22 November 2009

» Home » Okezone » Media dan Pengawasan Peradilan

Media dan Pengawasan Peradilan

Tulisan Prof Dr Jusuf yang berjudul "Pengadilan oleh Media Massa" di dalam kolom opini harian Seputar Indonesia, Jumat, 20 November 2009 lalu menarik untuk dicermati dan dikritisi.

Beliau pada intinya menyatakan bahwa telah terjadi trial by the press dalam kasus perseteruan KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung. Lebih jauh dia mengatakan bahwa media secara sistematis telah menggiring opini publik sehingga otoritas hukum sepertinya tidak lagi ada di tangan negara c.q. kepolisian dan kejaksaan, tetapi bergeser ke kekuatan masyarakat.
Tulisan ini akan melihat masalah tersebut dari perspektif yang berbeda dari apa yang diungkapkan Prof Dr Jusuf dalam tulisannya tersebut dengan membuat sebuah pertanyaan sederhana, yaitu mengapa dalam kasus perseteruan institusi penegak hukum tersebut, publik cenderung tidak percaya kepada kepolisian dan kejaksaan dan pada saat yang sama publik cenderung bersimpati kepada KPK (baca Bibit-Chandra)?

Ada beberapa fakta dan argumen yang diabaikan dalam menganalisis peran media dalam konflik KPK-kepolisian dan kejaksaan. Pertama, artikel tersebut seolah menafikan fakta atau realitas penegakan hukum di Indonesia yang terjadi di dunia peradilan selama ini yang melibatkan kepolisian dan kejaksaan. Hasil survei Tranparency International Indonesia beberapa tahun terakhir misalnya tetap mengukuhkan bahwa dunia peradilan kita (yang melibatkan kepolisian dan kejaksaan) masih tetap berada di peringkat atas dalam masalah korupsi.

Bahkan seorang advokat senior di Yogyakarta seperti Kamal Firdaus pernah menyatakan bahwa setelah Reformasi pun dunia peradilan sepertinya tidak menunjukkan perubahan mendasar, bahkan terlihat praktik mafia peradilan semakin liar dan ganas. Kasus suap yang melibatkan mantan Kabareskrim Polri Suyitno Landung, kasus suap yang menjerembabkan karier Jaksa Urip Tri Gunawan dan menyeret makelar kasus Arthalitha adalah deretan kasus yang terjadi setelah era Reformasi bergulir sejak 1998.

Sampai saat ini masyarakat belum melihat bukti yang nyata bahwa kepolisian dan kejaksaan telah mereformasi dirinya. Sebaliknya yang terjadi, di hadapan rakyat dipertontonkan teater menggelikan kasus Anggodo yang memperlihatkan betapa kepolisian lembek dan gagap menghadapi orang seperti itu. Masyarakat lalu bertanya, "Ada hubungan seperti apakah antara polisi dan jaksa dengan orang seperti Anggodo sehingga Anggodo dan teman-temannya seperti leluasa bergerak dan akrab dengan petinggi kejaksaan dan kepolisian?"

Dengan track record Anggodo dan apa yang telah diperlihatkan polisi selama ini, orang tentu menduga-duga ada yang salah dan disembunyikan oleh kepolisian. Dalam hal ini polisi mengalami apa yang dikatakan pepatah "sekali lancung di ujian, seumur hidup orang tak percaya". Beberapa kasus suap yang terbongkar seperti di atas diyakini banyak pihak dan pengamat hanyalah bongkahan kecil es di atas puncak sebuah gunung es.

Masyarakat meyakini hal ini karena sebagian besar mereka adalah para korban mafia peradilan yang telah memangsa mereka secara jumawa dan tanpa perasaan bersalah sedikit pun. Lebih jauh lagi seharusnya kita melihat adegan yang sangat kontras bagaimana polisi tergagap-gagap berhadapan dengan orang seperti Anggodo dan pada saat yang tidak jauh berbeda mereka sangat jumawa dan dingin menyeret seorang nenek yang hanya mengambil 3 biji kakao dan dituntut 6 bulan penjara oleh jaksa penuntut umum.

