14 April 2010

» Home » Jawa Pos » Pendidikan Antiterorisme

Pendidikan Antiterorisme

HINGGA saat ini, bangsa Indonesia terus dihadapkan pada budaya kekerasan, korupsi, kolusi, dan otoritarianisme. Berbagai persoalan, baik sosial, ekonomi, politik, maupun budaya, begitu menumpuk. Berbagai praktik mafia di beberapa institusi penting oleh para elite pejabat kita masih bergentanyangan. Upaya-upaya tersembunyi gerakan teror pun terus bergolak.

Jati Diri Jawa Pos (13/4/2010) mengangkat topik terorisme. Rupanya, isu itu masih dianggap aktual dan urgen. Menurut Jawa Pos, potensi terorisme bakal terus meningkat jika tidak segera dicegah sejak dini. Itu tidak bisa hanya dilakukan oleh petugas keamanan atau polisi, melainkan semua komponen masyarakat.



Jawa Pos benar, terorisme tidak bisa hanya dibendung oleh satu institusi atau Polri. Bahkan, menurut hemat penulis, yang sangat strategis mencegah terorisme adalah institusi pendidikan, teristimewa institusi pendidikan Islam (sekolah hingga perguruan tinggi). Sebab, terorisme berkaitan sangat erat dengan ideologi agama. Meski turut menentukan, variabel lain tidak terlalu berpengaruh secara signifikan. Hal tersebut bisa kita perhatikan berdasar alasan-alasan para teroris. Mereka melakukan teror dan bom bunuh diri karena alasan jihad melawan kafir dan pembelaan komunitas muslim yang dianggap dizalimi kelompok lain (baca: nonmuslim).


***

Perbincangan soal upaya perbaikan kualitas pendidikan, khususnya pendidikan agama, terasa sangat dilematis. Di satu sisi, guru masih dilihat sebagai satu-satunya elemen terpenting. Dengan begitu, kualitas pendidikan apa pun harus dimulai dari guru (Kompas, 28/3/2002). Sementara itu, Gorton (dalam Bafadal, 2002) telah menempatkan muatan buku ajar sebagai elemen yang secara bersamaan juga harus diperhatikan. Padahal, selama ini perhatian serius seputar materi buku ajar di sekolah -sebagaimana diteorikan Gorton- belum sering diterapkan.

Ada kesan bahwa materi yang tertuang dalam buku ajar selama ini baru menyentuh aspek formal dan parsial. Misalnya, upacara, ritus, hukum, dan lambang-lambang. Meskipun, hal tersebut harus diakui sebagai bagian yang tak terpisahkan dari nilai universal agama. Sementara itu, spirit atau roh hukum tersebut, yaitu iman, harapan, dan kasih sayang, belum begitu disentuh.

Dengan kata lain, pendidikan agama selama ini terjebak pada upaya membuat orang sekadar beragama, tidak mendorong untuk beriman. Padahal, religius adalah sikap dasar yang membuat orang beramal baik, bersikap penuh belas kasih, merasa rindu dan ingin dekat dengan Tuhan, penuh cinta dan sayang, lembut hati dan mudah memaafkan, juga memiliki solidaritas kemanusiaan universal. Itulah persoalan yang sangat inti dalam beragama, yang seharusnya menjadi potret pendidikan agama di sekolah atau madrasah.

Jika pendidikan agama tidak sekadar pemberian pelajaran agama secara rutin oleh guru di sekolah -melainkan penanaman jiwa agama yang dimulai dari pendidikan keluarga sejak kecil dengan membiasakan anak berbuat baik-, seperti apakah pemaknaan pendidikan agama dalam sekolah itu?

Hasil observasi Pusat Penelitian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, mengungkap hal sama. Yakni, mayoritas perilaku keberagamaan dari sejumlah kota-kota besar di Indonesia masih menekankan pada dimensi kesalehan individual. Bersamaan dengan itu pula, fenomena KKN, intoleran, miskin solidaritas, kerusuhan, kekerasan, eksploitasi, dan hegemoni marak di mana-mana. Padahal, fenomena semacam itu akan mudah dilerai melalui pendekatan pendidikan agama yang perhatian pada wawasan individul dan sosial secara bersamaan.

Dengan demikian, konsep tentang pentingnya pendidikan bagi terciptanya keharmonisan sangat urgen. Berdasar kajian itu pula, sepintas kita telah memahami letak kelebihan dan kekurangan model pendidikan agama yang diberlakukan oleh Kementerian Agama. Di situlah diperlukan penelitian lanjut terhadap pesan-pesan materi yang tertuang dalam buku ajar, yang merumuskan persoalan tersebut.

***

Doktrin agama bukanlah huruf-huruf yang tersusun menjadi hukum, melainkan yang lebih penting dari itu semua, yakni roh dan semangat agama: iman dan kasih sayang. Sebab, dengan model pendidikan terakhir tersebut, diharapkan anak didik menjadi manusia yang memiliki kepribadian ideal, jiwa solidaritas yang tinggi, jujur, adil, damai, rukun, dan jauh dari perpecahan, kekerasan, konflik, serta ketegangan antarumat beragama. Orientasi pendidikan semacam itu juga bakal terlihat secara jelas ketika diletakkan pada kompleksitas dan pluralitas agama.

Di situ pluralitas agama setidaknya harus menjadi kekuatan konstruktif-transformatif, bukan sebaliknya, yakni menjadi kekuatan destruktif. Potensi pertama, kekuatan konstruktif-transformatif berkembang jika setiap komunitas agama memahami dan menjunjung tinggi nilai toleransi dan kerukunan. Sebaliknya, potensi destruktif dominan bila setiap komunitas agama tidak memiliki sikap toleran, bahkan memandang inferior agama lain.

Karena itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menciptakan harmonisasi umat beragama di Indonesia. Pertama, pendidikan agama harus mampu membentuk watak siswa bahwa agama merupakan kebutuhan rohani bagi penciptaan kerukunan dan kedamaian serta pemupuk persaudaraan dan ketenteraman sesuai dengan misinya. Dengan kata lain, diperlukan reorientasi pendidikan agama yang berwawasan kemanusiaan universal dan keramahan (rahmatan lil alamin). Kedua, kualitas pendidikan umat ditingkatkan, utamanya pendidikan yang melahirkan akhlak karimah. Indikator yang digunakan, ada sikap jujur, tenggang rasa, dan cinta kasih antar sesama. Bukan pendidikan yang melahirkan manusia-manusia keras dan absolut. Reorientasi pendidikan agama seperti itu sudah saatnya diterapkan mulai TK hingga perguruan tinggi dengan me-review kurikulum kita selama ini. (*)

*). Dr M. Zainuddin MA, dekan Fakultas Tarbiyah dan dosen Islamic Studies PPs UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang
Opini JawaPos 14 April 2010