17 Desember 2010

» Home » Kompas » Opini » Dunia Berlari, Negara Tertatih

Dunia Berlari, Negara Tertatih

Dunia yang berubah dengan sangat cepat membuat kehadiran institusi negara yang kokoh menjadi sebuah keharusan.
Sayang, di Indonesia yang kita cintai ini, negara justru lebih sering absen di tengah kecamuk masalah. Entah itu soal hukum yang tidak berdaya menghadapi mafia atau kekerasan yang menjadi harian, negara bersembunyi di balik keengganan untuk ”mengintervensi”.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengatakan, ”negara tidak boleh kalah.” Namun, jika dibandingkan dengan kecepatan dunia kita yang (meminjam istilah Giddens) sedang berlari, institusi negara yang kita miliki saat ini sedang tertatih-tatih.
Dunia yang berlari
Saat teroris menubrukkan pesawat ke World Trade Center di New York, para pengamat menahbiskannya sebagai tanda dimulainya zaman baru. ”Peristiwa 11 September adalah peristiwa historis,” ujar John Lewis Gaddis, ”mengakhiri era setelah perang dingin yang belum sempat kita namai.” Hegemoni wacana Perang Melawan Terorisme yang dimulai Presiden Bush membuat banyak orang berpikir bahwa dunia ”pasca-pasca-Perang Dingin” adalah dunia hitam putih yang identik dengan Perang Melawan Terorisme itu sendiri.
Rupanya, konstruksi hitam-putih yang dibangun Perang Melawan Terorisme tidak cukup untuk menggambarkan warna-warni perubahan yang dengan cepat menyeret dunia yang kita kenal. Hari ini kita menyadari bahwa 11 September hanyalah salah satu gejala. Tahun ini secara beruntun berbagai kejadian menyentak kita bahwa pergeseran-pergeseran besar sedang terjadi.
Pada 31 Mei 2010, rombongan kapal kemanusiaan yang mencoba membawa bantuan menembus blokade Israel atas Gaza diserang oleh Pasukan Komando Israel. ”Insiden Flotilla” atau ”Insiden Mavi Marmara” ini dengan cepat menarik perhatian dunia, yang dengan serta-merta mengecam serangan tersebut.
Amerika Serikat pun hanya bisa sedikit berkeberatan saat laporan investigasi dari United Nations Human Rights Commission menyatakan bahwa Israel telah melakukan tindak kekerasan yang tidak proporsional dan tidak dapat diterima.
Desember ini, dunia digemparkan oleh bocoran kabel diplomatik Amerika Serikat yang dibuka kepada publik oleh WikiLeaks, situs nonprofit yang dipimpin pengelolaannya oleh Julian Assange. Tidak main-main, jumlah dokumen yang ada di tangan WikiLeaks mencapai 250.000, dengan 15.652 berklasifikasi rahasia.
Tentu saja hal ini menimbulkan gempa bagi politik luar negeri Amerika Serikat dan memengaruhi hubungannya dengan negara-negara lain. Sebelum kejadian ini, WikiLeaks juga pernah membuat Washington kebakaran jenggot saat merilis video pasukannya di Irak membantai belasan orang (termasuk dua wartawan Reuters) dari atas helikopter Apache dengan senang hati.
Empat dimensi perubahan
Kedua kejadian ini (dan serangan teroris ke World Trade Center) adalah gejala-gejala dari setidaknya empat pergeseran yang sedang terjadi.
Pergeseran pertama ada pada distribusi kekuatan dalam politik internasional. Dunia unipolar dengan Amerika Serikat agaknya tidak akan bertahan lama lagi. Meskipun kekuatan militernya masih jauh dari tersaingi, Amerika Serikat terbukti tidak dapat berjalan sendiri. Dengan China, Rusia, Brasil, dan India melaju menjadi kekuatan ekonomi dunia, perimbangan kekuatan dalam politik internasional berubah sama sekali.
Pergeseran kedua terjadi pada siapa yang memegang kekuasaan atau kedaulatan. Sejak perjanjian Westphalia pada 1648 (dan kemudian mendunia setelah berakhirnya kolonialisme), sistem negara-bangsa menjadi pilar dalam hubungan internasional. Sistem ini meletakkan kedaulatan (sovereignty) pada negara.
Kini, kedaulatan, juga monopoli atas alat kekerasan yang merupakan konsekuensi dari kedaulatan tersebut, bocor ke berbagai arah. Hal ini ditandai dengan menguatnya organisasi internasional, perusahaan multinasional, organisasi masyarakat sipil, juga kelompok teroris atau individu seperti Julian Assange. Di sisi lain, kedaulatan negara yang terkikis juga membuat kekerasan terproliferasi ke masyarakat yang digerus oleh globalisasi, yang uniknya membuat identitas primordial semakin menguat dan menjadi basis bagi kekerasan tersebut.
Pergeseran ketiga terjadi pada jenis kekuatan. Jika dahulu kekuatan ”keras” (hard power) seperti tekanan militer atau embargo adalah kekuatan yang dapat memaksa aktor lain tunduk, kini hard power saja tidak cukup. Aksi unilateral yang dilancarkan Bush di Afganistan dan Irak justru menjadi bumerang bagi pengaruhnya di dunia internasional. Menyadari hal ini, Pemerintah AS di bawah Barack Obama mengadopsi konsep smart power yang menggabungkan hard power dengan soft power.
Pergeseran keempat adalah menguatnya pengaruh dunia maya. Jika dahulu perubahan-perubahan hanya bisa diinisiasi melalui dunia material (yang dibatasi oleh batasan geografis, ruang, dan waktu), kini dunia maya bisa menjadi awal dari gerakan sosial yang berpengaruh besar. Kesuksesan kampanye Obama atau gerakan Cicak melawan Buaya di Indonesia hanya salah satu contohnya.
Memperkuat negara
Keempat perubahan itu menyapu dunia, bahkan sering membuat adidaya seperti AS terpaksa harus beradaptasi jika ingin bertahan. Tentu saja hal ini juga berlaku bagi Indonesia. Jika tidak segera beradaptasi, kita akan tertelan oleh perubahan. Negara yang absen akan membawa bangsa pada kebingungan karena perubahan cepat ini membawa serta kebaikan dan keburukan sekaligus.
Kunci untuk memanfaatkan sisi positifnya secara maksimal (seperti menguatnya masyarakat sipil dan partisipasi publik dengan bantuan media sosial) dan memitigasi dampak negatifnya (seperti kekerasan oleh kelompok masyarakat atau merajalelanya kejahatan terorganisasi) adalah peran negara.
Namun, kita akan terjatuh lebih dalam jika negara justru memilih sebaliknya: memaksimalkan dampak negatif dengan absen dalam penegakan hukum dan malah bertindak berlebihan untuk menekan menguatnya partisipasi dan kontrol publik.
Shofwan Al Banna Choiruzzad Kandidat PhD dalam Hubungan Internasional di Ritsumeikan University, Kyoto, Jepang
Opini Kompas 18 Desember 2010