22 Februari 2010

» Home » Suara Merdeka » Award Seniman Campursari Jateng

Award Seniman Campursari Jateng

DEWASA ini penyelenggara radio swasta di Jateng gencar menyajikan program acara musik campursari. Ini genre musik yang secara localized memiliki pangsa pasar tersendiri.

Tiap hari, bahkan tiap jam seolah tanpa jeda selalu saja ada radio memutar lagu-lagu campursari. Bahkan masing-masing acara secara blocking time sudah dikuasai produk-produk tertentu sebagai sponsor.


Ini artinya, jenis musik tradisional modern ini telah memiliki banyak pendengar dan dianggap oleh produsen mampu mengumpulkan khalayak sebagai target promosi produk mereka. Fakta itu menjadikan para seniman campursari di provinsi ini semakin bergairah mencipta lagu dengan banyak ragam ciptaan. 

Kekuatan lokal dan kedaerahan sering menginspirasi mereka, misalnya dengan menjadikan sebuah tempat atau kawasan di suatu kota (khususnya di Jawa Tengah) menjadi setting cerita dari sebuah lagu. Ini fenomena menarik, karena di sisi lain bisa dianggap sebagai promosi suatu daerah di kabupaten/kota.

Sejak komponis keroncong Gesang menciptakan ’’Bengawan Solo’’, ’’Jembatan Merah’’ atau ’’Tirtonadi’’, lantas menyusul nama Anjar Any dengan ’’Yen ing Tawang Ana Lintang’’ belum ada lagi seniman yang memunculan karya masterpiece. 

Baru pada akhir 1990-an, muncul nama Didi Kempot yang memulainya kembali dengan karya fenomenal seperti ’’Stasiun Balapan’’ , ’’Sewu Kuta’’, atau ’’Terminal Tirtonadi’’ semuanya ber-setting kota Solo.  Bahkan Didi Kempot menjadi trendsetter bagi munculnya pencipta lain di kemudian hari.

Maka belakangan ini banyak pencipta pendatang baru membuat lagu ber-setting kota seperti ’’Susu Boyolali’’ (Mr Sejedewe) yang mengangkat kota Boyolali sebagai produsen susu sapi.

Atau suasana Bandungan Kabupaten Semarang dengan ’’Klengkeng Bandungan’’ (Didi Kempot), di Wonogiri ada ’’Thiwul Wonogiri’’ (Mulyadi), di Wonosobo ada ’’Gunung Dieng’’ (Didi Kempot), suasana pelabuhan Semarang dalam ’’Tanjung Emas Ninggal Janji’’, itu semua sebagai bukti kalau dunia campursari makin bergairah.

Meski kondisi ini ditepis oleh Hadi Pranoto, salah seorang pelaku industri rekaman tradisional yang mengatakan, iklim rekaman campursari masih belum kembali baik seperti awal 200. Hal itu jika dilihat dari menurunnya angka produksi, ’’Kini setahun kami hanya berproduksi 4 atau 5 album, dulu bisa sampai 15 album,’’  kata Hadi. Sebabnya, tentu karena pembajakan.

Sebetulnya makin maraknya musik campursari di radio ini sebagai up date dari musik tradisional karawitan yang dewasa ini kurang mendapat tempat di industri keradioan (swasta) yang lebih mengandalkan musik pop modern untuk meraih pasar pendengar.

Isilah campursari sendiri berawal dari tradisi karawitan yang dimainkan di RRI sekitar tahun 1970-an, yang saat itu mengolaborasikan antara alat-karawitan dan alat musik modern untuk musik keroncong.
Sudah Bergeser Dewasa ini terminologi campursari pun sudah bergeser dengan terjadinya fusi antara keroncong, dangdut, dan karawitan itu sendiri sebagai fundamennya. Pola slendro yang pentatonik masih dominan misalnya dengan aksen gendangnya yang sigrak. Dalam campursari modern, syairnya berbahasa Jawa keseharian atau ngoko dengan penyampaian kocak, membanyol, tapi bisa pula sentimental, romantis, dan menyayat hati.

Lantas sejauhmana respons pemerintah kabupaten/kota ketika daerahnya sudah dipromosikan secara massal lewat media seni campursari,  bahkan dengan gratis pula? Apa pula penghargaan pemerintah, setidaknya secarik piagam, berlogo lambang pemerintahan setempat?

Pertanyaan-pertanyaan itu nampaknya tak pernah terlintas di benak seniman musik. Ini berarti mereka berkarya tanpa pamrih, kecuali penghargaan dari royalti dari dari hasil penyiaran (tidak semua seniman mengurus ke Yayasan Karya Cipta Indonesia). Yang pasti, selama ini para seniman itu hanya menerima imbalan saat terjadi akad rekaman (MoU) dengan produser, tak lebih dari itu. 

Lalu penghargaan yang bagaimana yang pantas diberikan untuk para seniman? Penghargaan memang tidak harus bersifat materi, tapi misalnya bisa berupa tribute, yakni berbentuk pertunjukan dari para seniman campursari di dalam sebuah pementasan bersama. Siapa pemrakarsanya? Tentu saja pemerintah tingkat provinsi yang paling berwenang.

Tapi idealnya memang atas prakarsa pemkab/kota itu sendiri. Caranya, semua acara dipandegani oleh para bupati/wali kota yang selama ini dikenal concern pada musik tradisional seperti Bupati Wonogiri H Begug Purnomosidi atau Hj Rina Iriani Sri Ratnaningsih (Bupati Karanganyar).

Bentuk acara itu berupa festival campursari (bukan dilombakan tetapi tampil secara parade). Agar momentumnya tepat misalnya dibarengi dengan penggalangan dana bagi para veteran seniman campursari. (10)

— Bambang Isti, pemerhati dunia musik, tinggal di Semarang
Wacana Suara Merdeka 23 Februari 2010