03 Maret 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Mengapa Ricuh?

Mengapa Ricuh?

Oleh Dedi Suherman
Grand final kasus dana bailout Bank Century akhirnya digelar dalam sidang paripurna di Gedung DPR/MPR Senayan Jakarta, Selasa (2/3). Acara tersebut sangat dinantikan seluruh rakyat Indonesia yang merindukan kebenaran dan keadilan. Ribuan massa berbondong-bondong menuju Gedung DPR ingin menyaksikan langsung peristiwa bersejarah itu. Ratusan juta rakyat lainnya menyaksikan sidang paripurna DPR melalui tayangan langsung sejumlah stasiun televisi.
Sayang sejuta sayang, grand final kasus Bank Century yang diharapkan menghasilkan gol-gol indah hasil tendangan anggota Pansus ternyata gagal disaksikan penonton, karena sidang paripurna berhenti di tengah jalan. Ketua sidang meniup peluit (ketok palu), karena menilai para pemain (anggota sidang) mulai bermain tidak fair play, lantaran melontarkan interupsi tak terkendali. Sontak saja tindakan wasit (pimpinan sidang) menuai protes dari sejumlah anggota dewan, akhirnya terjadilah kericuhan.
Para penonton di luar gedung sidang pun ternyata latah pula. Ribuan demonstran terpancing ikut memperkeruh suasana, mereka melakukan aksi-aksi brutal dan anarkistis, membuat polisi dan petugas keamanan kerepotan untuk mengatasinya. Pendek kata, acara sidang paripurna DPR yang menggelar laporan akhir Pansus Century pada hari pertama gagal total, jauh dari harapan semua pihak. 
 

Sungguh kejadian yang memalukan dan memilukan jutaan rakyat Indonesia yang masih memiliki hati nurani, karena ternyata gol yang dihasilkan pada final kinerja Pansus Century adalah ricuh! Apa pun alasannya tindakan anarkistis yang membuahkan kericuhan tidak dapat dibenarkan, apalagi aktor pelakunya adalah anggota dewan yang terhormat dan mahasiswa calon intelektual dan cendekiawan. Meluapan kekecewaan atau ketidakpuasan dengan cara ricuh dan anarkistis masih dapat ditoleransi dan dianggap wajar jika dilakukan para preman dan anak jalanan yang kurang bahkan tidak mengenyam pendidikan. Akan tetapi, sungguh kurang ajar bila kericuhan dipicu oleh sikap dan tindakan anggota dewan yang terhormat dan para mahasiswa yang berpendidikan tinggi.
Yang lebih menyakitkan hati, kericuhan yang sedikit diwarnai sikap brutal dan anarkis tersebut terjadi di bulan Rabiul Awal yaitu bulan kelahiran Nabi Muhammad saw. yang menjadi rahmatan lil’alamiin. Sungguh ironis dan kontradiktif karena terjadi di tengah-tengah sebagian umat Islam melakukan ritus memperingati kelahiran Rasulullah hampir di seantero daerah di Indonesia. Dari tingkat istana negara sampai di pinggir astana (kuburan) dengan berbagai ritus yang diada-adakan. Akan tetapi di manakah esensi mencintai Nabi yang sejati? Upacara ritual memperingati Maulid Nabi ternyata hanya seremonial hampa dari nilai-nilai moral dan spiritual.
Benarkah negara kita negara demokratis? Atau justru negara anarkis? Bila ada perbedaan kehendak atau perselisihan paham tidak diselesaikan dengan cara elegan dan tepo seliro, tetapi malah diwarnai adu mulut dengan nada sentimen bukan atas dasar argumen. Mengapa mental pemain dan suporter sepak bola kita merasuk pula pada jiwa politikus dan kaum demonstran?
Di manakah sikap tasammuh (saling menyayangi, menghormati, dan menghargai) para anggota dewan yang terhormat. Bukankah mereka mayoritas mengaku umat Nabi Muhammad saw, nabi penegak kebenaran dan penebar kasih sayang. Mengapa sikap permusuhan tampak jelas di antara anggota fraksi di DPR. Mereka tidak malu-malunya perang mulut, bersilat lidah, beradu argumen, bahkan sampai beradu jotos. Konon katanya mereka memperjuangkan nasib rakyat. Benarkah demikian? Ataukah mereka hanya memperjuangkan diri dan partai/golongannya? Bukan negative thinking alias su’udzon tetapi wajar rakyat curiga. Mengapa rakyat mesti curiga? Karena yakin mayoritas berhasil anggota DPR dengan mengeluarkan dana yang tidak sedikit ketika kampanye. Wajar bila mereka berjuang untuk mengembalikan modal bukan berjuang untuk memikirkan nasib rakyat.
Tertutupkah mata hati para petinggi negeri ini? Mengapa mereka malah tawuran? Betulkah mereka sedang memperjuangkan nasib rakyat yang sedang sekarat? Apakah mereka tidak melihat banyak rakyat jelata di setiap daerah yang sedang menderita? Korban banjir hidupnya kocar-kacir, korban longsor yang terkubur, juga korban gempa bumi yang mayoritas menderita di tempat mengungsi. Benarkah mereka ingin menyelamatkan uang negara? Padahal untuk menunjang kinerja, Pansus Century konon menguras dana negara miliaran rupiah.
Mau dibawa ke mana nasib anak negeri ini? Bila kondisi negara terus digonjang-ganjing perseteruan politik. Setiap fraksi memproklamasikan diri sebagai pahlawan pembela keadilan.
Wahai kaum munafikin segeralah sadar dari kekhilafan, jangan terus menerus membohongi rakyat. Ingat! Tuhan (Allah) tidak mungkin bisa dikelabui. Ingat! Azab Allah sangat berat bagi kaum munafikin.
Namun kami yakin, di antara ratusan anggota dewan masih ada segelintir orang yang masih memiliki keimanan dan ketakwaan yang sempurna. Semoga mereka diberi kekuatan untuk menegakkan kebenaran memberantas kebatilan, menyadarkan anggota dewan lainnya yang sesat dan jahat. Semoga Allah menyelamatkan warga negara ini yang masih mengimani dan menaati-Nya.***
Opini Pikiran Rakyat 04 Maret 2010