13 Desember 2009

» Home » Kompas » Risiko (Politik) Sistemik

Risiko (Politik) Sistemik

Pernyataan Menkeu Sri Mulyani di Wall Street Journal tentang perseteruannya dengan Aburizal Bakrie, terkait hak angket DPR, tak menyurutkan gelombang politik penggugatnya.
Itu berarti secara politik terjadi dampak sistemik. Dan secara ekonomi, dampak sistemik penalangan kian dipertanyakan.
Benarkah perekonomian lebih buruk jika Bank Century tak diselamatkan? Ini tak bisa dijawab karena fakta talangan Rp 6,76 triliun sudah terjadi. Dalam ilmu ekonomi, kita bisa menilai ”benar-salah”-nya sebuah kebijakan melalui simulasi counterfactual.


Saat krisis 1997/1998, banyak studi dilakukan guna menguji kebijakan Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga hingga 70 persen. Beberapa menyimpulkan, jika BI tidak menaikkan suku bunga kredit mengikuti saran IMF, krisis tak separah itu. Artinya, kebijakan menaikkan suku bunga membuat efek pro-siklus, krisis makin dalam.
Dalam kasus itu, meski terbukti ada ”kesalahan” kebijakan, tak satu pun pengambil kebijakan dihukum.
Bank Century
Bank Century, sebagai hasil penggabungan Bank Pikko, Bank Danpac, dan Bank CIC, sudah bermasalah sejak awal terbentuk, 2004. Dua bulan setelah bergabung, BI menemukan pelanggaran rasio kecukupan modal, saat itu, sebesar minus 132,5 persen. Padahal, Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 5/8/PBI/2003 mensyaratkan, bank sehat harus memiliki kecukupan modal minimal 8,0 persen.
Selama 2005-2007 ditemukan aneka pelanggaran batas maksimum pemberian kredit. Tahun 2008-2009, otoritas mengetahui penjualan produk reksa dana Antaboga, tetapi Bank Century tetap bertahan.
Bulan September-November 2008 merupakan puncak krisis global, berpusat di pasar keuangan AS. Indeks Dow Jones Industrial Average sebagai salah satu jangkar investasi pasar keuangan global tersungkur pada level terendah mendekati 7.000 poin, pertengahan November. Padahal, awal November masih bertengger di atas 9.500 poin.
Kondisi pasar modal domestik juga tak kalah buruk. Pada bulan-bulan itu, Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia menyentuh level terendah 1.111,39 poin. Harga Surat Utang Negara juga merosot drastis (depresiasi sekitar 30 persen) sehingga pemerintah harus menanggung kenaikan yield hingga 17,14 persen.
Efek berantai menjalar penurunan cadangan devisa hingga 12 persen dalam tiga bulan menyusul melemahnya nilai tukar hingga menyentuh Rp 12.000/dollar AS. Lembaga pemeringkat juga menurunkan credit default swap mencapai rekor tertinggi sehingga surat utang kita cenderung dihindari investor. Rentetan ke sektor riil juga terasa dengan meningkatnya laju inflasi ke 12,65 persen.
Sebagai respons sistemik atas kekacauan finansial, pemerintah mengeluarkan tiga perppu penting. Pertama, Perppu No 2/2008 tentang perubahan UU BI yang memungkinkan BI mengeluarkan fasilitas pendanaan jangka pendek.
Kedua, Perppu No 3/2008 tentang perubahan penjaminan deposito oleh Lembaga Penjamin Simpanan dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 miliar.
Ketiga, Perppu No 4/2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan sebagai dasar terbentuknya Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang diketuai Menteri Keuangan.
Dana talangan
Dalam kapasitasnya sebagai Ketua KSSK, Menkeu (akhirnya) menandatangani pemberian dana talangan Bank Century. Ada lima alasan mengapa bank itu mendapat suntikan; dikhawatirkan akan merusak lembaga keuangan (perbankan); menimbulkan dampak sistemik pasar uang; nilai tukar mengganggu sistem pembayaran; memengaruhi psikologi pasar; dan sektor riil. Sederhananya, jika tak diselamatkan, terjadi bahaya sistemik.
Padahal, total aset bank itu ”hanya” Rp 15 triliun, (0,5 persen dari total aset perbankan). Jumlah nasabah kecil sekitar 65.000, sekitar 0,1 persen dari total nasabah bank. Sementara dana pihak ketiga Rp 10 triliun atau kurang dari 1,0 persen dari total dana pihak ketiga. Memang ukuran tidak bisa menjadi patokan.
Sebuah bank kecil Northern Rock (Inggris) dan Bear Stearns (AS) terpaksa diselamatkan karena rangkaian transaksinya menyebar ke mana-mana. Jika tidak diselamatkan, dikhawatirkan menggugurkan sistem keuangan.
Namun, ada fakta lain yang tampaknya relevan diperhatikan. Beberapa waktu lalu, Dubai World, sebuah perusahaan investasi raksasa Timur Tengah, menyatakan tak mampu membayar sebagian kewajibannya. Akibatnya, hampir semua pasar finansial kawasan Timur Tengah bergejolak. Bahkan, dampak sistemiknya menjalar ke pasar modal AS, Eropa, dan Asia, termasuk Indonesia. Secara mengejutkan, Abdulrahman al-Saleh, Menkeu Dubai, mengatakan, tak ada dana talangan dari pemerintah (Financial Times, 1/12/2009).
Praktik penalangan sebenarnya terkait konsep Too Big To Fail. Kini, doktrin ini dipertanyakan kesahihannya oleh para akademisi dan lembaga penjamin simpanan-nya AS.
Sederhananya, keputusan menalangi Bank Century mengandung banyak kelemahan meski bukan berarti pengambil kebijakan bisa dikriminalisasi. Masalahnya, respons terhadap kasus Bank Century sudah masuk ranah politik. Maka dari itu, terlepas dari benar-tidaknya dampak sistemik secara ekonomi, dampak sistemik politiknya sudah sangat nyata.
A Prasetyantoko Dosen di Unika Atma Jaya, Jakarta
Opini Kompas 14 Desember 2009