13 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Nilai Strategis Perekrutan CPNS

Nilai Strategis Perekrutan CPNS

Langkah untuk menghasilkan CPNS profesional bisa menjadi inspirasi dalam mencari SDM berkualitas. Yaitu sistem penerimaan berdasar pedoman kecakapan individu

PEMERINTAH provinsi dan kabupaten/ kota di Jawa Tengah beberapa hari lalu secara serentak mengadakan seleksi penerimaan calon pegawai negeri ipil (CPNS). Seleksi tersebut merupakan rangkaian dari rencana pemerintah yang akan menerima sekitar 325 ribu CPNS di seluruh Indonesia pada tahun ini.


Sebagai bagian dari sistem pengembangan kepegawaian, proses rekrutmen memainkan peranan penting, khususnya kontribusinya dalam mempercepat reformasi birokrasi. Apalagi pemerintah telah menargetkan tahun depan seluruh proses reformasi birokrasi tuntas dilaksanakan pada seluruh kementerian atau lembaga

Meski rekrutmen pegawai bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan reformasi birokrasi, prosesnya merupakan pijakan awal menuju langkah reformasi birokrasi lainnya. Kesuksesan rekrutmen CPNS, yang ditunjukkan oleh kualitas output, berpotensi untuk memperbaiki birokrasi pemerintah yang selama ini masih sering dikonotasikan negatif. Misalnya pelayanan publik yang dirasa kurang memuaskan.

Secara teoritis, birokrasi kita masih banyak mewarisi sistem administrasi publik tradisional. Pendekatan administrasi publik tradisional ini dicirikan oleh kecenderungan peran administrasi publik yang terbatas dalam proses perumusan kebijakan publik; pemberian pelayanan dilaksanakan oleh administrator yang bertanggung jawab kepada pejabat politik dan diberi diskresi yang sangat terbatas; program-program publik dikelola oleh organisasi yang disusun secara hierarkis (dari atas ke bawah).

Ciri lainnya adalah tujuan utamanya efisiensi dan rasionalitas; organisasi publik dikelola dengan sistem tertutup di mana keterlibatan warga masyarakat sangat terbatas atau dibatasi; dan tugas utama administrasi publik adalah melaksanakan fungsi teknis administrasi (Denhardt dan Denhardt, 2003).

Nuansa patrimonial governance terbukti masih pekat mewarnai birokrasi kita. Hal ini bisa dilihat antara lain dari perilaku birokrat yang sulit memisahkan antara kepemilikan pribadi dan publik, serta mengeksploitasi kekuasaan selayaknya kekayaan pribadi.

Dalam hal kinerja, kinerja birokrasi masih tergolong rendah. Meski telah dirintis penyusunan anggaran berbasis kinerja,  orientasinya masih condong pada proyek, bukan peningkatan kinerja optimal.

Kinerja Rendah

Bukti menunjukkan adanya realitas pada kantor-kantor pemerintah yang masih rendah kinerjanya. Tidak sulit menemukan pegawai pemerintah yang pada saat jam kerja tidak melakukan kegiatan produktif.

Berkembangnya tuntutan reformasi birokrasi didorong ketidakpuasan atas praktik administrasi publik tradisional yang memiliki banyak kelemahan tersebut. Dengan kata lain, reformasi birokrasi merupakan agenda yang mendesak untuk dituntaskan. Selain sebagai upaya untuk memperbaiki sistem administrasi publik Indonesia yang masih jauh dari harapan, reformasi birokrasi juga telah menjadi tuntutan, tantangan, dan peluang dalam tatanan regional dan global.

Good governance merupakan tujuan dari reformasi birokrasi. Sebuah tata kelola pemerintahan yang baik akan memfasilitasi representasi demokratis dan meliputi struktur dan proses yang diperlukan untuk menunjukkan atribut pertanggungjawaban, transparansi, kepekaan, efektivitas, efisiensi, inklusivitas, kewajaran, aksesibilitas, partisipasi, dan kemampuan untuk mengikuti kaidah hukum.

