21 Mei 2010

» Home » Kompas » Terorisme dan Reformasi Intelijen

Terorisme dan Reformasi Intelijen

Dalam pernyataannya menjelang kunjungan kenegaraan ke Singapura dan Malaysia, Senin (17/5), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai aksi teroris dalam sepuluh tahun terakhir sebagai upaya mendirikan negara Islam Indonesia.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seperti memutar memori kelam perjalanan bangsa, khususnya yang terkait dengan upaya separatisme bersimbol keagamaan. Terjadi perubahan orientasi: sebelumnya sasaran teroris adalah pihak asing, demikian SBY, kini bangsa sendiri.
Sinyalemen itu menimbulkan reaksi dari berbagai pihak. Sebagian menuntut perluasan wewenang kepada intelijen dan polisi lewat revisi Undang-Undang (UU) Anti-terorisme, sebagian lain menilai pernyataan SBY hanyalah upaya mengalihkan perhatian dari masalah mendesak: penanganan korupsi dan kemiskinan. Ada pula yang menilai pernyataan tersebut sebagai isu klasik yang bertujuan memojokkan umat Islam. Politikus Mahfudz Siddiq dari Partai Keadilan Sejahtera bahkan menyebut sinyalemen SBY sebagai ”gegabah dan berlebihan”.


Selain itu, Kepolisian Negara RI khususnya Detasemen Khusus 88 Antiteror, yang cenderung menyamaratakan pola serta cara menangani teroris, seperti menembak mati, dinilai justru kontraproduktif. Bukankah jika tertangkap hidup, seorang terduga teroris bisa membeberkan informasi berharga demi kerja polisi (Kompas, 15/5/2010)?
Banyak yang sepakat bahwa dalam upaya penangkalan, kapasitas intelijen perlu ditingkatkan. Meski demikian, baik polisi maupun pihak intelijen kita tak perlu mencontoh pola penanganan teroris ala Amerika Serikat, terutama pada era George W Bush, yang ternyata kontraproduktif dalam usaha deradikalisasi untuk menghindari atau mengurangi kegiatan terorisme ke depan.
Cara Bush
Setelah serangan teroris terhadap WTC dan Pentagon, pemerintahan George W Bush merilis The National Security Strategy of the USA yang oleh banyak pengamat dinilai memuat pembenaran teoretis dan politis bagi militerisme AS.
Bush berhasil menggalang dukungan luas ketika meloloskan UU yang berjudul Uniting and Strengthening America by Providing Appropriate Tools Required to Intercept and Obstruct Terrorism, disingkat sebagai USA PATRIOT. Sekadar dugaan, UU USA PATRIOT sudah cukup jadi dasar untuk membatasi hak sipil seseorang.
Tersangka pelaku tindakan terorisme, misalnya, bisa ditangkap selama enam bulan tanpa pengadilan. Tiada satu pun pengadilan yang bisa menolak hal ini, pun dengan mengacu pada prinsip praduga tak bersalah yang termaktub dalam Pasal 236A UUD AS. Tentu saja seseorang yang disangka teroris akan kehilangan hak memakai pembela dan mengetahui apa yang dituduhkan serta kehilangan kontak dengan keluarga.
Menurut laporan Parlemen Uni Eropa (2004), dengan menggunakan Echelon System, organisasi intelijen terbesar di dunia, yaitu National Security Agency (NSA) dari AS, secara rutin menyadap telepon, surat elektronik, dan faksimile di seluruh Eropa. Semua informasi ditampung di Menwith Hill, sebuah kota kecil dekat Leeds, kemudian per satelit dikirim ke Fort Meade di Negara Bagian Maryland, AS.
Selain menelurkan berbagai produk hukum yang tidak demokratis, perang melawan terorisme versi AS juga telah memicu kenaikan anggaran militer. Dan, itu tak hanya terjadi di AS. Sebenarnya, ketika era Perang Dingin berakhir, banyak yang berharap bahwa perlombaan senjata yang tadinya dipicu dan dipacu oleh perseteruan dua kekuatan adidaya juga ikut berakhir.
Dengan begitu, bumi yang masih saja dihuni oleh miliaran orang miskin bisa menggunakan bagian terbesar energi dan dana demi pembangunan bagi kemaslahatan umat manusia dengan moto food instead of weapon. Nyatanya, harapan tersebut seolah menggantang asap.
Perlu diperhatikan beberapa hal berikut dalam mereformasi intelijen di Indonesia yang masih didominasi oleh wacana dan tokoh militer. Ada titik rawan di sini bagi perkembangan supremasi sipil. Dalam perkara terorisme, lembaga intelijen seperti Badan Intelijen Negara (BIN) seharusnya tidak boleh memasuki wilayah sistem peradilan sebab dikhawatirkan membuka peluang pelanggaran hak-hak sipil.
Sebaiknya BIN hanya bertugas mengumpulkan data dan menganalisis data tersebut untuk dipakai polisi. Keinginan pemerintah membentuk gugus tugas khusus penanggulangan terorisme yang dipimpin BIN, apalagi dengan memberikan kewenangan menangkap, oleh sebagian pihak ditengarai sebagai cara menutup-nutupi kegagalan mendeteksi secara dini aksi teror (Imparsial, 2004).
”Jika dalam pengumpulan data dan analisis saja BIN gagal,” demikian Imparsial, ”Apalagi terlibat dalam sistem peradilan. Pasti akan terjadi penyalahgunaan wewenang seperti zaman Orde Baru.”
Penangkapan yang mirip penculikan atau penghilangan paksa disertai intimidasi pada masa lalu bisa kembali terjadi dengan dalih untuk menemukan pelaku. Sebenarnya UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme dan Inpres No 5/2002 tentang Operasional Badan Pelaksana Intelijen sudah jelas menempatkan BIN sebagai koordinator usaha deteksi dini. Tak tepat bila pemerintah menganggap munculnya teror akibat ketiadaan aturan hukum yang kuat.
Kalaupun akan direvisi, amandemen UU Anti-terorisme harus mengacu pada prinsip due process of law, tak mengesampingkan hak sipil dan politik warga negara.
Ivan A Hadar Direktur Eksekutif Indonesian Institute for Democracy Jurnal Sosial Demokrasi Education; Wakil Pemred

Opini Kompas 22 Mei 2010