22 November 2010

» Home » Suara Merdeka » Inlander

Inlander


  • Oleh Adi Ekopriyono
MAAF, kalau judul tulisan ini: inlander, terasa terlalu kasar. Istilah itu populer di zaman penjajahan dulu, karena sering digunakan oleh penjajah Belanda untuk meledek bangsa kita yang mereka jajah selama sekitar 350 tahun, selain dengan istilah pribumi. Istilah inlander antara lain menunjuk pada sikap mental rendah diri, tidak berani bersaing, tidak percaya diri, silau terhadap keberhasilan bangsa lain, tanpa ada usaha untuk bangkit mengejar kemajuan. Sikap mental itu kemudian melahirkan mental malas, rendah diri, boros, tidak disiplin, tidak menghargai kualitas, bahkan korup.



Mungkinkah bangsa kita masih dihinggapi penyakit, yang sering disebut sebagai inlander complex itu?
Arifin Bey (dalam Beyond Civilizational Dialogue, 2003:289) berpendapat, kita masih mengidap mental inlander. Indonesia memerlukan suatu revolusi mental dan moral untuk membuka jalan bagi pembangunan ekonomi-sosial sehingga dapat meraih kembali rasa hormat dunia. Suatu revolusi kemerdekaan dari kungkungan penjajahan diakui berhasil apabila telah mampu melewati tiga tahap: tahap fisik-politik, tahap mental-moral, dan tahap manajemen-ekonomi. Setelah itu, barulah mungkin dicapai kemakmuran yang dilandasi keadilan sosial.

Indonesia baru berhasil mengakhiri tahap fisik-politik. Kedaulatan memang telah kita rebut dari penjajah, namun mental dan moral bangsa pada umumnya masih pada tahap inlander. Indonesia sangat memerlukan apa yang disebut seorang pakar pendidikan zaman permulaan Meiji, Fukuzawa Yukichi sebagai minshin-isshin atau pembaruan jiwa-raga Jepang.

***

INLANDER complex tercermin dalam berbagai aspek kehidupan. Lihat saja, meskipun banyak tenaga kerja wanita (TKW) yang mendapat perlakuan semena-mena di luar negeri, toh makin banyak yang tetap pergi ke sana. (Saya kira, ini bukan sekadar faktor desakan ekonomi, melainkan juga sikap mental). Contoh lain? Perilaku korup masih merajalela, meskipun konon pemerintah sudah bertekad (baru sebatas tekad?) memberantasnya.

Banyak pula di antara kita yang tidak lagi bangga menjadi orang Indonesia karena silau pada sesuatu yang datang dari luar. Kita rendah diri dan nyaris selalu menganggap hal-hal yang datang dari luar pasti lebih baik daripada milik sendiri. (Saya kira, hal ini bukan sekadar masalah kualitas, melainkan juga sikap mental). Anggota DPR pun merasa harus pergi ke luar negeri untuk belajar berbagai macam hal, yang sebenarnya kita memilikinya, bahkan mungkin lebih baik (atau pergi ke luar negeri itu sekadar plesir, ya wallahu’alam).

Kita pun dengan senang hati dan gembira dijajah secara budaya oleh gerakan-gerakan berlabel globalisasi dan transnasional. Alhasil, kita kehilangan kepribadian sebagai bangsa yang besar, yang oleh Bung Karno dulu disebut sebagai bangsa banteng (saya tidak mengonotasikan hal ini dengan lambang salah satu partai politik), bukan bangsa tempe (padahal, tempe memang sudah dihakpatenkan oleh Jepang).

Bangsa kita tidak memiliki ketahanan budaya yang kuat, sekuat ketahanan budaya yang dimiliki bangsa-bangsa lain (sebut saja misalnya Jepang, Amerika Serikat, China, Brazil, Rusia, India, atau bahkan bangsa-bangsa anggota ASEAN). Bangsa ini telah tercerabut dari akar-akar budayanya sendiri; nation and character building telah hilang entah ke mana.

Cita-cita dokter Soetomo tentang Indonesia Mulia (lepas dari penjajahan budaya) dan mimpi Bung Karno tentang berkepribadian dalam budaya tinggal mimpi yang berkepanjangan. Dua tokoh bangsa itu, mungkin menangis sedu-sedan di alam sana melihat anak-anak bangsanya tidak mampu mengejawantahkan cita-cita mereka.

***

PENTINGNYA pendekatan budaya lebih jelas diungkapkan Soedjatmoko (Dimensi Manusia dalam Pembangunan, 1983) yang menyatakan, pembangunan ekonomi sesungguhnya juga merupakan masalah kebudayaan. Manusia Indonesia harus hati-hati dan waspada terhadap pembangunan ekonomi yang dibawa dari luar (kapitalisme Barat dan gerakan-gerakan transnasional). Indonesia harus membangun bangsanya berdasarkan pandangan hidup dan kebudayaan sendiri.

‘’Tidak cukup kita hanya mengoper alat-alat, cara-cara, dan bentuk-bentuk susunan produksi dari luar. Semuanya ini harus menjadi ‘darah-daging’ kita sendiri; harus menjadi alat-alat dan cara-cara kita memenuhi kebutuhan kita sendiri; menjadi penjelmaan kebudayaan kita sendiri. Intisari persoalan yang kita hadapi ialah mencari asas-asas dinamik kita sendiri yang otonom, yang dapat berkembang menurut hukum-hukum pribadi kita sendiri berkat kekuatan kita sendiri. Dinamika itu harus kuat, sehingga kita tidak lagi ketinggalan oleh dinamika perkembangan dunia. Manusia harus sanggup dan dapat menguasai nasibnya sendiri di dunia ini,’’ kata Soedjatmoko.

Bertolak dari pemikiran Soedjatmoko maka langkah yang harus ditempuh bangsa ini adalah memperkuat ketahanan budaya lokal agar Indonesia tidak terombang-ambing oleh arus globalisasi. Bukan sebaliknya, budaya lokal malah rontok diterpa badai globalisasi, kemudian bangsa ini ikut arus global, kehilangan jati diri, dan tetap menjadi inlander. (10)

— Adi Ekopriyono, Direktur Eksekutif Budi Santoso Foundation
wacana suara merdeka 23 november 2010