21 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Potret Utuh Kondisi Perekonomian

Potret Utuh Kondisi Perekonomian

Siapa pun yang berada di luar pasar uang ataupun industri perbankan, akan melihat kinerja para menteri bidang ekonomi secara komprehensif

SAJIKAN kepada rakyat mengenai potret utuh kondisi perekonomian Indonesia terkini. Jangan bohongi rakyat, juga berhentilah menipu diri sendiri, dengan klaim kinerja ekonomi nasional sudah mumpuni hanya dengan mengacu pada stabilitas sektor keuangan.

Sejumlah kalangan telah melantunkan puja-puji bagi Sri Mulyani karena menurut mereka dia telah membuat perekonomian nasional sehat serta meloloskan Indonesia dari sergapan krisis finansial global. Kalau pujian itu disuarakan oleh pemain di pasar uang dan komunitas perbankan kita, wajar-wajar saja karena mereka meraih untung besar dari kebijakan Sri Mulyani.


Wajar juga kalau mereka bersedih oleh mundurnya Sri Mulyani sebab mereka takut tidak bisa lagi menangguk untung besar dari tingginya bunga obligasi negara dan surat utang negara (SUN) yang ditawarkan Sri Mulyani dalam beberapa tahun terakhir ini. Siapa pun yang berada di luar pasar uang ataupun industri perbankan, akan melihat kinerja para menteri bidang ekonomi secara komprehensif.

Tingginya arus hot money, indeks harga saham gabungan di BEI hingga laris manisnya obligasi negara atau SUN bukan potret utuh kinerja perekonomian Indonesia. Kalau Anda menjanjikan bunga (imbal hasil) tinggi kepada para pengelola dana (fund manager) asing, sudah pasti mereka akan mengerubungi Anda seperti semut memperebutkan sisa permen.

Para pemuja Sri Mulyani pun jangan tutup mata pada skandal Bank Century. Ingat bahwa dalam kapasitasnya sebagai Ketua KSSK yang menyetujui bail out bank kecil itu, Sri Mulyani merasa tertipu dan hanya mau bertanggung jawab untuk sekitar 10 persen dari total dana talangan yang telah dicairkan.

Anda mungkin tidak suka dengan hasil kerja Pansus DPR. Tetapi jangan lupa bahwa keputusan dan rekomendasi paripurna DPR itu konstitusional menurut konstitusi dan berpijak pada temuan hasil audit investigasi lembaga tinggi tertinggi negara, BPK.

Kalau Sri Mulyani sukses mereformasi birokrasi Kementerian Keuangan, negara mestinya tidak mengalami kecolongan besar akibat ulah Gayus Tambunan dan kawan-kawannya di Ditjen Pajak. Kasus pencurian pajak besar-besaran sudah terungkap dan akan terus terungkap. Remunerasi yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri sia-sia karena banyak oknum di Ditjen Pajak dan Ditjen Cea Cukai masih saja mencuri uang (pajak dan bea masuk) negara/rakyat.
Sektoral Mengacu pada urgensi kebijakan ekonomi yang komprehensif, tampak bahwa arah dan karakter kebijakan Sri Mulyani adalah sektoral, melulu demi stabilitas sektor keuangan dan keseimbangan APBN.

Dia cenderung tak peduli seperti apa ekses kebijakannya terhadap sektor riil dan perekonomian rakyat atau UMKM. Kebijakannya memberi bunga tinggi bagi pembeli obligasi negara atau SUN, sedikit banyak memengaruhi tinggi rendahnya bunga bank.

Agar nasabah tidak memindahkan dananya ke obligasi atau SUN, perbankan kita pun harus menawarkan bunga tinggi. Akibatnya, bunga bank untuk kredit investasi dan kredit modal kerja sulit diturunkan dari levelnya sekarang. Bunga bank yang tinggi sekarang ini sudah menjadi salah satu faktor yang mematikan sektor riil dan UMKM kita untuk bangkit.

Dia juga masih mengatasi defisit APBN dengan menarik pinjaman luar negeri. Sayangnya, pemanfaatan utang baru itu tidak produktif karena banyak digunakan membiayai kebijakan konsumtif. Total utang luar negeri hingga Maret 2010, menurut BI, mencapai 180,7 miliar dolar AS. Utang luar negeri pemerintah dan BI 105,6 miliar dolar AS, sedangkan utang luar negeri swasta 75,1 miliar dolar AS.

Membengkaknya biaya produksi akibat mahalnya harga energi dan tingginya bunga bank menyebabkan daya serap dunia usaha terhadap kredit terus melemah. BI mencatat pada  penghujung April 2010, dana menganggur di instrumen Sertifikat Bank  Indonesia (SBI) Rp 346,6 triliun, naik 48 persen dibanding 2009 yang Rp 233,4 triliun. Angka-angka ini menjelaskan bahwa  penyaluran kredit ke sektor industri terus menurun.

Kecenderungan itu menjelaskan bahwa sektor industri terus mengalami kontraksi penyaluran kredit, utamanya pada segmen kredit investasi dan segmen kredit modal kerja. Jadi, kalau menkeu baru melanjutkan arah dan karakter kebijakan pejabat sebelumnya, kita tinggal mencari ungkapan yang lebih tepat untuk mendeskripsikan kehancuran sektor riil dan UMKM. (10)

— Bambang Soesatyo, anggota DPR, Ketua Kadin Indonesia


Wacana Suara Merdeka 22 Mei 2010