24 Februari 2010

» Home » Suara Merdeka » Vonis Antasari dan Wajah Hukum Kita

Vonis Antasari dan Wajah Hukum Kita

Untuk konteks perbaikan sistem dan tata penegakan hukum, langkah pengacara Antasari mengajukan eksaminasi ke Komisi Yudisial dan upaya banding patut diapresiasi secara ilmiah

DRAMA hukum yang begitu banyak mendapat perhatian publik selesai sudah. Sebuah kisah yang menjerat Antasari Azhar, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dituduh terlibat dalam skenario pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen, telah diputuskan di pengadilan dengan vonis bersalah. 


Yang bersangkutan divonis 18 tahun penjara karena terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindakan melanggar hukum bersama beberapa orang lainnya, di antaranya Sigid Haryo Wibisono dan Wiliardi Wizard. Sebagaimana lazimnya, putusan hukum selalu menimbulkan dua sudut berbeda. Sudut pertama, pihak yang ”diuntungkan” oleh putusan tersebut, dan sudut yang lain pihak yang ”dirugikan”.

Anehnya, untuk kasus Antasari justru kedua belah pihak sama-sama tidak ada yang diuntungkan. Pihak korban, keluarga Nasruddin menganggap keputusan hakim tidak mencerminkan rasa keadilan. Sebab, nyawa yang hilang hanya dipadankan dengan masa hukuman 18 tahun. Mereka menuntut hukuman lebih. Bahkan dengan hukuman mati. Pihak Antasari, melalui pengacara Assegaf berpendapat bahwa putusan hakim sangat tidak argumentatif dan tidak mencerminkan kedalaman pemahaman terhadap bukti-bukti hukum di persidangan. Pihak Nasruddin menuntut banding dan eksaminasi terhadap keputusan tersebut melalui Komisi Yudisial karena menilai keputusan tersebut sangat janggal.

Apa yang menarik dari kenyataan ini? Kalau kita menuntut bahwa keputusan hukum harus memberikan rasa keadilan bagi semua pihak, pasti tidak akan mungkin. Sebab, keputusan hukum itu sendiri merupakan punishment terhadap tindakan yang melawan hukum dan bentuk perlindungan terhadap orang lain. Tetapi persoalannya adalah bagaimana meletakkan keputusan hukum itu di atas otoritas normatif yang sesungguhnya dan mensterilisasi pengambil keputusan hukum dari sejumlah kepentingan yang melingkupinya. Mungkinkah, dalam kasus yang memiliki kekhususan seperti itu, objektivitas hukum bisa ditegakkan?

* * *

Berbicara objektivitas hukum, harus menyebutkan tiga variabel yang paling determinan. Pertama, variabel manusia sebagai penagak hukum (termasuk di dalamnya hakim, polisi, jaksa, dan panitera). Kedua, kenyataan faktual yang bisa menjadi alat bukti sehingga tidak menimbulkan keraguan secara hukum. Ketiga, landasan normatif yuridis yang bisa dijadikan dasar bagi sebuah keputusan hukum.

Dalam kasus Antasari, variabel ketiga tidak perlu diperdebatkan karena telah memiliki dasar hukum. Tetapi menyangkut alat bukti, dan manusia yang mengambil keputusan hukumnya maka kami ajukan beberapa perspektif untuk mengurai sisi-sisi terdalam untuk mendapatkan gambaran terhadap eksistensi keputusan tersebut.
Banyak Ruangan Menurut teoretisi hukum Mac Galentar, hukum itu berada di dalam banyak ruangan (law is many rooms). Ruang-ruang pengadilan itu membuat putusan ditentukan kekuatan pemerintah, pemilik modal, pimpinan parpol, dan pimpinan ormas yang berkoalisi dengan aparat penegak hukum di pengadilan. Lanjutnya melalui penelusuran terhadap berbagai model hukum di negara-negara Asia, Galentar menemukan sebuah indikasi adanya keterkaitan antara berbagai elemen tersebut.

Artinya, tidak tidak ada keputusan hukum yang diambil oleh seorang hakim, lebih-lebih yang memiliki nilai dan bobot politik, yang dilepaskan dari unsur intervensi pemerintah. Atau sebaliknya, setiap tindakan penuntutan yang dilakukan oleh jaksa, diambil secara koordinatif melalui komunikasi di antara elemen-elemen tersebut.

Celakanya, di Indonesia, dalam kondisi penyelesaian sebuah kasus hukum yang sedang diperkarakan, tidak ada aturan yang melarang adanya komunikasi antara hakim, jaksa, dan penguasa. Bahkan komunikasi itu termediasi melalui forum resmi yang bernama muspida, di mana elemen tersebut bisa leluasa melakukan komunikasi dan koordinasi. Tanpa bermaksud mengecilkan peran dan fungsinya, dalam konteks pembangunan kelembagaan penegak hukum, sejatinya tidak boleh ada ruang yang memungkinkan terjadinya saling memengaruhi antara masing-masing pihak yang terkait secara langsung.
Bandingkan misalnya dengan negara-negara yang sangat ketat mengatur larangan komunikasi antara jaksa, hakim, dan pemerintah seperti Jepang, Singapura. dan Hong Kong. Bahkan di China, pelanggaran terhadap larangan itu dapat diancam dengan tuntutan pidana mati.

Longgarnya sistem hukum di Indonesia, menjadi celah yang sangat potensial bagi terjadinya mafia peradilan, sebuah keputusan hukum yang diambil secara bersama-sama dengan prinsip saling kesepahaman. Artinya, keputusan hukum sudah diambil di luar persidangan sebelum hakim memutuskan.

