21 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Taman Bacaan dan Sukses Triyan

Taman Bacaan dan Sukses Triyan

ADALAH Fitriyan Dwi Rahayu. Siswa SMP Negeri 1 Karanganyar, Kabupaten Kebumen, itu tidak saja ditelepon Presiden SBY, tapi juga dicium Gubernur Bibit Waluyo. Telepon dan cium itu didapatkan Triyan, sapaan akrabnya,  lantaran dia memeroleh nilai ujian nasional (UN) tertinggi tingkat nasional.  Nilai yang dicapai dari 4 mata pelajaran hampir sempurna yakni 39,8 atau dengan nilai rata-rata 9,95.

Apa rahasianya, hingga Triyan mampu mendapatkan nilai hampir sempurna? Ini yang tidak banyak diungkap, salah satunya adalah karena ia rajin membaca. Membaca apa saja. Kebetulan rumah orang tuanya, menjadi tempat perpustakaan umum kelurahan (TBM, taman bacaan masyarakat). Tidak kurang 5.000 eksemplar buku dan majalah terdapat di TBM tersebut.

Di sinilah Triyan banyak menghabiskan waktu menurutkan kegemarannya membaca. Kebiasaan membaca tersebut membuat Triyan merasa lebih mudah saat  memelajari/belajar sesuatu. Apa pun itu. Termasuk mata pelajaran sekolah. Buat penyuka novel Laskar Pelangi ini, membaca sama dengan belajar.


TBM merupakan salah satu program aksi peningkatan dan pengembangan budaya baca. Program ini digagas sebagai bentuk sikap afirmatif pemerintah Indonesia terhadap Prakarsa Keaksaraan untuk Pemberdayaan (Literacy Initiative for Empowerment-LIFE) canangan UNESCO. Inisiatif tersebut dipahami sebagai kerangka kerja strategis global sebagai kunci mekanisme pelaksanaan untuk mencapai tujuan dan sasaran Dasawarsa Keaksaraan PBB (United Nations Literacy Decade-UNLD) pada skala internasional.

Secara khusus TBM dimaksudkan pula untuk mendukung program pendidikan keaksaraan sehingga para aksarawan baru tidak menjadi buta aksara kembali akibat ketiadaan sarana pendukung untuk mempertahankan kemampuan membaca. Dengan deskripsi yang berbeda, TBM merupakan sarana pembelajaran dan hiburan masyarakat, serta sarana untuk memperoleh informasi.

Harapannya pada masyarakat masyarakat akan tumbuh minat, kecintaan, serta kegemaran membaca dan belajar,  sehingga dapat memperkaya pengetahuan, wawasan tentang perkembangan ilmu pengetahuan, pemahaman norma dan aturan, sekaligus juga dalam hal pemberdayaan masyarakat. (Dikmas, 2009).

Sampai dengan akhir 2007, jumlah TBM di Jawa Tengah tak kurang ada 281. Cukup tinggi mengingat tahun 2003-2005 masih 139. Peningkatan jumlah tersebut erat kaitannya dengan program pengentasan buta huruf yang digeber pemprov. Hal ini wajar karena angka buta huruf masih terbilang tinggi.
Tingkat Kemiskinan Sampai dengan akhir 2008, jumlah penduduk buta aksara berusia 15 tahun ke atas 1.872.694 orang (674.170 laki-laki, dan 1.198.524 perempuan). Jumlah total itu sekitar 7,80 persen dari total angka buta huruf nasional yang berjumlah 10.162.410 orang. Jumlah penduduk buta huruf tersebut, jika dilihat dari angka absolutnya—dibandingkan dengan 32 provinsi lainnya—Jawa Tengah menduduki peringkat kedua, setelah Jawa Timur. Padahal berdasarkan riset literasi  UNESCO ada pertalian erat antara kebutahurufan dan  tingginya tingkat kemiskinan.

Berdasarkan beberan angkaa tersebut, fokus kegiatan TBM memang belum bisa dilepaskan dari program pengentasan buta huruf dan ’’merawat’’ yang sudah melek huruf agar tidak kembali menjadi buta huruf. Hanya saja, andai kedua fokus kegiatan tersebut 100 persen tercapai, pertanyaan besarnya adalah program apa lagi yang harus dilayankan ke masyarakat?

Pada titik itu, saya kira kisah sukses Triyan mendapati dasarnya. TBM harus pula memberikan fasilitasi pada anak-anak sekolah (siswa) baik SD, SMP, maupun SMA. Bentuk fasilitasi itu berupa penyediaan buku bermutu, penuh inspirasi, memberdayakan, serta sesuai dengan tingkat kebutuhan (preferensi) siswa. Ini penting, karena hanya pada siswa yang gemar membaca sajalah, mata pelajaran rumit dapat dipahami secara lebih mudah. 
Selain itu banyak membaca akan memberikan pula beragam perspektif kepada siswa.

Mereka akan mengenakan banyak ’’kacamata’’ saat memandang satu situasi. Yang tak kalah penting, melalui aktivitas membaca mereka akan dihadapkan pada satu dunia yang penuh dengan kemungkinan, harapan, kesempatan, dan cita-cita. (Rahmawati-Ed, 2002).

Perluasan kelompok sasaran TBM ini sekaligus bisa melengkapi, untuk tidak menyebut menutupi, bolongnya sistem di pendidikan (sekolah) kita. Lubang itu berupa kondisi perpustakaan sekolah yang hidup segan mati tak mau. Adanya tidak menggenapkan, ketiadaannya tidak mengganjilkan. (10)

— Agus M Irkham, editor dan penulis buku, Kabid Penelitian dan Pengembangan Pengurus Pusat Forum TBM


Wacana Suara Merdeka 22 Mei 2010