13 Desember 2011

» Home » 1 Desember 2011 » Okezone » Opini » Ancaman Nuklir di Timur Tengah

Ancaman Nuklir di Timur Tengah

Konferensi yang membahas zona bebas senjata nuklir di Timur Tengah baru saja selesai diselenggarakan di Wina, Austria, pada pekan lalu (21-22 November 2011). Konferensi yang diselenggarakan oleh Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) itu dihadiri oleh negara-negara Arab dan Israel. Pembicaraan difokuskan pada bagaimana Timur Tengah dapat belajar dari pengalaman negara-negara yang telah menerapkan zona bebas senjata nuklir (NWFZ) seperti Afrika dan Amerika Latin.

Meskipun dalam forum itu suasana dilaporkan relatif tenang selama perdebatan berlangsung, akan tetapi terdapat dua hal penting yang telah membuat forum itu menjadi gagal. Pertama, Israel dengan tegas mengatakan keengganannya untuk menerapkan zona bebas senjata nuklir. Padahal Israel merupakan satu-satunya negara yang memiliki senjata nuklir di kawasan Timur Tengah. Negara ini bahkan diduga memiliki sekira 200 hulu ledak nuklir. Sepertinya Israel tidak pernah tertarik untuk meratifikasi atau mengakui kepemilikan atas senjata nuklirnya. 

Kedua, Iran pun yang diduga memiliki senjata nuklir justru melakukan boikot dengan menolak hadir dalam konferensi tersebut. Padahal IAEA beberapa waktu yang lalu telah mengeluarkan laporan tentang nuklir Iran, dan hasilnya menunjukkan bahwa Iran telah melakukan aktivitas yang mengarah pada pengembangan senjata nuklir. Akan tetapi, Iran selalu membantah dengan mengatakan aktivitas nuklirnya ditujukan untuk kepentingan damai seperti membangun pembangkit listrik tenaga nuklir.

Pastinya, dengan tidak adanya itikad baik dari Israel dan Iran untuk secara bersama-sama mengurangi atau meniadakan senjata nuklir di kawasan Timur Tengah pada konferensi tersebut, hal ini berdampak pada suatu situasi yang justru menimbulkan dilema keamanan di sekitar kawasan Timur Tengah. 

Penyebab

Dalam dunia yang tidak aman, di mana satu negara merasa terancam oleh nuklir negara lain, maka kepemilikan senjata nuklir adalah suatu keniscayaan sebagai cara untuk melindungi diri. Kawasan Timur Tengah saat ini berada pada situasi yang mirip seperti itu karena terdapatnya ancaman senjata nuklir yang ditimbulkan oleh Israel dan Iran. Bahkan Duta besar Suriah, Bassam al-Sabbagh, mengatakan dalam konferensi bahwa kemampuan senjata nuklir Israel telah menimbulkan ancaman serius dan berkesinambungan. Hal yang sama juga berlaku pada Iran.

Yang menjadi pertanyaan adalah benarkah ancaman nuklir Israel terhadap Iran, dan Iran terhadap Israel itu real. Para penganut konstruktivis hubungan internasional menjelaskan bahwa realitas senjata nuklir itu bukannya pada kemampuan membunuhnya yang menjadi masalah, tetapi konteks sosial yang telah memberi makna pada kemampuan senjata itu (Eby Hara, 2011), dan ini biasanya diciptakan oleh para pembuat kebijakan melalui peran pemikiran dan pengetahuan bersama atas realitas sosial. 

Dilema keamanan, misalnya, bukan hanya dibuat karena semata-mata fakta bahwa terdapat dua negara berdaulat yang memiliki senjata nuklir. Ia juga tergantung pada bagaimana negara-negara tersebut memandang satu sama lain atau dalam istilahnya Alexander Wendt (1992), “Anarchy is What States Make of It.” Umumnya pandangan tersebut dibentuk atas pemikiran dan pengetahuan bersama. 

Sebagai contoh, 200 hulu ledak nuklir yang dimiliki oleh Israel tidak akan mengancam Amerika Serikat daripada 1 hulu ledak nuklir yang dimiliki oleh Iran, sebab Israel adalah sekutu, sedangkan Iran adalah musuh. “Sekutu” dan “musuh” adalah fungsi dari pemahaman bersama.

Pandangan tersebut nampak jelas terlihat pada konferensi di Wina, ketika Israel menyampaikan pandangannya bahwa kawasan Timur Tengah belum siap untuk mendirikan zona bebas senjata nuklir. Israel mengatakan ini dengan persepsinya sendiri bahwa terdapat ketidakstabilan politik, permusuhan, dan ketidakpercayaan di kawasan Timur Tengah dengan merujuk pada kasus boikot Iran di konferensi tersebut sebagai alasannya. 

Lebih lanjut, salah seorang pembuat kebijakan Israel, David Danieli, mengatakan bahwa zona bebas senjata nuklir semacam itu hanya dapat dilakukan ketika kawasan Timur Tengah memiliki situasi damai, ketika persepsi ancaman di antara negara anggota kawasan rendah dan hanya setelah dasar kepercayaan terbangun di antara negara di kawasan ini. Jika tidak, maka selamanya kawasan Timur Tengah tidak akan pernah bebas dari ancaman senjata nuklir.

Skenario

Sayangnya kepercayaan yang terbangun di antara negara-negara di kawasan Timur Tengah dibentuk atas dasar kecurigaan satu sama lain, khususnya antara Israel dan Iran itu sendiri. 

Dengan begitu terdapat dua skenario yang mungkin akan terjadi di kawasan Timur Tengah. Pertama,  ketegangan atau konflik yang terjadi antara Israel dan Iran akan mengarah pada eskalasi yang tidak dapat diperhitungkan. Bisa saja ancaman Israel untuk melakukan aksi militer ke Iran akan segera direalisasikan.

Kedua, karena ketakutan atas ancaman Israel, bisa saja Iran akan betul-betul meningkatkan kemampuan nuklirnya untuk kepentingan militer dan bukan untuk kepentingan sipil. Hal ini penting dilakukan Iran agar dapat meminimalisir ancaman nuklir dari Israel.

Oleh karena  itu, dengan mengacu pada dua skenario tersebut, maka tidak ada pilihan lain, kecuali dengan memaksa Israel dan Iran, untuk melakukan kesepakatan yang mengikat dengan menandatangani kesepakatan Nonproliferasi (NPT) untuk mengurangi atau meniadakan kepemilikan senjata nuklirnya. 

Namun hingga kini, hanya Israel saja negara di kawasan Timur Tengah yang belum mau menandatangani NPT. Dan Iran pun sepertinya mulai terlihat serius melakukan peningkatan kemampuan nuklirnya sebagai strategi penangkalan terhadap Israel. Dengan melihat situasi yang seperti itu, kawasan Timur Tengah sepertinya akan selamanya dibayang-bayangi oleh ketakutan akibat ancaman perang nuklir antara Israel dan Iran. 

Asrudin
Penulis adalah pengamat hubungan internasional dan penulis buku bunga rampai Refleksi Teori Hubungan Internasional (2009)

Opini Okezone 1 Desember 2011