24 Februari 2010

» Home » Kompas » Meneladani Nabi Muhammad

Meneladani Nabi Muhammad

Setiap tanggal 12 Rabiulawal, umat Islam di seantero dunia memperingati maulid (hari lahir) Nabi Muhammad SAW.
Nabi Muhammad diakui para pengikutnya, lawan-lawannya, dan para pengamat kehidupannya adalah manusia luar biasa. Manusia yang punya pengaruh sangat besar terhadap perjalanan hidup umat manusia dan peradabannya di dunia, baik ketika masih hidup maupun setelah meninggal, bahkan sampai kini.

 

Tidak heran, Michael H Hart, dalam buku The 100, a Ranking of the Most Influential Persons in History, menempatkan Nabi Muhammad pada urutan pertama di antara 100 tokoh besar yang dipilihnya, dengan alasan: ”Muhammad adalah satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa, baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi; Muhammad yang berasal-usul dari keluarga sederhana telah menegakkan dan menyebarkan salah satu dari agama terbesar di dunia, yakni Islam. Pada saat yang bersamaan, ia tampil sebagai pemimpin yang tangguh, tulen, dan efektif. Kini, 13 abad sesudah wafatnya, pengaruhnya masih tetap kuat, mendalam, dan berakar. Dari segi inilah saya menilai adanya kombinasi tak terbandingkan antara segi agama dan segi duniawi yang melekat pada pengaruh diri Muhammad sehingga saya menganggap Muhammad dalam arti pribadi adalah manusia paling berpengaruh dalam sejarah umat manusia.”
Sejarah memberi kesaksian, Muhammad figur yang menarik perhatian sejak usia muda. Di samping talenta kepemimpinan menonjol, ia sejak muda dikenal moralis sehingga ia lebih dikenal sebagai ”al-Amin” (orang yang jujur dan bertanggung jawab). Ia sudah terlibat gerakan moral ”HilfulFudlul” (sumpah keutamaan) yang membela keadilan dan kebenaran kepada siapa pun ketika masih sangat belia.
Ia juga tampil sebagai tokoh yang berkarakter demokratis dan suka perdamaian. Karakter itu jadi menarik ketika ia dipercaya kaumnya untuk meletakkan ”Hajar Aswad” di tempat semula saat Kabah baru selesai direnovasi. Kabilah-kabilah di Mekkah dan sekitar bersaing memperebutkan kehormatan sebagai pembawa Hajar Aswad sehingga nyaris menyulut perang saudara.
Dengan kearifannya, ia mengangkat Hajar Aswad di atas selembar kain segi empat, kemudian mengajak empat wakil suku yang berebut untuk bersama mengangkat hajar aswad dengan memegang ujung-ujung kain. Baru kemudian, setelah sampai di dekat Kabah, Muhammad mengangkat Hajar Aswad dan meletakkan di tempatnya. Mereka yang menyaksikan bersorak dan bertepuk tangan dengan rasa puas dan kagum.
Puncak karakter Muhammad sebagai pemimpin tangguh, yang visioner, efektif, adalah setelah memasuki Madinah dan hidup di tengah-tengah masyarakat baru yang mencintainya dan mendukungnya habis-habisan, kebalikan dari masyarakat Mekkah yang memusuhi dan membencinya setelah ia diangkat menjadi Nabi dan Rasul meskipun sebelumnya mereka juga sangat menghormati dan mengaguminya.
Reaksi berlebihan penduduk Mekkah terhadap Muhammad bukan sebatas karena dakwah Islam yang dibawanya mengubah paradigma teologis yang mereka anut, yakni teologi paganisme, jadi teologi monotheis (tauhid), tetapi perubahan yang dibawa juga menyentuh sistem sosial, yang menggusur paradigma feodalisme jadi egaliter dan demokratis.
Muhammad berhasil hijrah ke Madinah dan memperoleh sambutan luar biasa dari penduduk Madinah, termasuk komunitas non-Muslim dan kaum intelektualnya, seperti yang diceritakan Abdullah bin Salam, seorang intelektual Yahudi yang disegani.
