22 Februari 2010

» Home » Republika » Ujian Nasional Standar

Ujian Nasional Standar

Ujian Nasional (UN) adalah bagian dari salah satu metode evaluasi dalam proses belajar mengajar. Juga, menjadi salah satu alat ukur penilaian berbentuk tes atau ujian tulis, agar diketahui rumusan tujuan pendidikan yang diterjemahkan ke dalam kurikulum tercapai atau tidak, dan untuk mengetahui bagaimana siswa mencapainya. Mengetes, menulis, memberi angka, membuat laporan adalah alat-alat evaluasi yang harus digunakan untuk menghasilkan capaian belajar lebih baik (lihat J Mursell dan Prof Dr S Nasution MA, Mengajar dengan Sukses , Bumi Aksara, 1995).


Ibarat sebuah pabrik, ujian adalah alat ukur mutu produk ( standard of quality assurance ) maka harus berlaku umum. Seperti pabrik sepatu yang menetapkan ukuran nomor 40, tidak mungkin hanya untuk daerah Jawa, tetapi berlaku juga di daerah lain. Jadi, ujian merupakan  quality control management yang berlaku umum, ukuran, dan kriterianya harus sama bagi semua pihak.

Dan, bertujuan mendeskripsikan kecakapan belajar agar diketahui kelebihan atau kekurangan dalam berbagai bidang studi yang telah ditempuh. Kemudian, menjadi umpan balik untuk kepentingan perbaikan proses belajar mengajar. Dalam konteks ini, 'ujian' tidak hanya berfungsi menentukan angka standar kelulusan, tetapi juga mengukur mutu pendidikan secara merata. Karena itu, berfungsi ganda sebagai penilaian sumatif sekaligus diagnostik. Dari sisi tes sumatif, ujian dapat menjadi kriteria pengukuran produk hasil belajar, pengukuran ini berorientasi kepada produk akhir, bukan proses, yakni melihat hasil akhir sejauh mana siswa telah menguasai materi pembelajaran ( subject matter ) untuk merekam laporan kecakapan ( record progress ).

Mengutip pendapat tokoh psikologi pendidikan Carl Rogers bahwa seseorang yang telah menguasai tingkat kognitif, perilakunya sudah dapat diramalkan ke dalam ranah afektif dan ranah psikomotorik. Sedangkan sebagai fungsi penilaian, diagnostik didesain untuk menemukan jenis kesulitan dan mencari kelemahan-kelemahan dalam proses pembelajaran. Ujian yang terjadi saat ini memang lebih dominan tipe hasil belajar kognitif, dibanding dengan tipe hasil belajar afektif dan psikomotorik, namun bukan berarti kedua bidang tersebut diabaikan.

Kegagalan siswa dalam mencapai hasil belajar harus dilihat lebih komprehensif dari segi program pengajaran, kemungkinan kesalahan strategi pelaksanaan program, serta terbatasnya fasilitas yang dimiliki, atau kualitas tenaga pendidik yang rendah. Dari segi proses evaluasi, ujian merupakan akuntabilitas pihak sekolah kepada pihak-pihak yang terkait, seperti pemerintah, masyarakat, dan para orang tua siswa. Dengan cara tersebut, sekolah, guru, orang tua murid, dan komite sekolah dapat secara bersama menyusun strategi tindak lanjut bagi perbaikan, penyempurnaan program pendidikan, dan pengajaran.

Mendiknas, M Nuh, menegaskan bahwa Kementerian Pendidikan Nasional telah menetapkan empat syarat kelulusan siswa dari satuan pendidikan. Keempat syarat tersebut adalah menyelesaikan seluruh program pembelajaran, memperoleh nilai baik untuk kelompok mata pelajaran akhlak mulia, lulus ujian sekolah, dan lulus ujian nasional.

Dalam konteks ini, hasil ujian menjadi cermin prestasi tidak hanya bagi siswa, tetapi juga guru dan seluruh komponen yang terlibat dalam satuan pendidikan. Dengan demikian, sesungguhnya tidak benar bahwa ujian nasional menjadi satu-satunya standar penilaian kelulusan.

