28 September 2010

» Home » Suara Merdeka » Membedah Kebesaran Sunan Gringging

Membedah Kebesaran Sunan Gringging

TRADISI haul Syeh Abdurrahman Kajoran yang digelar
setiap 9-11 Syawal di Desa Gringgingsari Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang, seperti diadakan belum lama ini, dapat diibaratkan sebagai hari raya kedua setelah Idul Fitri. Benar-benar dipersiapkan segala sesuatunya mirip penyambutan Lebaran, terutama dalam menyambut ribuan tamu (pengunjung) dari berbagai daerah.

Ritual haul seputar pembacaan manakib, berdoa di kompleks makam, dan pengajian akbar. Acara yang ditunggu-tunggu pengunjung adalah pameran benda peninggalan tokoh tersebut, berupa sorban, tongkat, pakaian dan benda pusaka lain di kompleks masjid tua peninggalan wali itu.


Nama Syeh Abdurrahman Kajoran demikian melegenda dan terpatri dalam ingatan kolektif masyarakat setempat. Tokoh spiritual yang hidup pada abad ke-7 ini diyakini warga sebagai senopati pilih tanding.

Sayang, dalam acara haul dari tahun ke tahun tidak diungkap secara jelas siapa sesungguhnya tokoh yang juga disebut sebagai Sunan Gringging. Data sejarah ketokohannya belum banyak terungkap, terutama kiprahnya dalam menyebarkan ajaran Islam.

Bahkan juru kunci makam, Mbah Thowaf, mengaku tidak tahu-menahu siapa sesungguhnya ulama itu. Dalam pengajian pun tidak disinggung soal riwayat hidupnya, semisal asal-usulnya, kapan, serta ajaran apa yang membekas di hati masyarakat.

Selama ini masyarakat hanya memahami dari sisi mitos dan legenda lewat cerita mulut ke mulut. Mitos dan legenda seputar kesaktian tokoh itu dipahami warga layaknya kebenaran sejarah.

Sejumlah lokasi yang dipercaya pernah menjadi petilasan kini menjadi tempat dikeramatkan seperti makam, sumber air (tuk), parit, dan masjid. Termasuk benda pusaka seperti sorban, tasbih, tongkat dan lainnya.

Sebuah selokan (parit) yang membelah Desa Gringgingsari misalnya, oleh sebagian warga dikeramatkan sedemikian rupa. Parit ini punya makna khusus. Airnya digunakan warga untuk berbagai macam keperluan, namun ada pantangan yang tak boleh dilanggar: wanita yang menstruasi dilarang mendekati.  Mandi di sana adalah aib dan dianggap pelanggaran adat. Ada sanksi moral, minimal dicela dan dibenci warga. Mengotori parit sama artinya mengotori niat suci orang yang membangun parit tersebut, yakni Sunan Gringging.

Sebuah parit dibangun dengan semangat spiritual dan filosofi mendalam. Bukan sekadar garukan tanah tempat mengalirnya air melainkan di dalamnya menyimpan ajakan persuasif untuk berperilaku suci dan bersikap arif terhadap lingkungan.
Kearifan Tersembunyi Seperti kisah wali-wali lain di Jawa, Sunan Gringging berdakwah menggunakan pendekatan kultural. Dia tidak hanya berhenti pada kerja fisik (membangun parit) tetapi juga melengkapinya dengan membangun masjid sebagai simbol spiritual dan pusat aktivitas dakwah. Maka sangat masuk akal jika parit tersebut dibangun berdampingan dengan masjid, sehingga masyarakat berpikir ulang jika membuang kotoran ke parit itu.

Sebagai masyarakat agraris, warga Gringgingsari hidup berdampingan dengan sungai, hutan, perbukitan, dan tentunya juga mata air. Mereka hidup berdampingan dengan alam yang menyimpan kearifan tersembunyi.  Parit dan sumber air menjadi metafora untuk menyampaikan pesan bahwa bersahabat dengan lingkungan demikian penting demi menjaga harmoni kehidupan. Menjaga dan merawat parit merupakan sebuah kepatuhan pada hukum-hukum tak tertulis yang diwariskan para pendahulu.

Warga Gringgingsari juga bisa belajar dari mitos dan benda peninggalan Mbah Wali berupa masjid tua, pancuran tempat wudu, tongkat, sorban, tasbih, dan lain-lain. Mereka juga akrab dengan legenda seputar sepak terjang sang Sunan dalam menyebarkan ajaran Islam dan keberaniannya menghadapi lawan. Warga familiar dengan dongeng dramatikal seperti kisah Ki Lurah Ajar Pendek, tokoh sakti golongan hitam yang menghalangi perjuangan Syeh Abdurrahman.

Sampai sekarang cerita rakyat masih hidup dan terus dituturkan dari generasi ke generasi. Anak usia SD pun akrab dengan cerita di sekitar kampung halamannya. Dalam masyarakat tradisional kadang ada konsep suci yang khas, bersifat lokalistik, dan tidak gampang dipahami hanya menggunakan logika, misalnya meyakni ada tempat, benda, dan nama khusus yang dianggap ’’berbahaya’’ jika dijamah sembarangan. (10)

— Kawe Shamudra, pegiat Komunitas Tujuh Anak Petani, tinggal di Batang
Opini Suara Merdeka 29 September 2010