22 November 2010

» Home » Suara Merdeka » Disorientasi Satgas Antimafia Hukum

Disorientasi Satgas Antimafia Hukum


Logika kita yang awam mengatakan bahwa sepak terjang Gayus yang demikian itu mestinya memotivasi Satgas PMH mengawasi maksimal dia  

KALAU Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH) atau Satgas Antimafia Hukum independen dan berfungsi efektif, Gayus Tambunan tak akan pernah plesir ke Bali. Satgas ini mungkin masih dibutuhkan namun orientasinya harus diluruskan.

Kasus kepergian Gayus ke Bali amat mengusik dan sangat beralasan untuk mempertanyakan efektivitas Satgas ini. Kasus Gayus terasa tidak logis mengingat dia berstatus tahanan di Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok. Boleh diasumsikan ada sejumlah pertimbangan mengapa dia harus ditahan di tempat itu.

Antara lain, dia tersangka pelaku penggelapan pajak. Dia juga boleh disebut aktor utama mafia hukum yang bisa membebaskan dirinya dari dakwaan korupsi dengan modus penggelapan pajak di PN Tangerang. Untuk pembebasannya itu, dia menyuap oknum penegak hukum: mulai polisi, jaksa, hingga hakim. Begitu kuatnya sosok Gayus sehingga oknum penegak hukum menyerahkan kepadanya rencana tuntutan (rentut).

Logika kita yang awam mengatakan bahwa sepak terjang Gayus yang demikian itu mestinya memotivasi Satgas PMH mengawasi maksimal Gayus sekalipun dia ditahan di Rutan Mako Brimob.

Selain mengawasi, Satgas pun wajib melindungi agar dia terhindar dari risiko apapun. Dalam tradisi mafia, saksi kunci yang memberatkan umumnya dihabisi. Bukankah di kantong Gayus tersimpan banyak data strategis yang mungkin saja akan menyeret banyak orang ke pengadilan karena melakukan penggelapan pajak.

Banyak dari kita masih ingat tentang makna strategis tindakan Mantan Kabareskrim Susno Duadji mengungkap kasus penggelapan pajak, dan juga ketika Gayus berhasil dibujuk pulang dari Singapura. Hampir semua orang sepakat bahwa kedua momen itu layak dan ideal menjadi entry point bagi Satgas PMH mengaktualisasi fungsi dan perannya. Jika dimanfaatkan maksimal dan tulus, informasi dari Gayus dan Susno bisa menjadi pembuka jalan yang memuluskan kerja Satgas PMH memerangi calo hukum.

Memang Satgas itu yang dibentuk dengan Keppres Nomor 37 Tahun 2009 itu tidak bisa langsung menangkap aktor mafia hukum. Namun, Satgas dapat melakukan  pencegahan dan penindakan, melalui kerja sama dengan KPK, Kejaksaan, dan Polri.

Keppres itu memang memberi wewenang kepada Satgas PMH untuk bekerja sama antara lain dengan MA, MK, BPK, KY, Ombudsman, Polri, Kejagung, KPK, Kompolnas, LPSK, PPATK, organisasi profesi advokat/ notaris/ PPAT.

Kalau kemudian terjadi kehebohan karena publik tahu Gayus bisa puluhan kali meninggalkan Rutan, ada beberapa kesimpulan. Pertama; Satgas kurang peduli pada status Gayus yang layak diibaratkan saksi mahkota. Kedua; kerja sama atau sinergi Satgas dengan institusi lain tidak jalan.

Dalam kasus Gayus, ada kesan Satgas menerapkan strategi tidak sehat dalam konteks menjaga citra institusi negara. Strateginya cenderung menjerumuskan dan penuh jebakan, bahkan mendekati ukuran kerja kotor. Gayus seperti dijadikan alat memerangkap penegak hukum. Boleh jadi, Satgas memahami kalau mafia hukum itu memang berasal dari institusi negara, khususnya oknum penegak hukum.

Maka, Satgas seperti membiarkan saja saksi mahkota itu ditempatkan di Rutan Mako Brimob. Dengan skenario tidak memberlakukan pengawasan maksimal, Satgas seperti memberi peluang kepada oknum penegak hukum menguras uang Gayus. Strategi itu bisa dibilang berhasil, jika fakta bahwa Gayus bisa puluhan kali meninggalkan rutan dijadikan ukuran. Sebagaimana kita lihat, citra Polri nyaris hancur oleh kasus plesir ke Bali.

Kejakgung pun sudah merasakan ekses dari skenario tidak sehat itu. Di persidangan, Gayus membeberkan ‘’keberhasilannya’’ mendapatkan rentut, serta bagaimana dia mampu melakukan tawar-menawar atas rentut itu hingga citra Kejagung pun ambruk. Independensi Satgas pun sering dipertanyakan.

Dalam kasus Cicak vs Buaya yang memojokkan Bibit-Chandra, publik lantang menyuarakan aspirasinya bahwa mafia hukum berusaha memperlemah KPK. Dalam kasus ini, Satgas nyaris tak memberi sentuhan apa pun. Presiden malah membentuk Tim Delapan. Begitu juga dalam skandal Bank Century. Satgas tak berbuat apa-apa ketika hampir semua penegak hukum tidak memberi respons yang layak terhadap skandal itu. (10)

— Bambang Soesatyo, anggota Komisi III DPR
wacana suara merdeka 23 november 2010