13 Desember 2011

» Home » Okezone » Opini » Meneladani Kesederhanaan Founding Fathers

Meneladani Kesederhanaan Founding Fathers

Pekan lalu, Ketua KPK Busyro Muqoddas melayangkan sindiran. Busyro menyebutkan bahwa banyak wakil rakyat yang bersikap hidup mewah alias hedonis. Buktinya, di parkiran gedung DPR/MPR terparkiran puluhan bahkan ratusan mobil mewah.
 
"Yang jelas mereka sangat perlente, mobil dinas Crown Royal Saloon yang jauh lebih mewah dari mobil perdana menteri negeri tetangga. Mereka lebih mencerminkan politisi yang pragmatis-hedonis," ucap Busyro dalam pidatonya. 

Defisit Integritas dan Kesederhanaan

Keras tentu saja. Panas juga pastinya, apalagi bagi kalangan pejabat yang tertohok oleh bahasa tersebut. Tanpa perlu perdebatan panjang soal apa itu gaya hidup “wah” dan kuatnya keterkaitan parpol dan kementerian korup, persoalan malah membuncah di wilayah serangan terhadap Busyro melalu pernyataannya. Tentu, banyak yang terganggu dengan dua statemen hampir setara menyakitkannya ini. Terganggu, makanya menjadi hangat dan besar diperbincangkan.

Keberanian Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas melontarkan kata perlente kepada pejabat pemerintah dan anggota dewan perlu diacungi jempol.  Meski tidak bisa digeneralisir, namun sindiran Busyro atas sikap pejabat yang kerap bergaya perlente itu nyata adanya. Bukan hanya sang pejabat, tetapi juga istri dan anak.

Apa yang diungkapkan oleh Ketua KPK di atas merupakan kritikan terhadap fenomena defisit integritas dan kesederhaanan para pemimpin bangsa yang terjadi dalam beberapa dekade tahun terakhir. Perilaku yang ditunjukkan para pemimpin jelas sangat berbeda dengan yang dilakukan oleh para pendiri republik yang tetap memiliki kompetensi, kedekatan dengan rakyat dan tidak memiliki self interest hingga akhir hayatnya. 

Defisit integritas dan kesederhanaan terjadi pada level para pimpinan baik pusat dan daerah. Lihat ke puncak, intergritas tidak ada. Lihat ke bawah, tambah kacau. Kesederhanaan dan integritas semakin mengalami deficit. Sebagai contoh, Presiden SBY menghabiskan Rp 839 juta hanya untuk urusan bajunya. Untuk penyusunan pidatonya saja, Presiden SBY pun harus menggerus dana APBN sebesar Rp1,9 milyar. Sedangkan untuk kebutuhan pengamanan pribadi, presiden SBY juga menggelontorkan uang APBN sebesar Rp52 miliar.

Rata-rata pejabat di negeri ini seperti itu. Mereka "tega" hidup mewah di tengah-tengah kemiskinan yang mencekik rakyatnya. Mereka juga kebal dengan kritik dan tidak punya rasa malu lagi. Kalaupun ada yang rela hidup sederhana, maka perilaku orang itu dianggap anomali dalam kehidupan politik sekarang.
Contoh Keteladanan

Dalam Seminar nasional mengenang 25 tahun wafatnya AR Baswedan, tujuh bulan silam, Anis Baswedan, Rektor Universitas Paramadina yang merupakan cucu dari almarhum AR Baswedan menilai, seharusnya para pemimpin dan calon pemimpin saat ini perlu mencontoh keteladanan dari sosok para pendiri bangsa yang masih mengedepankan kederhanaan dan tidak melakukan perilaku koruptif. 

Salah satunya yang ditunjukkan almarhum kakeknya, AR Baswedan setelah pensiun dari menteri di era kabinet Syahrir. “Setelah pensiun, beliau itu tidak punya telepon dan mobil. Kalau mau telepon pinjam tetangga. Saya bertugas mengantar beliau ke mana-mana, bertemu para tokoh hingga ambil pensiun, setiap terima pensiun, saya diberi persenan, lumayan besar waktu itu,” kenangnya.

Saat kakeknya pensiun dan menetap di Yogyakarta tiba-tiba diundang wakil presiden Adam Malik untuk bertemu di Gedung Agung. Mengendarai motor vespa satu-satunya yang dimiliki sang kakek, Anies mengantarkan kakeknya ke istana. Usai bertemu Adam Malik, AR Baswedan lalu pamit dan diantar Adam Malik hingga pintu keluar. Adam Malik menggira, Baswedan dijemput menggunakan mobil. Dia pun buru-buru meminta petugas istana untuk menyingkirkan mobil RI 2. Adam malik keliru, Baswedan hanya meluncur keluar dengan berjalan kaki meninggalkan istana. Melihat hal itu, Adam Malik terenyuh, ternyata seorang pensiunan menteri tetap hidup dalam suasana kesederhanaan. “Beberapa bulan kemudian, sebuah mobil dari Adam Malik yang dikirim ke rumah kakek saya,” ujar Anies.

