13 Desember 2009

» Home » Kompas » Krisis Utang Global

Krisis Utang Global

Harian ini pekan lalu (11/12/2009) memuat artikel tentang krisis utang Yunani yang mencapai rekor baru.
Akumulasi utang negara itu, seperti dikatakan Wakil Menteri Keuangan Yunani Filippos Sahinidis di parlemen, mencapai 300 miliar euro (sekitar 450 miliar dollar AS). Dengan jumlah produk domestik bruto (PDB) 357 miliar dollar AS tahun 2008, rasio utang terhadap PDB mencapai 125 persen lebih, bahkan kini dispekulasikan ada di sekitar 140 persen. Hal ini menambah daftar negara yang mempunyai rekor utang, yaitu Jepang dan AS.


Standar utang
Dewasa ini sebetulnya tidak ada standar utang internasional dalam bentuk formal. Yang ada adalah apa yang disebut convergence criteria dalam Undang-undang Dasar pendirian Uni Eropa, yang dikenal dengan Maastricht Treaty, yang mensyaratkan utang pemerintah tidak boleh lebih besar dari 60 persen dari PDB. Sementara defisit APBN negara anggota tidak boleh melebihi 3,0 persen dari PDB.
Standar inilah yang akhirnya menyebar ke mana-mana, termasuk digunakan Indonesia dalam UU Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003, dilengkapi Peraturan Pemerintah No 23/2003.
Saat ini, Pemerintah AS memiliki utang—yang menurut standar mana pun amat besar—yaitu 12,1 triliun dollar AS. Angka psikologis 12 triliun dollar AS tercapai bulan lalu dan tiap hari sejak 27 September 2007 utang negara itu bertambah 3,83 miliar dollar AS. Dengan PDB sekitar 14 triliun dollar AS, rasio utang mereka terhadap PDB lebih dari 80 persen. Rasio ini terus meningkat cepat karena defisit APBN negara itu mencapai lebih dari 1 triliun dollar AS tahun 2009.
Sementara itu, Jepang mengalami babak baru pada tahun 2009. Penerimaan pemerintah dari utang ternyata lebih besar dari penerimaan pajak. Tahun ini, rasio utang pemerintah terhadap PDB mencapai lebih dari 200 persen. Dengan rasio 200 persen, setiap kenaikan 1,0 persen bunga pada surat utang, akan menyebabkan kenaikan beban pembayaran bunga di APBN mereka sebesar 2,0 persen per tahun.
Sebagai perbandingan, biaya bunga dari seluruh utang Pemerintah Indonesia saat ini, baik utang dalam negeri maupun luar negeri, ”hanya” 2,1 persen dalam APBN kita. Inilah sebabnya saya berkeyakinan, Bank Sentral Jepang akan menghadapi kesulitan besar menaikkan suku bunganya karena tiap langkah ke arah itu akan menyebabkan tambahan beban amat besar bagi APBN negaranya.
Juga diyakini, suku bunga dollar AS akan mengalami bias ke bawah karena persoalan yang dihadapi Pemerintah AS.
Secara umum, utang pemerintah negara-negara maju dewasa ini mengalami kenaikan signifikan karena dilakukannya stimulasi fiskal guna mendorong perekonomian negara-negara yang mengalami resesi. Itu sebabnya, banyak negara Uni Eropa yang akhirnya melanggar kriteria stabilitas tersebut dengan menerapkan defisit besar. Bahkan, defisit APBN negara Yunani mencapai 12,5 persen dari PDB-nya.
Ketahanan fiskal Indonesia
Berlatar belakang seperti itu, bagaimana memandang ketahanan fiskal kita?
Agaknya, tidak banyak yang mensyukuri bahwa utang Pemerintah Indonesia memiliki skala kegentingan yang jauh dari yang dialami negara-negara maju. Dewasa ini, rasio utang terhadap PDB ada di sekitar 30 persen dan terus menurun. Bahkan, jika utang pemerintah terhadap Bank Indonesia dikeluarkan dari jumlah itu (dikenal sebagai inter-government holding), sebetulnya rasio utang terhadap PDB mencapai 26 persen. Berdasarkan standar internasional, rasio ini berada pada tingkat relatif rendah dan amat aman.
Dalam utang pemerintah yang mencapai Rp 1.600 triliun itu (angka ini selalu bergerak karena perubahan kurs dan sebagainya), ada utang luar negeri yang mencapai 60 miliar dollar AS. Angka ini relatif stabil selama bertahun- tahun, karena meski terjadi net pembayaran keluar, tetapi perkembangan nilai tukar mata uang utama (misalnya yen terhadap dollar AS) menyebabkan jumlah utang secara keseluruhan relatif stabil di angka itu.
Beberapa tahun lalu, angka utang luar negeri ini jauh melampaui cadangan devisa kita. Namun, dewasa ini, jumlah cadangan devisa pemerintah mungkin sudah melampaui jumlah utang itu. Sementara itu, rasio antara pembayaran bunga dan cicilan luar negeri dibandingkan dengan ekspor, atau yang dikenal dengan debt service ratio (DSR), juga menurun dan berada pada level yang sangat aman.
Defisit APBN kita juga berada pada tingkat aman, jauh di bawah batas maksimum 3,0 persen dari PDB. Tahun 2008 bahkan APBN kita hampir berimbang. Tahun 2010 defisit yang direncanakan akan mencapai sekitar 1,6 persen dari PDB. Diperkirakan realisasinya akan berada di bawah 1,0 persen dari PDB.
Faktor lain yang menjadikan ketahanan fiskal kita amat tinggi saat ini adalah bantalan kas yang dimiliki pemerintah yang kini mencapai Rp 200 triliun, ada di Bank Indonesia dan bank-bank umum. Dengan jumlah itu, pemerintah memiliki cadangan memadai jika terjadi penerimaan pemerintah di bawah target (shortfall). Keadaan itu juga memungkinkan pemerintah memiliki kemampuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat dibandingkan dengan yang direncanakan tahun depan.
Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo Pemerhati Ekonomi
Opini Kompas 14 Desember 2009