”Ketika tersebar berita Muhammad akan datang di Madinah, penduduk kota setiap hari menunggu kehadirannya dan ramai-ramai menjemput di kawasan Quba. Saya dan teman-teman saya dari komunitas Yahudi juga ikut ke sana, saya ingin melihat sendiri wajah Muhammad yang menjadi buah bibir mereka dengan penuh kecintaan dan kekaguman. Setelah saya melihat sendiri wajah Muhammad, hati saya langsung jatuh simpati dan saya tidak bisa membohongi diri saya sendiri bahwa saya telah ikut mengagumi orang ini.” Hari itu juga ia menemui Muhammad dan menyatakan masuk Islam.
Momentum seperti ini, menurut Prof Muhammad al-Ghozali, dimanfaatkan dengan efektif oleh Muhammad dengan meluncurkan program-program strategis untuk mewujudkan tugas risalahnya, berupa: 1) membangun hubungan kuat antara umat dan Tuhan; 2) membangun hubungan harmonis antarsesama umat seiman, dan 3) membangun hubungan baik dan adil dengan umat lain. Perubahan dan pembaruan yang selalu diperjuangkan Nabi Muhammad adalah untuk mewujudkan masyarakat mukmin yang berbudaya sebagai masyarakat yang religious-etis, damai dan demokratis, sejahtera lahir batin, dan berkeadilan.
Perlu diteladani
Untuk mewujudkan tugas-tugas risalahnya dalam rangka membangun masyarakat yang diidealkan, Nabi Muhammad meletakkan dasar-dasar kebijakan yang secara konsisten dilaksanakan bersama-sama pengikutnya selama lebih kurang sepuluh tahun. Perubahan-perubahan yang dihasilkan pun sangat mengagumkan. Pokok-pokok kebijakan tersebut adalah: pertama, ”membangun masjid” sebagai pusat komunikasi spiritual antara manusia dan Tuhannya serta pusat interaksi antara sesama mukmin atas dasar kebersamaan dan saling menghormati. Suatu hari, Abu Darda’ berselisih dengan seorang sahabat berkulit hitam dan melecehkannya karena warna kulitnya, ia tersinggung dan melapor ke Muhammad. Abu Darda’ dipanggil Muhammad dan diperingatkan, ”Sikapmu itu merupakan sisa-sisa jahiliyah.” Diskriminasi dan arogansi sosial seperti ini telah dihapus oleh Nabi Muhammad.
Usamah bin Zaid (putra Zaid bin Haritsah), pemuda yang disayang Muhammad, suatu hari menghadap Muhammad di masjid, menyampaikan ada suku Arab terhormat meminta tolong agar salah seorang anggota suku yang melakukan tindak kriminal dapat dibebaskan dari tindakan hukum. Muhammad menjawab: ”Usamah, cara-cara begini ini yang menyebabkan orang-orang sebelum kita dulu menjadi rusak. Kalau ada orang dari rakyat rendahan melakukan pelanggaran selalu ditindak tegas, tetapi kalau yang melakukan pelanggaran itu dari golongan yang terhormat akan dibebaskan dari hukuman. Saya tak mau melakukan seperti itu, cara itu tidak adil.”
Kedua, mempersaudarakan antara sahabat Ansor dan sahabat Muhajirin yang mengalami kesulitan ekonomi karena asetnya banyak ditinggal di Mekkah atau dirampas orang kafir Quraisy. Kesetiakawanan dibangun atas dasar ”ukhuwah Islamiyah”. Kesetiakawanan dan semangat berbagi ini mendapatkan legitimasinya setelah diperintahkan oleh wahyu berupa hukum waris, perintah zakat, wakaf, sedekah dan lain-lain. Ketiga, beberapa saat setelah berada di Madinah, Muhammad menggagas perlunya mempersatukan penduduk Madinah dan sekitarnya, yang terdiri atas beberapa suku dan pemeluk agama, agar bahu-membahu menjaga keamanan kota Madinah dan sekitarnya dari gangguan dan ancaman. Juga kesepakatan menjaga kebebasan beragama dan menjalankan ibadah. Kesepakatan tertuang dalam ”Piagam Madinah” sebagai kontrak sosial-politik yang dilahirkan secara demokratis dan terdokumentasi. Piagam ini dinilai para pakar sebagai cikal bakal berdirinya ”Negara Islam Madinah” dengan penduduk/masyarakat pluralis.
KH Tholhah Hasan Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Opini Kompas 25 Februari 2010