16 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Kontroversi HPL Tanah PRPP (Catatan Tambahan untuk Jeferson )

Kontroversi HPL Tanah PRPP (Catatan Tambahan untuk Jeferson )

KONTROVERSI hak pengelolaan (HPL) adalah masalah hukum agraria secara nasional. HPL tanah PRPP adalah masalah pertanahan yang spektakuler untuk ukuran Jateng. Diskusi terbuka, termasuk pendapat Jeferson Kameo (SM, 11/05/10) akan jadi sumbangan untuk mencari solusi soal politisasi HPL, sekaligus jalan keluar menyelesaikan kasus tanah PRPP.

Posisi HPL di UU Pokok Agraria (UU Nomor 5 Tahun 1960) memang tidak jelas. Seperti dalam tulisan saya (SM, 07/05/10), dalam batang tubuh UUPA hanya ada Pasal 2 Ayat 4, yang berbunyi ”hak menguasai dari negara tersebut di atas, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan, dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan peraturan pemerintah”.


Jeferson menyebut UUPA mengatur keberadaan HPL dalam penjelasan umum, angka II, butir 2. Di situ memang tertulis: ”...atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu badan penguasa (departemen, jawatan, atau daerah swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing (Pasal 2 Ayat 4)...”

Bandingkan dengan istilah yang terang-benderang disebut dalam Pasal 16 Ayat 1, yakni hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, dan hak memungut hasil hutan.
Dari fondasi konsep yang remang-remang dalam UUPA tersebut, HPL makin diperjelas sosoknya dalam peraturan pelaksana berikutnya, bahkan konsep yang goyah pijakannya tersebut dipakai dasar untuk mengatur dalam bentuk UU. Misalnya UU Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan dan Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Istilah HPL seperti saya tulis sebelumnya (SM , 07/05/10), mulai muncul dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 tahun 1965.

Pasal 5 Permen Agraria Nomor 9 Tahun 1965 merumuskan bahwa HPL diberikan bila tanah negara selain dipakai oleh instansi yang diberikan hak, juga dimaksudkan untuk kerja sama dengan pihak ketiga. Pasal 6 mengatur kewenangan pemegang HPL selain membuat perencanaan, juga menggunakan tanah tersebut untuk pelaksanaan tugasnya, dan menyerahkan bagian dari tanah pada pihak ketiga dengan hak pakai berjangka waktu 6 tahun.

Agenda Tersembunyi

Politisasi atau penyimpangan perundang-undangan tampak dari Pasal 7 yang memberi hak kepada menteri untuk memberi hak pengelolaan pada badan-badan lain. Inilah mulainya hidden agenda menyimpang dari batasan awal yang disyaratkan dalam UUPA, bahwa kuasa negara hanya bisa diberikan pada pemda dan masyarakat hukum adat.

Politisasi kepentingan mulai menguat pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974, yang mengubah tujuan pemberian HPL untuk keperluan usahanya (Pasal 3). Padahal pada Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 rumusannya untuk pelaksanaan tugas pemegang HPL bukan untuk berusaha.
Permendagri Nomor 1 Tahun 1997 (yang disebut oleh Jefferson ) tentang Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak atas Bagian-bagian tanah Hal Pengelolaan serta Pendaftarannya, memang merupakan bagian dari kontroversi dan politisasi HPL, karena memperluas lagi hak yang bisa diberikan di atas HPL bukan hanya hak pakai.

Hak yang bisa diberikan di atas HPL dipisahkan menjadi dua jenis. Untuk HPL di bidang pembangunan wilayah permukiman, bisa diberi hak milik (HM), hak guna bangunan (HGB), dan hak pakai (HP). Sedangkan HPL untuk pembangunan wilayah industri dan pariwisata hanya bisa diberikan HGB dan HP.

Profesor Budi Harsono dalam bukunya Hukum Agraria Indonesia, halaman 277 menegaskan, hak pengelolaan hakikatnya bukan hak atas tanah, melainkan merupakan gempilan hak menguasai dari negara.

Bahkan pada halaman 278, dijelaskan jika dalam UU Nomor 21 Tahun 1997, hak pengelolan dan hak milik atas satuan rumah susun disebut sebagai hak atas tanah, merupakan kekhilafan pembuat undang-undang
Untuk mengurai benang kusut tanah PRPP, beberapa hal perlu dijelaskan. Pertama, apa tujuan pembebasan tanah yang bermasalah di PRPP: untuk kepentingan pemda, atau swasta. Kalau untuk swasta, kenapa harus dimintakan HPL mengingat hak itu hanya bisa diberikan untuk kepentingan tugas dan fungsi instansi pemerintah pemegang hak.

Kedua, untuk tujuan apa HPL yang diberikan pada Pemprov Jateng: untuk kepentingan permukiman, atau menunjang kegiatan promosi pembangunan. Ketiga, kerja sama baru bisa dilakukan setelah ada pemegang HPL, jadi kalau pembebasan tanah dibiayai oleh pihak swasta, apa dasar hukumnya. Sulit mencarikan dasar hukum terkait  kerja sama yang dilakukan Yayasan PRPP.

Keempat, kalau sekarang status tanah PRPP semuanya HGB, apa pada saat pengusulan hak tersebut dilakukan oleh Pemprov Jateng. Kalau terjadi jual beli, apakah ada izin tertulis dari Pemprov? (10)

— Bambang Sadono, Wakil Ketua DPRD Jateng

Wacana Suara Merdeka 17 Mei 2010