Akar persoalan
UN juga memunculkan gengsi sekolah karena tingginya persentase kelulusan siswa, pamor sekolah akan naik. Hal ini memunculkan persoalan baru, pihak sekolah berusaha menggenjot siswanya dengan segala cara agar persentase kelulusannya tinggi. Persoalan melebar ke bocoran ujian atau joki, sampai guru dan kepala sekolah pun ikut mengerjakan soal demi gengsi sekolah agar persentase lulusan tinggi. Bahkan, ada seorang bupati yang mematok sekolah di wilayahnya harus lulus 100 persen, karena termasuk menjadi prestasi daerah.

Inilah akar persoalan yang merusak dan harus dipecahkan. Gejala sekarang guru mengajar dan siswa belajar bukan lagi sesuai tujuan pendidikan, tetapi menyimpang menjadi bagaimana mencapai lulus ujian. Terjadilah kolusi antarberbagai pihak; siswa, orang tua, guru, dan kepala sekolah melakukan perbuatan yang disadari atau tidak, menjadi penyebab rusaknya mutu pendidikan. Pernyataan Menteri Pendidikan Nasional, Prof Muh Nuh, bahwa jangan sampai hanya karena permasalahan satu pohon, kemudian seluruh hutan menanggung akibatnya. Karena itu, UN akan tetap jalan terus meski saat ini tengah menghadapi pro dan kontra, sebelum ada metode lain yang lebih tepat untuk mengukur standar minimal penguasaan bidang ilmu. Ucapan beliau perlu dicerna dan direnungkan dengan hati yang bersih oleh seluruh masyarakat yang sadar akan peningkatan kualitas pendidikan.

Masalah ujian telah mengalami beberapa kali model. Pada awal kemerdekaan sampai tahun 70-an, menggunakan konsep ujian negara. Kemudian, berubah menjadi Ujian Akhir Sekolah (UAS) untuk SD dan Ujian Akhir Nasional (UAN) untuk SMP, SMA, SMK, dan yang sederajat. Kemudian, tahun 1990 ujian negara diganti dengan evaluasi belajar tahap akhir nasional (Ebtanas). Dalam metode ini, semua peserta ujian diluluskan, tidak ada yang tidak lulus.

Metode ini mendapat kritik karena berdampak menurunnya kualitas SDM kita yang berakibat lemahnya daya saing. Ibarat lomba loncat tinggi, bukan pesertanya yang dipacu untuk dapat melampaui mestarnya, melainkan sebaliknya mestarnya yang diturunkan agar semua dapat melampauinya.

Kualitas pendidikan bukanlah semata terletak pada bagaimana dapat lulus ujian, melainkan bagaimana hasil tersebut berdaya saing tinggi, berkeunggulan kompetisi ( competitive adventage ) tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga pengakuan di dunia luar. Merujuk sistem ujian akhir di Malaysia, hasilnya berlaku untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, sedangkan di Indonesia tidak. Perguruan tinggi secara sepihak memiliki cara seleksi tersendiri untuk menyaring calon-calon mahasiswa, menyatakan bahwa UAN dan UMB berbeda secara substansial. Oleh karena itu, UMB tidak dapat menggunakan hasil UAN. Kondisi ini menggambarkan betapa borosnya biaya yang harus disediakan oleh orang tua siswa untuk mengikuti proses ujian dan proses penyaringan masuk perguruan tinggi, institut, atau sekolah tinggi.

Sebagai pengkhidmat pendidikan, penulis mengimbau kepada pemerintah ataupun kepada DPR, untuk tidak memperpanjang perdebatan masalah UN. Esensi persoalannya, yaitu bagaimana upaya secara terus-menerus meningkatkan kualitas pendidikan untuk mewujudkan kualitas bangsa yang memiliki daya saing tinggi, maju mandiri, serta berperadaban tinggi? 

Opini Republika 23 Februari 2010