Syarat awal untuk menciptakan organisasi sektor publik (birokrasi) yang profesional adalah tersedianya SDM yang berkualitas. Harus diakui, organisasi sektor publik kita sekarang masih minim pegawai dengan kualitas memadai.  Reformasi birokrasi menuntut aparatur pemerintah yang memiliki keahlian, kapasitas administratif, tanggung jawab, moral etika, akhlak, etos kerja, dan kreativitas memadai. Rekrutmen pegawai menjadi entry point untuk melancarkan terwujudnya reformasi birokrasi.

Rekrutmen merupakan proses penarikan sekelompok kandidat untuk mengisi posisi yang lowong (McKenna & Beech, 1995). Prinsipnya, rekrutmen harus mampu menghasilkan kandidat yang berkualitas. Sebaliknya, jika  tidak mendapatkan calon pegawai yang dibutuhkan organisasi, berarti proses yang dilalui diragukan kualitasnya.

Dalam hal ini tantangan bagi pemerintah sebagai pelaksana adalah untuk menunjukkan bahwa rekrutmen dilakukan secara profesional. Langkah untuk menghasilkan CPNS profesional bisa menjadi inspirasi dalam mencari SDM berkualitas. Yaitu sistem penerimaan berdasar pedoman kecakapan individu (merit system). 

Sistem merit menekankan adanya persaingan terbuka secara objektif dengan mengutamakan pertimbangan pada kemampuan masing-masing. Kebalikan sistem ini adalah patronage system, yakni sistem penerimaan dengan mendasarkan diri atas hubungan yang sifatnya subjektif, hubungan keluarga, atau pribadi.

Sistem merit dalam pelaksanaannya sering kali menemui banyak hambatan; seperti terbatasnya informasi, kecurangan penyeleksian akibat ulah calon atau adanya oknum yang menyalahgunakan kewenangan, serta keterbatasan metode/pola yang diterapkan.

Beranjak dari pola rekrutmen yang tepat akan diperoleh SDM berkualitas. Yang penting diperhatikan ialah bagaimana memperbaiki sistem atau metode dalam rekrutmen sehingga bisa menghasilkan SDM berkualitas sebagai bagian dari investasi organisasi pemerintah di masa mendatang.

Mekanisme penyeleksian di sebagian besar instansi pemerintah selama ini sering tidak dapat menyaring kualitas pelamar yang sesuai kebutuhan birokrasi. Contoh tentang materi seleksi, di mana materi tes seperti pengetahuan umum tidak bisa optimal menguji kecakapan seorang pelamar di bidangnya. 

Selain itu, harus disadari bahwa isu yang hampir selalu muncul dalam proses rekrutmen CPNS ialah berkenaan adanya praktik kolusi dan nepotisme. Dari tahun ke tahun isu tersebut berhembus di kalangan masyarakat.
Prinsip objektivitas dan transparansi mesti dijunjung tinggi. Objektivitas mengandung arti pengangkatan dilakukan sesuai dengan syarat yang ditentukan. Siapa yang diterima adalah mereka yang lolos karena memenuhi persyaratan. 

Sedang pengertian transparansi menuntut keterbukaan proses sejak dari awal hingga akhir, seleksi. Ketidaktransparan ini acapkali mencuatkan tanda tanya yang menjurus sikap curiga dari pihak lain. Sangat beralasan bila publik menaruh sikap curiga terhadap proses seleksi yang dilalui jika parameter seleksi tidak jelas.

Kebijakan rekrutmen seyogianya wajib didahului oleh perencanaan matang. Apabila proses rekrutmen dilakukan tanpa perencanaan matang berdasar pada job analysis dan analisis kebutuhan riil pegawai, serta standar kompetensi yang jelas maka akan cenderung menyulitkan penataan kepegawaian di masa depan. (10)

— Didik G Suharto, dosen ilmu administrasi negara FISIP UNS
Wacana Suara Merdeka 14 Desember 2009