis PPATK. Malah LSM Bendera mengungkapkan bahwa Rp1,8 triliun dari keseluruhan Rp6,7 triliun dana bailout Century mengalir ke rekening Tim Kampanye Demokrat dan SBY-Boediono. Mafioso politik hukum 2009 menjadi puncak gunung es dengan terbitnya buku Membongkar Gurita Cikeas, tulisan George Junus Aditjondro, sekalipun masih harus dibuktikan kebenarannya oleh pansus, KPK, dan rakyat.

Menyehatkan
Upaya menyehatkan demokrasi prosedural ke depan, khusus arena pilkada 2010, beberapa saran ditawarkan 'dokter' politik Amerika Robert Dahl, kiranya membantu. Pertama, menjaga sikap inklusivitas pemilih sebagai warga negara yang siap menerima perbedaan/kemajemukan, menjalin hubungan kesetaraan di atas perbedaan suku, agama, ras, golongan. Kedua, rule of law dan rule of the game, penyelenggaraan pemilu dijamin mendapat kepastian hukum dan dikelola berdasarkan konstitusi/peraturan perundangan yang benar. Ketiga, legitimasi kekuasaan melalui pemilihan langsung itu harus dijamin luberjurdil dan diawasi kelompok independen. Keempat, pemilih dijamin kebebasannya memilih berdasarkan hati nurani, tanpa tekanan atau money politics, bebas berpendapat dan memperoleh informasi tentang calon dan hal-hal teknis. Kelima, otonomi asosiasional termasuk pembentukan tim sukses parpol/pasangan capres yang bekerja transparan dan sumber dana siap diaudit serta dilaporkan ke publik. Keenam, kendali sipil atas aparat kepolisian, dihindari intimidasi terhadap pemilih.
Upaya-upaya itu memang sudah dilaksanakan dalam membangun demokrasi Indonesia selama ini. Akan tetapi kita harus jujur bahwa kita belum konsisten. Kejujuran elektoral kita masih jauh, politik uang marak, politik etnis/ kekerabatan menjadi jualan yang laku sepanjang kampanye bupati/gubernur, menjauhkan kita dari demokrasi substansial. Terjadi gap yang dalam antara demokrasi prosedural dan substansial. Kita mewartakan ke dunia internasional sebagai salah satu negara demokrasi besar, tapi sayang nilai dan identitas kultur politik kita masih keropos.
Keadilan, kesetaraan, kebebasan memilih, popularitas karena kualitas dan integritas diri, menerima kemajemukan, kerja keras, nirkekerasan, dan kejujuran electoral masih mimpi di siang bolong. Lakon itu jangan terus menggerus demokrasi prosedural kita.

Gus Dur dan nilai
Di penghujung ziarah demokrasi Indonesia 2009, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), satu pejuang demokrasi Indonesia, dipanggil pulang. Kita sangat sepakat dengan Presiden Yudhoyono yang memberi gelar 'Bapak Pluralisme' saat pemakaman di Jombang (31/12/09), karena jasanya meletakkan fondasi demokrasi prosedural dan substansial di Indonesia, dengan nilai pluralisme dan multikulturalisme.
Si pendiri Fordem (Forum Demokrasi) dan pejuang dialog antaragama itu, telah menanamkan sikap menghargai dan menerima perbedaan sebagai ciri demokrasi. Yang kita perjuangkan ke depan adalah kualitas demokrasi, bukan jumlah penyelenggaraan pemilu nasional atau lokal, apalagi kalau menghamburkan uang negara begitu banyak. Kontrol civil society harus makin kuat, oleh agamawan, akademisi, LSM, pers, komunitas-komunitas independen, sangat menentukan sehatnya demokrasi prosedural.
Berkaitan dengan hak kaum minoritas dalam demokrasi prosedural agar memilih pemimpin yang mampu memperjuangkan nasib mereka, prinsip Alfred E Smith penting, 'Law, in democracy, means the protection of the rights and liberties of the minority', hukum dalam demokrasi, berarti perlindungan hak-hak dan kebebasan kelompok minoritas.

Oleh Ansel Alaman, Pemerhati Politik Parlemen Indonesia, tinggal di Jakarta
Opini Media Indonesia 7 Januari 2010