17 Desember 2010

» Home » Opini » Sinar Harapan » Meneguhkan Dasar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Meneguhkan Dasar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Adalah sebuah ironi ketika pada kunjungannya ke Indonesia belum lama ini, Presiden AS Barack Obama yang berpidato di Universitas Indonesia, menyinggung Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

Sementara itu, kita pemilik sah dari falsafah itu dalam kehidupan berbangsa justru tampak semakin menjauh darinya.
Dinamika kehidupan berbangsa kita, agaknya semakin hari semakin merosot, jauh dari cita-cita para Bapak Pendiri Bangsa (founding fa­ther) yang telah meletakkan ”empat pilar utama” dalam berbangsa dan bernegara: Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Bila kita mencermati dalam 10 tahun terakhir ini, kita menyaksikan perkemba­ngan kehidupan masyarakat yang lebih mengarah pada kehidupan yang individualistis, sehingga kepedulian rakyat terhadap kebersamaan dan peran dalam kehidupan bernegara terabaikan.
Ditambah lagi dengan derasnya arus globalisasi yang melanda segenap aspek kehidupan, yang tidak saja mendorong terbentuknya sikap individualistis, materialistis, dan hedonistis. Masuknya de­ngan leluasa nilai-nilai ideologi transnasional yang menggeser nilai-nilai ideologi nasional, mengakibatkan memudarnya atau bahkan merosotnya perhatian dan kepedulian warga negara terhadap eksistensi negara bangsanya.
Ketidakpuasan sosial akhir-akhir ini menjadi persoalan baru yang semakin rumit ketika dihadapkan pada situasi iklim keterbukaan, demokrasi, kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat cepat. Muara dari kenyataan adanya ketidakpuasan yang dihadapkan pada situasi keterbukaan tersebut adalah mulai terasanya gejala pesimisme, apatisme, dan sinisme, terutama di kalangan rakyat luas,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam memperingati Hari Konstitusi pada 18 Agustus lalu, berusaha menangkap keresahan tersebut dengan mengatakan, kita ingin di abad ke-21 ini, negara ini benar-benar menjadi negara yang maju dan sejahtera, tetapi di atas jati diri dan kebangsaan kita.
Menurut SBY, jati diri bangsa tidak bisa dilepaskan dari konsensus dasar (fundamental consensus), yakni “empat pilar utama”.
Konsensus dasar tersebut (plus Ketahanan Nasional) harus dilihat sebagai “jati diri bangsa” dan ditempatkan sebagai margin of appreciation.

Ketahanan Nasional
Ketahanan nasional (national resilience) pada hakikatnya merupakan kondisi tingkat peradaban (the level of civilization) suatu bangsa yang tidak dapat hanya diukur atas dasar parameter kemampuan defense and security, pertumbuhan ekonomi, dan jumlah pendapatan per kapita suatu bangsa.
Akan tetapi, juga ditentukan oleh kondisi stabilitas politik dan perlindungan HAM, tingkat demokrasi, tingkat kemiskinan, kemampuan suatu bangsa untuk memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif di era globalisasi, kemajuan pendidikan dan sains serta teknologi, dan sebagainya. Semuanya merupakan jumlah keseluruhan dari human and national capabilities.
Selain itu, semangat reformasi mengharuskan kita menghormati berbagai persyaratan untuk hidup bermartabat (living in dignity), yang merupakan segitiga yang bersifat universal, yaitu demokrasi, rule of law (hukum), dan perlindungan HAM. Jati diri bangsa tersebut hanya dapat terbentuk dengan melakukan penataan kembali kehidupan berbangsa dan bernegara dengan berlandaskan “empat pilar utama”.
Namun, patut juga disadari bahwa upaya penataan kembali kehidupan berbangsa dan bernegara, berhadapan dengan ideologi “global” yang sarat dengan hukum dan kaidah-kaidah kapitalisme pasar bebas. Pemahaman yang sempit acap kali memosisikan “empat pilar utama” tersebut seolah-olah sebagai sosok antagonis.
Oleh karena itu, pemahaman mengenai posisi “empat pilar utama” dari berbagai perspektif sangat diperlukan. Misalnya, penanaman rasa kebangsaan benar-benar harus sesuai dengan yang diharapkan, dalam kerangka menghadapi globalisasi. Kebangsaan setidaknya memiliki dimensi pemahaman, cita-cita, dan tindakan. Pada tataran pemahaman hal ini berisi paham untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan memberikan energi untuk mempertahankan kelangsu­ngan hidup.  Pada tataran cita-cita hal ini mendorong berbuat secara efektif untuk kepenti­ngan bangsa dan dunia. Pada tataran tindakan, hal ini me­ngarahkan perilaku yang sesuai dengan kepentingan dan kepribadian bangsa.
Khusus pilar UUD NRI 1945, Kelompok DPD di MPR RI banyak menerima usulan dari berbagai lapisan masyarakat, terutama para pemangku kepentingan, untuk amendemen tahap kelima secara komprehensif. Untuk terwujudnya sistem ketatanegaraan yang lebih baik, amendemen dapat dilakukan dengan pengkajian yang mendalam serta memperhatikan perkembangan situasi politik.
Ketua MPR RI Taufik Kiemas, dalam sosialisasinya, menyatakan, bangsa ini akan terpecah-belah seperti Uni Soviet, jika tidak bisa mempertahankan dan memelihara “empat pilar utama”. Untuk itu kita harus menjauhkan/menyingkirkan rasa kebencian, rasa permu­suhan antarumat beragama, antarsuku, antargolongan, dan antarkelompok.
Kita harus kembali meng­angkat dan menumbuhkan rasa kebersamaan, yang dahulu populer disebut semangat “gotong royong”. Dengan begitu, semangat yang dimaksud,tidak hanya muncul pada saat tertentu saja, seperti pada saat tertimpa musibah, atau bencana alam, tetapi secara terus-menerus/permanen/melekat mendarah daging.
Reposisi jati diri bangsa di tengah arus globalisasi yang bertumpu pada “empat pilar utama” akan mampu memperkuat posisi bangsa ini, baik ke dalam maupun ke luar. Komitmen memelihara dan mempertahankan kedaulatan dan integritas wilayah NKRI dalam kerangka kepentingan kesejahteraan bangsa Indonesia, akan menjadikan bangsa menjadi maju, terhormat, dan bermartabat, serta sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Dalam era globalisasi saat ini, dibutuhkan pemahaman secara utuh mengenai “empat pilar utama” kehidupan berbangsa bernegara, guna mengalirkan sumber-sumber kesejahteraan yang tersedia di arena global, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.

OLEH: DJASARMEN PURBA SH
Penulis adalah anggota DPD/MPR-RI.
Opini Sinar harapan 17 Desember 2010