George McTurnan Kahin, Indonesianis dari Cornell University, Amerika Serikat, memiliki kesan khusus terhadap Muhammad Natsir, yang ditemuinya pada 1948 di Yogyakarta; Negarawan yang rendah hati dan bersahaja. 

Jas penuh tambalan yang saat itu dikenakan Natsir hampir tidak menunjukkan sosok Natsir sebagai Menteri Penerangan. Penampilan sederhana tetap dipertahankan Natsir saat menjadi Perdana Menteri (PM) pada tahun 1950-1951. Sebelum menempati rumah bekas Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur (kini Jalan Proklamasi), Jakarta, Natsir dan keluarganya menumpang di sebuah rumah di Jalan Jawa, lalu di kawasan Tanah Abang.

Natsir juga hanya memiliki sebuah mobil pribadi bermerek DeSoto yang telah kusam. Ketika ditawari mobil sedan mewah buatan Amerika Serikat pada 1956, dengan halus Natsir menolaknya. Kesederhanaan Natsir, juga pendiri bangsa lainnya, seperti Bung Hatta, diyakini menjadi keutamaan yang harus dimiliki oleh pejabat publik.

Lihat pula kisah Bung Hatta, mantan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tahun 1950-an, ia sangat ingin memiliki sepatu Bally—sepatu bermutu tinggi saat itu. Karena tidak punya uang yang cukup, Bung Hatta menabung cukup lama untuk bisa membeli sepatu bermerek itu. Begitulah kesederhanaan para pemimpin Republik saat itu. Akan tetapi, di dalam kesederhanaan itu terdapat semangat dan pengabdian yang sangat besar. Mereka rela berkorban apapun demi bangsa dan rakyatnya.

Meneladani Mereka

Dari beberapa nukilan kisal keteladanan founding fathers tersebut, ada tiga hal yang bisa dipetik. Pertama, Para pendiri republik adalah ‘orang yang sudah selesai’, mereka tidak menggunakan republik untuk memperkaya dirinya sendiri. Mereka memiliki kompetensi, kedekatan dengan rakyat dan minim self interest. Kini, giliran generasi penerus yang melanjutkan estafeta integritas dan kesederhanaan mereka.
Kedua, kesederhanaan tidak sama dengan kemiskinan dan kekumuhan, demikian tegas Budiman Sudjatmiko, Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, dalam situs pribadinya. Kesederhanaan adalah empati dengan cara melibatkan diri dalam jalan derita rakyat. Untuk itu lah Bung Karno kerap mengatakan bahwa pemimpin itu menjalankan AMPERA (Amanat Penderitaan Rakyat). Maksud Bung Karno adalah memimpin itu menjalankan amanat rakyat untuk mengakhiri derita dan rasa sakit atas kemiskinan mereka.

Mengapa kesederhanaan itu mulia dan luhur? Karena ia menghiasi pembuatan kebijakan publik dengan jiwa solidaritas dan pesan bahwa  perbuatan baik mengatasi amanat penderitaan rakyat itu indah seperti pengantin yang diriasi. Kesederhanaan akan meringankan langkah bangsa memberantas korupsi, kemiskinan, keterbelakangan dan ketimpangan sosial seringan saat para calon pemimpin dulu menjajakan diri mereka di hadapan rakyatnya. Karena itu bukannya tanpa alasan jika ada bait puisi dari penyair Latin, Horace, yang mendengungkan dahsyatnya simplex munditiis (kesederhanaan yang elok).

Ketiga, kesederhanaan adalah pola hidup yang niscaya bagi seorang pemimpin. Terlebih ketika kesejahteraan masyarakat belum terwujud secara merata. Atau, manakala sebagian besar rakyat masih belum lepas dari deraan kesulitan hidup. Namun, jika dalam kondisi seperti itu, pola hidup seorang pemimpin justru meunjukkan berseberangan, sejatinya yang bersangkutan sudah tidak layak menyandang sebutan pemimpin. Mungkin gelar penguasa, untuk tak menyebut tiran lebih patut dilekatkan. Adalah hak siapa pun untuk percaya atau tidak, tetapi fakta sejarah mengatakan, pemerintahan yang dibangun atas dasar ketidakadilan, pelan tapi pasti, pasti runtuh. 

Untuk itu, pendapat Ibnu Taimiyah agaknya relevan untuk dikedepankan. Dalam salah satu karya intelektualnya, al-Amr bi al-Ma'ruf wa al-Nahy an al-Munkar, pakar keislaman yang dianggap sebagai pelopor gerakan muhyi atsar al-salaf ini mengatakan, "Innallaha yuqim al-dawlah al-'adilah wa in kanat kafirah. Wa la yuqim al-zhalimah wa in kanat muslimah (Sesungguhnya Allah akan mempertahankan tegaknya suatu pemerintahan adil meskipun ia kafir. Dan Allah SWT. tidak akan membiarkan pemerintahah zalim terus berdiri, meskipun berada di tangan kaum Muslim)."

Ahmad Arif
Penulis adalah peminat kajian sosial keagamaan, berdomisili di Banda Aceh

Opini Okezone 23 November 2011