16 Mei 2010

» Home » Kompas » Menakar Bukti Permulaan Penangkapan dan Penahanan Susno

Menakar Bukti Permulaan Penangkapan dan Penahanan Susno

Dalam enam bulan terakhir ini, boleh jadi Komisaris Jenderal Susno Duadji adalah orang yang paling kontroversial di Tanah Air. Mulai dari perseteruan Polri-KPK, kesaksiannya dalam sidang Antasari Azhar, kemudian membongkar kasus mafia pajak yang melibatkan petinggi Polri, sampai pada penetapan dirinya sebagai tersangka disusul penangkapan dan penahanan dalam kasus penangkaran arwana PT Salmah Arwana Lestari.
Bersandar pada KUHAP, penetapan seseorang sebagai tersangka, penangkapan berikut penahanannya adalah kewenangan Polri. Kewenangan tersebut berdasarkan penilaian subyektif aparat penyidik terhadap bukti permulaan yang ada. Agar kewenangan yang bersifat subyektif itu tidak disalahgunakan penyidik, maka untuk menilainya harus berdasarkan fakta yang obyektif, khususnya berkaitan dengan bukti permulaan.


Tak sebatas alat bukti
Ada perbedaan ketika penyidik menetapkan seseorang sebagai tersangka dan ketika penyidik akan menangkap berikut menahan orang tersebut. Pasal 1 Butir 14 KUHAP menyatakan, ”Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”.
Adapun Pasal 17 KUHAP menyebutkan, ”Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”. Berdasarkan kedua pasal tersebut jelas terlihat perbedaannya bahwa untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka diperlukan bukti permulaan.
Bukti di sini tidak hanya sebatas alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, keterangan terdakwa, dan petunjuk. Akan tetapi, bukti di sini juga dapat meliputi barang bukti yang secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu barang-barang yang digunakan untuk melakukan kejahatan (corpus delicti) dan barang- barang hasil kejahatan (instrumenta delicti).
Sementara untuk melakukan penangkapan terhadap seorang tersangka diperlukan bukti permulaan yang cukup. Kata-kata ”bukti permulaan yang cukup” berdasarkan tolok ukur pembuktian dalam doktrin hukum merujuk pada bewijs minimum atau bukti minimum yang diperlukan untuk memproses seseorang dalam perkara pidana, yakni dua alat bukti. Dengan demikian, untuk menangkap seseorang diperlukan dua dari lima alat bukti yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP.
Selanjutnya, untuk menakar bukti permulaan tidaklah dapat terlepas dari pasal yang akan disangkakan kepada tersangka sebab pada hakikatnya pasal yang akan dijeratkan berisi rumusan delik yang dalam konteks hukum acara pidana berfungsi sebagai unjuk bukti. Artinya, pembuktian adanya tindak pidana tersebut haruslah berpatokan kepada elemen-elemen tindak pidana yang ada dalam suatu pasal. Dalam rangka mencegah kesewenang- wenangan penetapan seseorang sebagai tersangka ataupun penangkapan dan penahanan, setiap bukti permulaan haruslah dikonfrontasi antara satu dan lainnya, termasuk pula dengan calon tersangka.
Mengenai hal yang terakhir ini, dalam KUHAP kita tidak mewajibkan penyidik untuk memperlihatkan bukti yang ada padanya kepada si tersangka, tetapi berdasarkan doktrin hal ini dibutuhkan untuk mencegah apa yang disebut dengan istilah unfair prejudice atau persangkaan yang tidak wajar (Arthur Best dalam Evidence: Examples And Explanations, 1994, hlm 4).
Logika kekuasaan
Terkait kasus Komjen Susno Duadji untuk menakar bukti permulaan kiranya dapat dilihat dengan menggunakan fakta yang obyektif. Pertama, Susno disangkakan menerima suap Rp 500 juta dalam kasus penangkaran ikan arwana PT Salmah Arawana Lestari di Rumbai, Riau. Ajaran kausalitas dalam hukum pidana, untuk membuktikan seseorang telah menerima suap, semestinya ada pelaku yang mengaku atau setidak-tidaknya memberi keterangan sebagai pemberi suap. Lebih adil lagi jika pemberi suap tersebut telah dinyatakan sebagai tersangka terlebih dulu. Anehnya, Susno telah dinyatakan sebagai tersangka terlebih dulu sebelum pemberi suapnya dinyatakan sebagai tersangka.
Kedua, keterangan saksi yang menyatakan Susno menerima suap tidak dapat dipercaya begitu saja karena kedua saksi tersebut sekarang ini adalah tersangka dalam kasus mafia pajak yang dibongkar oleh Susno sehingga keterangan saksi tersebut harus diperkuat oleh alat bukti lainnya. Ketiga, Susno tidak diizinkan untuk diperlihatkan bukti yang cukup sehingga ia dapat dijerat sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Kendatipun hal ini bukanlah kewajiban penyidik, tetapi dibutuhkan agar tidak terjadi unfair prejudice terhadap Susno.
Keempat, terkait penangkapan dan penahanan khususnya syarat subyektif penahanan. Jika Susno dikhawatirkan akan melarikan diri, bukankah Susno selama ini selalu memperlihatkan sikap kooperatif ketika dimintai keterangannya? Jika Polri menganggap Susno akan merusak atau menghilangkan barang bukti, kekhawatiran ini justru kontradiktif dengan penangkapan dan penahanan itu sendiri yang katanya telah memiliki bukti permulaan yang cukup. Jika Polri menganggap Susno akan mengulangi tindak pidana, anggapan tersebut kiranya terlalu sumir.
Tegasnya, penetapan Susno Duadji sebagai tersangka berikut penangkapan dan penahanannya lebih memperlihatkan logika kekuasaan daripada logika yuridis.
Eddy O.S Hiariej Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM

Opini Kompas 17 Mei 2010