03 Maret 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Negosiasi Hukum dan Politik

Negosiasi Hukum dan Politik

Oleh Muh. Khamdan
Pernyataan Staf Khusus Presiden Denny Indrayana bahwa ada partai politik yang mencoba menegosiasikan hukum sungguh menjadi dentum ancaman serius atas kedaulatan hukum itu sendiri. Jika memang benar apa yang disampaikan tersebut, sangat disayangkan hukum harus tergiring dalam penyimpangan kekuasaan yang tergolong political corruption, yaitu penggunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi dan keuntungan golongan elite tertentu. Maklum karena sesama penyelenggara negara memiliki "kartu rahasia" yang siap dijadikan amunisi masing-masing.
Lobi-lobi yang dilancarkan partai penguasa dan pernyataan sosok yang juga anggota Satuan Tugas (Satgas) Antimafia hukum ini jelas akan mempersulit kiprah lembaga penegak hukum untuk mengubah citra hukum yang selama ini telah turun derajat tidak sebagai alat untuk memberikan keadilan (dispensing justice). Bahkan semakin menguatkan memori kolektif publik sebagaimana Marc Galanter menuliskan profesi hukum lebih mementingkan bisnis daripada penegakan keadilan.
 

Dalam hukum, terdapat dua fungsi utama yang oleh Bernard Arief Sidharta dalam "Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum" disebut dengan fungsi ekspresif dan fungsi instrumental. Pertama, hukum mengungkapkan pandangan hidup, nilai-nilai budaya, dan nilai-nilai keadilan. Hukum selalu tertanam di dalam suatu struktur sosial tertentu karena manusia adalah makhluk sosial yang secara kodratnya selalu mencari orang lain untuk saling berinteraksi dan butuh adanya suatu nilai agar tidak terjadi konflik. Kedua, secara instrumental hukum menjadi sarana untuk menciptakan dan memelihara ketertiban, stabilitas, dan prediktabilitas, melestarikan nilai-nilai budaya dan mewujudkan keadilan, sarana pendidikan untuk pengadaban masyarakat sekaligus mengesahkan perubahan masyarakat. Dengan demikian, hukum berfungsi memanusiakan penggunaan kekuasaan dalam masyarakat agar yang kuat tidak sewenang-wenang melakukan penindasan terhadap yang lemah atau tidak saling memangsa.
Dari kedua fungsi itu, kiranya fakta adanya upaya negosiasi perkara hukum di atas peristiwa politik harus dijadikan wahana introspeksi untuk melihat sejujurnya apa yang terjadi antara kekuasaan politik dan kekuasaan hukum. Dalam kaitan ini, hukum harus relevan dan berpihak pada kepentingan rasa keadilan sosial masyarakat. Hukum harus menjadi pengayom sesama warga masyarakat tanpa membeda-bedakan dengan menegakkan keadilan untuk semua (equality before the law).
Asas keadilan ini harus berjalan memenuhi persyaratan moral bukan diatur oleh politik. Karena pada hakikatnya, politik diatur oleh kekuasaan sedangkan kekuasaan diatur oleh uang. Meminjam istilah Habermas, manusia akan kehilangan daya kritisnya karena terbuai oleh materi-materi yang bersifat semu, yaitu uang. Dengan demikian, profesi hukum yang merupakan profesi terhormat dan luhur (officium nobile) harus menjunjung tinggi etika profesi untuk mengabdi pada sesama sebagai idealismenya.
Hukum memang membutuhkan kekuasaan, tetapi hukum tidak bisa dibiarkan ditunggangi oleh kekuasaan. Secara hakiki hukum harus pasti dan adil agar hukum berfungsi sebagaimana mestinya. Suatu hukum yang tidak pasti dan tidak mau adil menunjukkan hukum yang buruk sehingga mudah direkayasa untuk kepentingan tertentu sekaligus memberi peluang kepada profesional hukum guna menafsir atau menjerat perkara hukum sesuai selera subjektif.
Masyarakat telah melihat tontonan hukum yang merusak moralitas sehingga berkembang persepsi tidak ada lagi keadilan di pengadilan karena tidak adanya kepastian dan kesamaan hukum. Bahkan profesi luhur dan terhormat ini dicemari pelaku profesi hukum sendiri, seperti putusan hakim terhadap Minah yang didakwa mencuri tiga buah kakao dengan ganjaran 1 bulan 15 hari penjara, Basar dan Kolil karena mencuri semangka harus mendekam dalam LP Kelas A Kota Kediri, juga kasus Manisih atas sangkaan mencuri 14 kilogram kapuk randu.
Asas kesamaan di hadapan hukum yang menuntut adanya keadilan hukum justru dijungkirbalikkan. Pada akhirnya perkara hukum terhadap Amir Mahmud, hanya karena pil ekstasi dikenai hukuman empat tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat, sedangkan jaksa Ester dan Dara yang menggelapkan 343 butir ekstasi hanya divonis 1 tahun.
Dalam memahami hubungan antara hukum dan kekuasaan, perlu ditumbuhkan adanya demokratisasi dalam pelahiran suatu produk hukum agar fungsi ekspresif hukum itu dapat berjalan mengawal terwujudnya produk hukum yang berkeadilan dan berperikemanusiaan yang beradab. Pada sisi lain, penyadaran melalui pendampingan yang kontinu terhadap masyarakat mengenai hukum harus diperluas ke semua lapisan agar mampu mengawal kepastian hukum dan mencegah terjadinya manuver kekuasaan dalam kedaulatan hukum.
Di sinilah pentingnya moralitas bagi profesi hukum dengan menjunjung kode etik. Kode etik penting bagi profesi hukum karena profesi hukum merupakan suatu moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Dan benar atau tidaknya upaya negosiasi hukum pada akhirnya dapat tercegah oleh profesi hukum yang menjaga kedaulatan hukum itu sendiri.***
Penulis, fungsional Widyaiswara BPSDM Kementerian Hukum dan HAM RI.
Opini Pikiran Rakyat 04 Maret 2010