08 Mei 2010

» Home » Republika » Kontestasi Politik Inggris

Kontestasi Politik Inggris

Hari Kamis, 6 Mei, Inggris menggelar pemilu memilih 650 anggota parlemen (House of Commons ) dan mengangkat perdana menteri baru. Tiga partai besar: Buruh, Konservatif, dan Liberal Demokrat bersaing ketat merebut mandat politik dari rakyat untuk memimpin pemerintahan lima tahun mendatang. Bagi Buruh yang sedang memerintah, pemilu 2010 ini merupakan ujian paling berat pada saat ekonomi sedang terpuruk akibat krisis finansial global dua tahun lalu.

Menurut berbagai jajak pendapat, Buruh tertinggal dalam perolehan  popular vote dan sangat mungkin Konservatif akan memenangi pemilu. Liberal Demokrat muncul sebagai kekuatan baru dengan energi segar dan dianggap sebagai alternatif ketika rakyat Inggris sedang gamang antara perasaan putus asa di bawah pemerintahan Buruh dan ketakutan terulangnya mimpi buruk pemerintahan Konservatif pada masa lampau.

Ketiga pemimpin partai: Gordon Brown (59 tahun, Buruh), David Cameron (43 tahun, Konservatif), dan Nick Clegg (43 tahun, Liberal Demokrat) mewakili politisi yang berbeda generasi dan berlainan mazhab ideologi politik. Karena itu, pertarungan di antara ketiga tokoh politik itu mencerminkan pertarungan antargenerasi sekaligus juga menggambarkan kontestasi ideologi ekonomi-politik dan preferensi kebijakan publik. Brown yang mengambil-alih kepemimpinan Buruh setelah Tony Blair lengser tahun 2007 adalah arsitek ekonomi yang menjabat menteri keuangan selama 10 tahun.

Ia dianggap tokoh kunci di balik sukses pemerintahan Buruh ketika Blair menjabat perdana menteri. Brown adalah politisi kawakan yang setia dengan ideologi politik kiri-tengah yang mengusung cita-cita negara kesejahteraan dengan pemihakan yang tegas kepada warga negara biasa ( ordinary citizens ). Kebijakan populis Buruh adalah sukses menaikkan pendapatan lapisan masyarakat paling miskin, meski tetap dikritik karena tidak sebanding dengan percepatan pertumbuhan kelompok masyarakat berpendapatan besar (kaya). Meski krisis ekonomi belum sepenuhnya berlalu, Brown dianggap berhasil menghindarkan Inggris dari  economic catastrophe akibat krisis keuangan global.

Adapun Cameron yang memimpin partai sejak 2005 tampil mewakili lapisan generasi baru dengan cita-cita baru pula ketika Konservatif sedang mengalami senja kala. Publik Inggris menyebut partai pengusung Thatcherism ini sebagai  uncaring and ill-disposed towards 21st-century Britain . Cameron melakukan modernisasi partai sekaligus reorientasi ideologi dengan mengubah haluan politik agak ke tengah dari semula berada di kanan. Perubahan posisi ini diambil setelah elite-elite partai melakukan refleksi atas kekalahan tiga kali beruntun sejak 1997, dengan merumuskan kebijakan baru yang tidak berkarakter  old Conservatives . Kebijakan publik yang bergeser, antara lain setuju pemberlakuan upah minimum, sistem kesehatan nasional, dan berjanji mendorong pebisnis dan pelaku ekonomi untuk lebih peduli dalam mengatasi masalah sosial sebagai bentuk tanggung jawab publik.

Sedangkan, Clegg yang naik ke puncak kepemimpinan partai sejak 2007 mewakili politisi generasi baru beraliran liberal yang mengagungkan  civil liberties . Clegg bersemangat mendorong reformasi ekonomi (pemerataan pendapatan, distribusi kekayaan, penataan sistem perpajakan) dan reformasi politik (pembaruan sistem pemilu, pengakuan kesetaraan, dan kebebasan). Ketika banyak politisi masih bersikap mendua dan gamang, Clegg justru menunjukkan sikap liberal dengan mendorong Inggris menempuh jalan integrasi total ke Uni Eropa dan menawarkan kebijakan progresif: amnesti bagi para imigran gelap. Liberal Demokrat adalah partai yang menolak keras perang Irak dan paling getol mengusung isu lingkungan ketika tema perubahan iklim menjadi wacana global. Sebagai tokoh politik baru, banyak pihak justru menyebut Clegg sebagai 'the candidate of change' di antara dua pilihan partai Konservatif dan Buruh yang oleh berbagai kalangan dianggap tak menjanjikan perubahan signifikan.

Tantangan paling berat pemerintahan baru mendatang adalah membangun kembali ekonomi nasional yang terpuruk setelah diterpa krisis finansial global. Sebuah pusat kajian strategis berbasis di London, International Institute for Strategic Studies (IISS) melaporkan, saat ini dan sampai beberapa tahun mendatang pemerintahan Inggris menghadapi defisit anggaran paling tinggi sejak dekade 1970-an. Akibat krisis keuangan global, perekonomian nasional melemah dengan pertumbuhan hanya 0,5 persen pada 2008. Meskipun perlahan mulai pulih, proses pemulihan belum sepenuhnya stabil. Angka pengangguran mencapai 7,8 persen yang dianggap relatif tinggi dibandingkan negara-negara Eropa lainnya. Bahkan, akibat penerimaan pajak yang terus menurun, nilai pinjaman pemerintah meningkat cukup tajam dari 6,7 persen menjadi 11,8 persen terhadap GDP atau setara Rp 167 miliar sampai Maret 2011. Menurut proyeksi resmi, utang sektor publik juga diperkirakan naik dari 53 persen pada 2009 menjadi 75 persen dari GDP pada 2014 (IISS, UK Election Could Herald Untidy Politics, April 2010).

Maka, pemilu diharapkan dapat menghasilkan pemerintahan yang kredibel, solid, dan stabil untuk dapat mengatasi problem ekonomi yang sangat kompleks itu. Namun, publik pesimistis kesulitan ekonomi ini dapat segera diatasi karena tidak ada partai yang memenangi pemilu dengan suara mayoritas mutlak. Dengan prediksi perolehan suara: Konservatif 36 persen, Buruh 29 persen, Liberal Demokrat 27 persen, partai-partai kecil 8 persen (ICM, 2 Mei), pemerintahan mendatang mungkin akan dibentuk melalui  hung parliament (parlemen gantung) yang bertumpu pada aliansi antarpartai. Banyak pihak khawatir, pemerintahan koalisi antarpartai yang berbeda aliran ideologi ekonomi-politik akan menciptakan instabilitas politik dan membahayakan proses pemulihan ekonomi.

Opini Republika 8 Mei 2010