17 Desember 2010

» Home » AnalisaDaily » Opini » Seleksi CPNS: Objektivitas Vs Ajang Kepura-puraan (Perang Tarif)?

Seleksi CPNS: Objektivitas Vs Ajang Kepura-puraan (Perang Tarif)?

Oleh : Drs. Anton AP Sinaga, M.Si

Menjadi seorang pegawai negeri sipil dalam pandangan kultur masyarakat (community culture) Indonesia adalah profesi yang enak. Mengapa tidak enak, masyarakat kita melihat profesi PNS sangat aman karena kerja tidak kerja akan digaji seumur hidup.

Tidak ada evaluasi bagi PNS dengan konsekuensi akan diberhentikan. Asal datang saja ke kantor setiap hari itu sudah cukup aman. Inilah problematika sosiologi bangsa kita mengapa mereka mau berburu CPNS, bahkan melakukan berbagai cara yang tidak etis sekalipun seperti menyogok dengan uang yang sangat besar. Alasannya menyogok sangat sederhana, aman bekerja seumur hidup.

Kalau memang motivasi menjadi CPNS adalah tingkat kenyamanan dalam bekerja tidak bisa kita bayangkan mau jadi apa lagi negara kita ini kedepan. Boleh dibilang setengah masa depan negara ini ditangan PNS lah pengelolaannya. Praktik administrasi pemerintahan dan pengelolaan data masyarakat mutlak di tangan PNS. Tidak mungkin praktik administrasi pemerintahan diprivatisasi oleh negara. Mengapa tidak PNS menggerakkan roda pemerintahan, dalam roda pemerintahan ini yang disebut Max Weber dengan birokrasi pemerintahan rasional kehidupan masyarakat diatur. Jika memang yang mengatur orang tidak profesional dan minim dengan integritas maka bangsa ini sampai kapan pun tidak mungkin menatap sebuah kehidupan yang baik atau mampu meraih cita-cita sebagaimana yang kita rumuskan bersama.

Pada tanggal 15 Desember 2010 diseluruh Kabupaten/ Kota di Propinsi Sumatera Utara akan dilakukan ujian seleksi CPNS sesuai dengan formasi yang dibutuhkan masing-masing pemda/ pemko. Isu yang beredar yang sangat menyesatkan dan sekaligus menyakitkan semua pelamar adalah adanya perang tarif. Untuk formasi dengan tingkat pendidikan sarjana (S-1) beredar rumor tarifnya mencapai Rp 150 juta sampai Rp 200 juta. Untuk tingkat pendidikan D3 tarifnya mencapai Rp 70 juta sampai Rp 100 juta, dan untuk level SMA tarifnya mencapai Rp 40 juta.

Perang tarif sebagai isu seleksi CPNS adalah buah dari krisis kepercayaan masyarakat kepada pemda/ pemko. Memang itu bukan sekedar isu. Selama ini seleksi CPNS banyak yang bermasalah dan penuh dengan kecurangan. Buktinya di Pematang Siantar dan Nias Selatan pernah terjadi sebuah kasus dengan sebutan CPNSgate. CPNSgate adalah buah dari ketidakjujuran dari panitia seleksi.

Di berbagai daerah lain banyak lagi masalah yang timbul. Mengapa sampai timbul masalah? Jawabnya sangat sederhana, panitia tidak ikhlas jatah dan kerabat mereka diambil oleh yang punya kemampuan. Bisa kita bayangkan bersama jika sampai 100 orang saja menjadi jatah CPNS dari jumlah CPNS 300 orang misalnya, dapat kita bayangkan seorang Bupati dan kroninya bisa memperoleh pendapatan sampai Rp 15 miliar dengan tarif Rp 150 juta untuk S-1. Dana segar seperti ini sudah bisa mengembalikan uang keluar seorang kepala daerah selama masa pemilukada. Dana yang diestimasikan seorang kepala daerah dalam pilkada untuk bisa menang satu putaran berjumlah Rp. 15 miliar paling minimal. Belum lagi jika sampai dua putaran.

