06 Januari 2010

» Home » Kompas » Mencari Arah Desentralisasi

Mencari Arah Desentralisasi

Oleh SUSIEBERINDRA
Napas desentralisasi sebenarnya dirasakan sejak negara ini ada. Namun, desentralisasi yang memberikan peranan lebih besar kepada daerah baru dirasakan tahun 1999. Setelah 10 tahun berlalu, bagaimana lika-liku desentralisasi berjalan?
Hampir setiap tahun, pemerintah menggelar rapat kerja dengan seluruh gubernur. Semua masalah daerah diungkapkan di situ. Presiden selalu menekankan program pemerintah supaya daerah menjalankan programnya sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Tujuan raker hanya satu, supaya ada persamaan persepsi tentang desentralisasi, apa saja yang boleh atau tidak boleh dilakukan pemerintah daerah.

 

Masalah desentralisasi sangat kompleks. Semua daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, sering datang ke pusat dengan membawa berbagai jenis masalah. Kementerian Dalam Negeri memetakan ada 18 isu strategis terkait dengan desentralisasi. Misalnya, pembagian kewenangan pusat dan daerah, pemilu kepala daerah, pengembangan aparatur daerah, keuangan daerah, pelayanan publik, peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, dan peraturan daerah.
Sebenarnya semua masalah desentralisasi sudah diatur dalam suatu peraturan. Hanya apakah dijalankan atau tidak, hal itu tergantung daerah masing-masing. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sudah lengkap dengan peraturan pemerintahnya mengatur segala hal terkait otonomi daerah. Saat ini Kementerian Dalam Negeri sedang menyelesaikan rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang kewenangan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.
Sebelumnya, desentralisasi diatur dengan UU No 22/1999 tentang Pemerintah Daerah. UU itu banyak diprotes karena DPRD memiliki kewenangan luar biasa, yaitu dapat memakzulkan kepala daerah. Kemudian UU No 22/1999 direvisi menjadi UU No 32/2004. Kini, pemerintah sedang menyusun revisi terhadap UU itu menjadi tiga RUU, yaitu terkait pemilihan kepala daerah (pilkada), pemerintahan daerah, dan desa. Dari perubahan aturan ini terlihat konsep desentralisasi terus-menerus disempurnakan. Tujuan desentralisasi untuk menyejahterakan masyarakat harus terus disempurnakan.
Direktur Pengembangan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah Kementerian Dalam Negeri Kartiko Purnomo mencontohkan PP No 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, antara Pemerintah, Pemerintahan Provinsi, dan Pemerintahan Kabupaten/Kota yang mengatur secara jelas mengenai kewenangan apa saja yang dimiliki pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
UU No 32/2004 menegaskan ada enam kewenangan pemerintah yang tetap di pusat, yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, hukum, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Untuk pelaksanaan enam kewenangan ini, pemerintah daerah dapat memberikan bantuan dana kepada instansi vertikal di daerah. Sementara PP No 38/2007 menyebutkan 31 urusan pemerintahan yang merupakan kewenangan daerah.
”Semua sudah diatur, tetapi ada dua yang masih bermasalah, yaitu kewenangan di bidang pertanahan dan perhubungan laut. Masih ada kewenangan yang dirasakan kurang harmonis, seperti izin pertambangan itu,” kata dia.
Tahun 2006, masalah kewenangan pertanahan pernah diperebutkan antara pemerintah pusat dan daerah. Pusat ingin menguasai semua kewenangan di bidang pertanahan, sementara daerah ingin mendapatkan bagian dari urusan pertanahan. Daerah beralasan, UU No 32/2004 hanya mengatur enam urusan yang merupakan kewenangan pusat, tak termasuk pertanahan. Tarik-menarik kewenangan ini membuat penyusunan PP No 38/2007 memakan waktu lama, hampir dua tahun.
Saat ini Kementerian Dalam Negeri sedang menyelesaikan RPP tentang Kewenangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah yang adalah salah satu perintah dari UU No 32/2004. RPP akan mendefinisikan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat yang selama ini belum memiliki perangkat dan anggaran untuk menjalankan perannya.
”Selama ini, sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, gubernur tidak mempunyai perangkat dan anggaran. Lalu bagaimana ia mau menjalankan fungsinya? Hanya nasionalisme yang tinggi, kemudian gubernur berusaha menjalankan perannya di daerah. Jadi, peran gubernur harus lebih besar,” tutur Kartiko.
Peran gubernur yang akan diperjelas adalah soal koordinasi pemerintahan umum, perencanaan tata ruang, perencanaan pembangunan dan pembangunan ekonomi wilayah, kepegawaian, pengawasan peraturan daerah (perda), dan menjembatani alokasi dana alokasi khusus dari pemerintah ke pusat.
Itu baru beberapa masalah desentralisasi yang masih terus harus diselesaikan agar tujuan pemerintah pusat dan pemerintah daerah bisa selaras. Pemerintah pusat masih selalu mencari formula apa yang pas untuk memberikan perhatian ke semua daerah yang mempunyai keunikan masing-masing.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Tri Ratnawati, mengungkapkan, desentralisasi tidak mengharuskan semua kekuasaan pusat didelegasikan ke daerah, khususnya kewenangan yang bersifat strategis. ”Pemerintah pusat memiliki kewenangan melakukan tindakan tegas, bahkan membubarkan unit pemerintahan lokal yang tak menunjukkan kinerja yang baik,” kata dia.
Tri menuturkan, banyak faktor yang menyebabkan sukses atau tidaknya desentralisasi. Mengutip Dennis A Rondinelli, beberapa faktor indikasi suksesnya desentralisasi adalah keuangan daerah dan kewenangan daerah di bidang fiskal, adanya informasi yang memadai untuk publik mengenai jenis dan biaya pelayanan publik, dan akuntabilitas yang menjamin peluang bagi masyarakat lokal untuk mengawasi pemerintahan daerah.
”Banyak kasus di beberapa negara di Asia Tenggara desentralisasi hanya menguntungkan elite saja, yang disebut fenomena elite capture. Seharusnya ada survei mengenai seberapa jauh kepuasan masyarakat terhadap otonomi daerah, atau seberapa jauh dana APBD dipakai untuk masyarakat, selama sebagian besar untuk aparat daerah,” katanya.
Ada beberapa konsep otonomi daerah yang sebaiknya diperbaiki. Konsep titik berat otonomi di kabupaten/kota yang cenderung berlatar belakang politis perlu ditinjau ulang, Sebab, kabupaten/kota memiliki kapasitas yang rendah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.


Opini Kompas 7 Januari 2010