22 November 2009

» Home » Republika » Bangsa tanpa Perekat

Bangsa tanpa Perekat

Bustanuddin Agus
(Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Andalas, Padang)

Masyarakat merupakan kumpulan individu. Kalau tidak punya perekat, masyarakat diibaratkan pasir atau buih di tepi pantai. Ada istilah yang tepat jika individu-individu itu tidak direkat.

Ada tiga perekat untuk menjalin kesatuan bangsa ini. Pertama adalah falsafah, cita-cita bangsa, atau ideologi yang 'dianut' bersama. Kedua adalah kedisiplinan kepada aturan main bersama atau apa yang dikenal dengan supremasi hukum. Ketiga adalah kepercayaan satu sama lain, trust, dan amanah.
Falsafah dan ideologi adalah perekat yang menggerakkan anak bangsa ini untuk punya prinsip dan tekad bersama, seperti bersama-sama untuk mencapai masyarakat adil dan makmur atau kejayaan bangsa (nasionalisme). Falsafah dan ideologi adalah sumber energi untuk rela dan senang berkorban serta kerja keras mencapai cita-cita tersebut. Namun, kalau sudah individualisme atau kepentingan kelompok yang ke muka menggantikan cita-cita dan tekad bersama, bukan perekat yang didapatkan, malah jadi mesin pemecah satu sama lain sehingga mudah dikuasai. Hukum sosial (sunnatullah) devide et empera ini diketahui semua orang, apalagi para ahli dan elite bangsa. Namun, mereka tak cukup kuat untuk selalu memerhatikannya.
Kasus 'cicak dan buaya' contoh nyata bagaimana ego sektoral, semangat korps, mengalahkan falsafah dan ideologi bangsa. Akibat oknum yang bermain dalam lembaga, lembaga jadi tidak berharga lagi di mata rakyat karena dampaknya memang besar (mafia peradilan).

Setelah hampir 70 tahun Indonesia merdeka, ideologi ekonomi (keadilan sosial) dan ideologi kebangsaan ternyata tidak cukup kuat untuk selalu mengalahkan keserakahan individu dan ego sektoral. Mencak-mencak dan menari di balik logika formal prosedural masih menunjukkan berkuasanya individualisme dan ego sektoral atas kepentingan bangsa yang lebih luas. Sebagai manusia yang berkuasa dan kaya, wajar pula untuk bosan dengan segala jargon yang dinamakan falsafah dan ideologi bangsa yang tak kunjung kenyataan atau tak dirasakan penting itu.

Karena itulah, founding fathers bangsa ini menempatkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (YME) sebagai dasar dan ideologi pertama bangsa ini. Diharapkan, keyakinan kepada Tuhan seperti yang diajarkan agama masing-masing menambah semangat untuk konsisten dalam keyakinan bersama itu. Apalagi kalau keyakinan kepada Tuhan YME diperkuat dengan keyakinan ajaran Tuhan yang lain, seperti keyakinan kepada akhirat, dosa-pahala, hukuman dan pembalasan-Nya, kekuasaan dan keadilan-Nya, serta ibadah dan amal, tentu konsisten untuk berjuang mencapai tujuan bersama yang diperhalus dan diperdalam lagi dengan tercapainya rahmatanlilamin akan dapat suplai energi yang terus-menerus (karena selalu berdoa kepadaNya untuk minta kekuatan iman). Namun, ketika Tuhan Yang Mahakuasa diabaikan, perekat masyarakat yang utama ini menjadi sangat lemah dan tidak berdaya sehingga mudah diadu domba oleh egoisme individual dan sektoral.

Supremasi hukum
Perekat individu dan lembaga dalam masyarakat yang kedua adalah kesamaan way of life yang dituangkan dalam bentuk hukum. Ibarat menggunakan jalan raya yang tidak ada rambu-rambu dan peraturan lalu lintas, niscaya tabrakan terjadi setiap saat. Ada peraturan dan rambu-rambu yang bertujuan keselamatan dan kelancaran bersama, tapi tidak dipatuhi, sungguh akan mengakibatkan tabrakan demi tabrakan (yang beruntun lagi) seperti yang diperagakan akhir-akhir ini. Tragisnya lagi, yang memainkan ego individual dan sektoral ini mengalahkan garda depan dari penegak hukum itu sendiri. 'Tongkat membawa rebah dan pagar makan tanaman' bukan lagi deviasi, penyimpangan, atau pelanggaran biasa. Mafia peradilan adalah istilah yang dipakai untuk pengkhianatan yang memalukan ini yang selama ini dikatakan tidak ada atau ditutup-tutupi.

Momentumnya pas sekali untuk melakukan konversi atau tobat nasuha di kalangan penguasa negeri ini untuk membersihkan institusi penegak hukum dari virus-virus yang mampu melemahkan institusi secara keseluruhan, ibarat virus HIV/AIDS.

Namun, memang demikian nasib perekat atau darah suatu tubuh yang hanya punya dimensi rasional, formal, dan material. Dimensi sakral dari hukum itu diabaikan sehingga kepatuhan kepadanya juga bersifat rasional, formal, dan material saja. Panggilan dari keyakinan dan lubuk hati terdalam untuk mematuhinya sudah lama dipupus sejak anggapan urusan sakral dan ibadahnya sesuatu tidak urusan negara. Kalau demikian halnya, wajar mafia dan akrobat di bidang hukum itu bercokol di kalangan penegak dan ahli hukum itu sendiri.

Trust
Hukum adalah perekat yang jelas dan punya sanksi pula, kemudian dilanggar, sayang sanksinya tidak cukup menggigit dan tidak punya sistem progresif. Seharusnya, makin tinggi jabatan makin berat hukumannya, itu dapat dipercaya, trust. Amanah adalah perekat yang tidak tampak, tapi dirasakan memberikan ketenangan dan membahagiakan oleh yang bersangkutan. Yang punya kepercayaan, seperti kepercayaan keagamaan, tidak cukup menyatakan diri percaya atau beriman, tapi harus dibuktikan oleh sikap yang dapat dipercaya dan dapat diamanahi (suatu tugas dan kekayaan negara). Iman dan amanah adalah kata yang berasal dari akar kata yang sama (alif, mim, nun).

Dapat dipercaya adalah sisi lain dari mata uang iman karena yang diimani itu tidaklah wujud mati, pasif, dan tidak berdaya, namun Tuhan Yang Maha Mengetahui, Maha Melihat, Mahakuasa, dan Mahaadil. Kalau kepercayaan tersebut tidak didasarkan kepada kepercayaan terhadap adanya Zat Yang Maha Mengetahui, Maha Melihat, Mahakuasa, dan Mahaadil tersebut, kepercayaan itu wajar saja tidak berdampak dapat dipercayai. Jadi, tidak berdaya karena diperdaya (dipelintir) oleh penganutnya.

Interaksi yang tidak didasarkan trust akan berganti dengan saling curiga (prejudice). Curiga adalah bom waktu atau bola panas dari konflik di tengah masyarakat yang menunggu waktu meledak saja. Pemimpin harus cepat menjinakkan bom waktu atau bola panas ketika melihat gejala-gejalanya.

Mengembalikan trust dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum adalah program yang harus cepat, tidak menunggu masyarakat frustrasi dulu terhadap pemerintahan SBY jilid II ini.

Opini Republika 23 November 2009