Karena itu, pakar hukum semacam Readboarg, memformulasikan sebuah keniscayaan ”apabila hukum ingin ditegakkan sejujur-jujurnya, maka di antara penegak hukum tidak boleh ada komunikasi baik secara langsung maupun secara elektronik”, karena dapat mengubah persepsi terhadap sebuah perkara yang membutuhkan keputusan hukum.

Dalam konteks seperti itu, bisakah kita memercayai keputusan terhadap Antasari sebagai keputusan hukum objektif? Tulisan ini, tidak dimaksudkan sebagai ungkapan yang secara prejudice, mencurigai keputusan hakim terhadap perkara Antasari melainkan sebagai upaya untuk menjernihkan titik persoalannya dalam konteks kelemahan sistem hukum di Indonesia.

Sesuai dengan berjalannya persidangan dengan menghadirkan bukti dan saksi, pembuktian secara langsung keterlibatan Antasari dalam skenario pembunuhan terhadap Nasruddin, masih sangat lemah —untuk tidak menyebut tidak ada— selain sekumpulan BAP yang diambil oleh polisi dan jaksa.

Sekumpulan cerita pembuktian seperti pertemuan antara Antasari, Sigid, dan Wiliardi Wizard, belum bisa dirangkai sebagai kepastian rencana yang bisa dipahami ke arah yang dituduhkan. Bahkan kesaksian para ahli, terutama pakar komunikasi dan teknologi informasi, tidak menemukan indikasi seperti yang dituduhkan jaksa. Dengan demikian, bagaimana secara hukum kita bisa memahami makna vonis hakim yang menyatakan terbukti bersalah terhadap Antasari? Lalu bagaimana rasa keadilan bisa diletakkan di atas keputusan hukum tersebut?

***

Fenomena Antasari, secara sosiologi hukum, tidak bisa dilepaskan dari konteks persoalan makro yang berdiri di sekitar ranah hukum itu sendiri. Karena itu tidak bisa dibaca secara hukum par-excellence.  Sebab, di luarnya masih terdapat sekumpulan narasi sosial yang bertali-temali dengan kenyataan tersebut. Narasi itu berupa fakta yang tendensius mengarah pada upaya pelemahan terhadap eksistensi lembaga KPK, di mana Antasari pernah menjadi ketua dari lembaga tersebut.

Sebagaimana dipahami bersama, bahwa eksistensi KPK menjadi salah satu alternatif kepercayaan publik terhadap integritas pemberantasan korupsi. Dan semua orang juga memahami bahwa karena begitu kuatnya budaya korupsi di Indonesia, maka upaya pemberantasan korupsi menjadi sangat tidak mudah, termasuk adanya perlawanan terhadap upaya-upaya pemberantasan korupsi. Yang menjadi ironi, justru adanya perlawanan dari sesama lembaga penegak hukum itu sendiri seperti tercermin dalam drama penangkapan pimpinan KPK yang lain, yaitu Bibit dan Chandra.

Mengutip pendapat dari begawan hukum Satjipto Rahardjo, seringkali terjadi kesenjangan antara ‘’apa yang seharusnya dikerjakan’’ dan ‘’yang senyatanya dilakukan’’ dalam perkara-perkara hukum. Dunia hukum, lanjut sang begawan, memiliki penyakit cacat bawaan yang memungkinkan terjadinya penyelewenangan di dalam dirinya sendiri.

Ada beberapa penyebab yang fokus utamanya bermuara pada dua hal. Pertama, birokratisasi hukum yang diakibatkan oleh institusionalisasi hukum sehingga dunia hukum membentuk dunianya sendiri. Menurut Chambliss, peneliti hukum, lembaga penegak hukum memiliki tujuannya sendiri secara kelembagaan yang mengikat setiap personel di dalamnya. Ketidakpatuhan personel terhadap tujuan itu, bisa berpengaruh terhadap eksistensi personel itu sendiri seperti karier dan jabatan. Jadi kepatuhannya, bukan didasarkan atas kepatuhan terhadap tujuan hukum. Kedua, cacat hukum itu dimulai sejak pembuatan hukum. Jadi, menurut Satjipto, gagal atau tidaknya sebuah hukum, dimulai sejak hukum itu sendiri dibuat. Karena itu, wajar kalau pakar-pakar hukum mencium aroma pelemahan peran aktif KPK dimulai dari lembaga legislatif, sebuah badan yang notabene membuat dan merumuskan undang-undang.

Dengan melihat semua sisi itu, untuk konteks perbaikan sistem dan tata penegakan hukum di Indonesia, maka langkah hukum yang diambil oleh pengacara Antasari berupa pengajuan eksaminasi ke Komisi Yudisial dan pengajuan banding, patut mendapatkan apresiasi secara ilmiah. Setidaknya ada tiga tujuan yang dapat diterima sebagai manfaat untuk penegakan hukum.

Pertama, menguji secara materiil dan administratif terhadap keputusan tersebut apakah sudah memenuhi kesesuaian fakta hukum secara utuh. Pengujian itu untuk membuktikan akurasi keputusan sesuai dengan kaidah dan norma-norma hukum yang berlaku khususnya objektivitas pembuktian.

Kedua, memisahkan lembaga peradilan dari intervensi politik dan segala kepentingan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan kebenaran di dalam hukum. Kejujuran dan kebenaran sebagai pintu yang bisa memberikan rasa adil bagi semua orang.

Ketiga, kepentingan yang lebih besar adalah memberikan kepercayaan publik terhadap integritas lembaga peradilan sebagai institusi yang bisa diharapkan memberikan keadilan itu sendiri bagi siapa saja yang meminta penyelesaian secara hukum. Dengan demikian, hukum benar-benar diletakkan sebagai fondasi yang bisa mengukuhkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi peradilan.(10)

— H Gunarto SH SE Akt MHum, Wakil Rektor II Unissula
Wacana Suara Merdeka 25 Februari 2010