Transkrip yang telah diputar di MK secara resmi juga menunjukkan betapa para mafia peradilan seperti Anggodo dan Ong Juliana sangat akrab dengan para petinggi kepolisian dan kejaksaan. Orang awam saja bisa menilai bahwa ternyata para petinggi kepolisian bersikap manis terhadap orang-orang seperti Anggodo dan pada saat yang sama bersikap seolah tanpa rasa kepada rakyat kecil yang tidak bisa menjanjikan apa-apa.***

Kedua, jika dihubungkan kasus perseteruan KPK-kepolisian dan kejaksaan dengan konteks permasalahan di atas, berbeda dengan perspektif artikel tersebut, seharusnya peran media diapresiasi secara positif karena media mampu mengagregasi aspirasi dan kepentingan publik yang telah banyak dizalimi oleh praktik kotor mafia peradilan yang bersembunyi di balik seragam polisi dan jaksa.

Yang dilakukan media saat ini adalah melakukan penyadaran kolektif kepada publik bahwa mafia peradilan bukanlah isapan jempol belaka, tetapi ia adalah sebuah fakta atau realitas yang telah menggerogoti institusi penegak hukum Indonesia. Oleh karena itu, tidak salah dikatakan bahwa media dalam hal tertentu mampu menjadi pilar kelima penegak hukum di luar polisi, jaksa, advokat, dan hakim.

Dengan kata lain, dalam pemberantasan mafia peradilan, media justru memiliki peran signifikan dalam membuka akses keadilan bagi publik dengan melakukan pengawasan terhadap setiap tahapan proses peradilan seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Dengan kata lain, media bisa menjadi the guardian of public interest dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat dan semua pihak yang terkait, termasuk polisi dan jaksa, untuk berargumentasi dan membuktikan bahwa mereka berada di jalan yang benar dalam proses peradilan yang terbuka, jujur, dan fair. Karena itulah, sidang di pengadilan sifatnya terbuka untuk umum agar ada pengawasan publik terhadap proses peradilan tersebut.***

Ketiga, penulis malah melihat, dalam kasus perseteruan institusi penegak tersebut, media telah menjalankan fungsi penggandaan kekuatan pengawasan publik yang baik terhadap institusi peradilan dan pada saat yang sama menyadarkan para petinggi Polri dan kejaksaan bahwa ada persoalan serius di tubuh mereka sendiri yang harus segera direformasi.

Respons terbaik Polri dan kejaksaan sebenarnya bukan malah bereaksi secara negatif terhadap media, tetapi justru berterima kasih kepada media yang telah memberikan pil pahit kepada tubuh kepolisian dan kejaksaan sehingga institusi tersebut bisa sembuh dari kanker mafia yang mereka derita.

Respons negatif yang berlebihan dari kepolisian dengan memanggil pimpinan media belakangan ini bisa jadi malah menjadi kontraproduktif dan masyarakat akan semakin mencurigai institusi kepolisian dan kejaksaan sebagai rumah tempat berlindungnya para mafia peradilan tersebut.

Oleh karena itu, sikap positif petinggi kepolisian dan kejaksaan terhadap kritik yang bagaikan pil pahit tersebut sangat diharapkan sehingga ke depan institusi kepolisian dan kejaksaan bisa sembuh dari kanker mafia yang menyelimuti tubuhnya selama ini. Tanpa komitmen yang jelas dan kuat dari Kapolri dan Jaksa Agung untuk mengadakan perubahan fundamental di institusi penegak hukum tersebut, reformasi peradilan hanya sebuah utopia di negara ini.

Seharusnya pihak yang memandang negatif posisi media bisa berempati dengan perspektif yang berbeda bahwa media sebenarnya justru memainkan peranan yang strategis dalam mengawal kepentingan publik dari praktik kotor para mafia peradilan yang selama ini bergerak dengan leluasa. Keadilan hukum memang tidak ditentukan oleh apa yang dikatakan oleh orang banyak di media.

Namun media bisa berjasa dalam melakukan kontrol terhadap proses peradilan dan pada saat yang sama mengatakan keputusan hukum itu tidak dibuat di ruang hampa. Peradilan adalah dunia yang penuh dengan godaan materi. Jika para penegak hukum tidak menyadari makna profesi mereka yang sebenarnya mulia, para penegak hukum bisa tersungkur dan kehilangan wibawa di hadapan penguasa atau pengusaha kaya, seperti anekdot di antara para akuntan, "If money starts talking, even the angel starts listening." Karena itulah pengawasan media menjadi berarti dalam mengawal proses peradilan. Wallaahu a'lam bishawwab.(*)

Iwan Satriawan, MCL
Dosen FH UMY dan Anggota Dewan Etik Indonesian Court Monitoring


Opini Okezone 23 November 2009