Aroma KKN

Memang wajar saja aroma KKN dengan perang tarif untuk satu kursi CPNS mengingat uang yang dikeluarkan oleh seorang calon kepala daerah dalam mengambil Bupati/ Walikota dalam pemilukada. Perang tarif dalam CPNS adalah buah dari mahalnya cost politik yang harus dikeluarkan oleh seorang calon kepala daerah. Akibatnya momentum seperti penerimaan CPNS, APBD menjadi sarana atau revans untuk melakukan break event point (BEP). Kalkulasi kepala daerah selama ini adalah dengan mengeluarkan uang sebesar itu akan mendapatkan tiga kali lipat melalui momentum penerimaan CPNS dan proyek APBD selama lima periode.

Akibatnya masyarakat yang tetap jadi korban. Memang di berbagai media massa sudah muncul para sanggahan dan bantahan melalui kabag Humas dan kepala BKD masing-masing pemda/ pemko kepada masyarakat supaya tidak percaya sama calo dan yang mengaku bisa meluluskan. Sanggahan ini berkali-kali dirilis kepada pers supaya masyarakat percaya kepada kemampuan masing-masing, benarkah demikian? Sebuah pertanyaan yang jujur untuk dijawab.

Asumsi masyarakat sangat sederhana. Banyak pemda/pemko yang bekerja sama dengan PTN di luar Sumut (PTN Jawa). Padahal dengan menyerahkan kepada USU semua masyarakat, tokoh LSM, DPRD, aparat hukum bisa dengan mudah memantau bagaimana pelaksanaan seleksi CPNS tersebut. Dengan banyaknya pemda/ pemko ke luar Sumut maka pengawasan akan semakin lemah. Yang menjadi pertanyaan yang perlu dijawab adalah, mengapa begitu banyak pemda/ pemko yang mangkir dari USU? Padahal USU sudah memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa mereka tidak mau kompromi terhadap segala bentuk KKN dalam meluluskan calon.

Kalau memang pemda/ pemko responsif terhadap masyarakat pelamar, sudah selayaknya tawaran ini diterima. Uang yang ada di Sumut pun tidak berputar keluar daerah. Uang untuk seleksi CPNS tetap di Sumut bahkan dalam rangka membangun USU yang lebih baik kedepan ini tidak, pemda/ pemko tetap mangkir dan pergi ke pulau Jawa sana. Masyarakat pun pasti berpikir, mengapa tidak ke USU. Setidaknya aroma manipulasi kembali menjadi prasangka yang bisa dibuktikan.

Penutup

Sekali lagi, harapan kita semua sama. Kualitas PNS kedepan meningkat agar bisa menjadi birokrasi yang amanah dan profesional. Syaratnya seleksi CPNS harus mempertimbangkan kemampuan dan mencegah perang tarif. Untuk itu perlu kejujuran dari panitia dalam melakukan ajang seleksi. Ataukah seleksi CPNS 2010 ini hanyalah ajang kepura-puraan? Sekalipun kerjasama dengan PTN tetapi kelulusan karena perang tarif akan membahayakan masa depan negara ini. Yang lulus karena membayar tidak akan pernah dan menganggap dirinya adalah pelayan masyarakat.

Tetapi yang lulus dengan kemampuan intelektual akan bisa menjadi pelayan dan tidak pernah berpikir melakukan analisis balik modal, karena modalnya lulus bukan tarif tetapi karena mampu dan punya kemampuan yang baik serta dipersiapkan sejak awal. Kita berharap semoga seleksi CPNS berjalan dengan jujur dan objektif dan bukan ajang kepura-puraan.***

Penulis adalah: Dosen Kopertis Wil I Sumud NAD/ Dosen STIE Nusa Bangsa Medan/ Mahasiswa S3 PW USU.
Opini Analisa Daily 17 Desember 2010