22 November 2010

» Home » Suara Merdeka » Posisi Tawar Lemah TKI

Posisi Tawar Lemah TKI

ADAM Malik ketika menjabat Menlu dalam Kabinet Pembangunan II (1974) diminta pemerintah Jerman Barat mengirimkan 10 ribu tenaga kerja Indonesia (TKI). Dia menolak dengan alasan tidak tersedia tenaga kerja yang memiliki kriteria keterampilan sebagaimana diminta. Waktu itu mulai ada TKI di berbagai negara tetapi sifatnya pribadi belum jadi industri. Baru setelah Menaker dijabat Soedomo (1983-1988) dan Cosmas Batubara (1988-1993), pengiriman TKI ke luar negeri mengalami peningkatan cukup signifikan.
Pengiriman TKI ke luar negeri dilematis karena di satu sisi mendatangkan devisa sehingga disebut sebagai pahlawan devisa, di sisi lain menimbulkan banyak masalah seperti jadi korban perkosaan, penyiksaan, penipuan, dan pemerasan. Penulis tahun 1977-1978 menyaksikan sendiri fenomena itu di Arab Saudi. Bagi mereka yang bermasalah dan paspornya ditahan oleh majikan, penulis yang kebetulan waktu itu bekerja di bagian konsuler KBRI Jeddah mengusahakan penerbitan surat jalan laksana pengganti paspor, supaya mereka dapat kembali ke Tanah Air.

Permasalahan TKI ini sejak awal sudah ada. Hal itu menjadi kesadaran Lukman Harun, tokoh Muhammadiyah yang dengan lantang meminta pemerintah Indonesia menghentikan pengiriman TKI ke luar negeri. Pemerintah c.q. Menaker menjawabnya dengan menggalakkan pengiriman TKI untuk dapat menambang devisa sebesar-besarnya. Terkesan, keberhasilan pengiriman kuantitas TKI dijadikan tolok ukur keberhasilan kinerja Menaker.

Terjadinya tindakan kekerasan, penyiksaan, perkosaan, sampai pembunuhan yang dialami TKI, khususnya tenaga kerja wanita (TKW) disebabkan faktor internal dan eksternal. TKW yang keluar negeri sebagian besar bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT). Untuk menjadi PRT tidak sulit karena tidak dibutuhkan keahlian tertentu. Karena itu formasi PRT menarik banyak kalangan wanita dari berbagai latar belakang ekonomi, sosial, dan pendidikan yang ingin mengadu nasib di negeri orang untuk meningkatkan taraf ekonomi keluarga.

Tapi PRT Indonesia tidak selalu identik dengan kemiskinan dan kebodohan.  Banyak di antara mereka berparas cantik, berpendidikan menengah, dan berstatus sosial cukup terpandang. Persoalannya adalah mereka PRT, pekerjaan yang memiliki posisi tawar rendah. PRT di negeri manapun dipandang sebelah mata. Selama menyandang status tersebut selama itu pula tidak memiliki posisi tawar, walaupun yang bersangkutan memiliki keterampilan istimewa.
Menyangkut Martabat Posisi tawar yang tidak menguntungkan ini diperparah oleh sikap mental bangsa kita antara lain segan untuk mengatakan tidak. Sepertinya tidak pantas PRT menolak, apalagi menentang, majikan. Keluarga-keluarga di Timur Tengah lebih memilih PRT Indonesia karena alasan ini. Mereka baru mengambil pembantu dari Mesir atau negara lain bila tidak mendapat pembantu dari Indonesia. Tapi mereka tidak berani sembarangan memperlakukan PRT Mesir yang tidak saja berani menentang bila diperlakukan tidak senonoh, tetapi juga berani menuntut hak-haknya.

PRT yang berlatar belakang pendidikan cukup, berpenampilan menarik, dan secara fisik terlihat bersih menjadi sebab lain yang memunculkan tindak kekerasan. PRT seperti itu menjadi korban perseteruan dalam keluarga majikan karena keluarga itu tidak akan mengorbankan keutuhan rumah tangga. PRT dalam kasus itu dianggap sebagai pembawa petaka maka harus dijadikan semacam tumbal (objek kekerasan). Hal itu tidak hanya terjadi di Timur Tengah tetapi juga di Asia Tenggara dan Hong Kong.

Solusi yang dapat dilakukan pemerintah yang terpenting adalah peningkatan posisi tawar TKI di bursa tenaga kerja di luar negeri. Peningkatan posisi tawar itu antara lain dengan cara meningkatkan vokasi TKI untuk dapat menempati pekerjaan sesuai dengan keahliannya di luar negeri, seperti perawat, guru, ahli bangunan, supervisor, ahli otomotif, ahli listrik, perancang/penjahit pakaian, pramuniaga, pramujasa, pramusaji, dan lain-lain.  Indonesia harus memfokuskan pengiriman tenaga kerja terdidik (terlatih), bukan lagi PRT.

Peningkatan posisi tawar itu bukan saja meningkatkan harga diri, kehormatan, dan kesejahteraan TKI melainkan juga meningkatkan harga diri dan martabat Indonesia sebagai bangsa terhormat.  Penolakan Adam Malik terhadap permintaan TKI oleh Jerman Barat sejatinya adalah untuk menjaga harkat dan martabat bangsa ini. (10)

— Doktor Ayoeb Amin LIS MAg, dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Unissula Semarang, pernah lama tinggal di luar negeri
wacana suara merdeka 23 oktober 2010