22 Februari 2010

» Home » Kompas » Golkar, "Cancut Taliwondo"?

Golkar, "Cancut Taliwondo"?

Mengerasnya sikap Partai Golkar dalam pengusutan kasus Bank Century belakangan ini memunculkan pertanyaan serius, apakah partai politik pimpinan Aburizal Bakrie ini telah ber-cancut taliwondo, bertekad bulat untuk menghadapi risiko politik dalam berkoalisi dengan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono? Pertanyaan itu penting mengingat hal ini menyangkut masa depan koalisi.
 

Aburizal telah tegas mengatakan bahwa Partai Golkar konsisten mengusut kasus Bank Century, tak akan mundur dan mengubah sikap meski ada ancaman. Sebagaimana diberitakan, belakangan ini Presiden Yudhoyono mewacanakan penegakan hukum terhadap kejahatan pajak serta adanya praktik tidak sehat atau kolusif antara bisnis dan politik yang kian menjadi opini publik.
Hal tersebut segera ditafsirkan mengarah kepada Aburizal dan Golkar. Dalam isu pajak, Aburizal meresponsnya dengan mengatakan, ”Jangankan ancaman pajak, diancam tembak mati pun Golkar tidak gentar (Kompas, 11/2/2010).”
Pernyataan berbalas pernyataan antara Yudhoyono dan Aburizal tampaknya telah menjadi bagian dari suatu psywar yang dikhawatirkan bisa berpola zero sum game. Reaksi Aburizal yang keras seolah merupakan konfirmasi bahwa Golkar telah ber-cancut taliwondo dalam menghadapi risiko dikeluarkannya Golkar dari kabinet dan koalisi. Dalam psywar ini, faktor reputasi Aburizal sebagai politisi berlatar belakang pengusaha, serta institusi Golkar, turut menjadi taruhan.
Defisit momentum
Asumsi utama pemerintahan Yudhoyono jilid II memperoleh dukungan politik Golkar, koalisi akan lebih kuat. Meskipun sistem politik yang ada bukan perlementer, tetapi dinamika politik DPR sangat menentukan. Karenanya, kekuatan koalisi diharapkan selalu kompak menopang pemerintah. Namun, asumsi itu tidak sepenuhnya tepat mengingat pola dan motivasi berkoalisi bukan bersifat sangat ”ideologis”, tetapi cenderung lebih pada ”kalkulasi politik yang pragmatis”.
Kesepakatan tertulis antara Yudhoyono dan partai-partai koalisi mengatur hal-hal yang bersifat normatif dan garis besar. Tidak dinyatakan di dalamnya suatu reward and punishment yang terperinci. Akibatnya, tafsiran partai-partai bisa berbeda dengan apa yang dikehendaki Yudhoyono. Masih ada celah manuver yang dapat dimainkan partai-partai koalisi untuk bersikap berbeda dengan Yudhoyono. Sayangnya, upaya Yudhoyono menyinggung konteks etika politik partai-partai koalisi saja tidak segera membuat mereka bersikap akomodatif.
Di sisi lain, sikap ”dua kaki” partai-partai koalisi merupakan fenomena yang disebabkan juga oleh kenyataan kebutuhan untuk populer dan ”kepentingan jangka panjang”. Karenanya, mereka memainkan jurus kritis di dalam menampakkan wajahnya ”di pemerintahan” (party in the government). Ini penting mengingat partai berkesempatan menjadi magnet simpati publik, suatu kampanye efektif, selain mengurus organisasi (party in the office) dan pengakaran partai (party rooting, party in the grass root). Partai-partai koalisi tak ingin ”defisit momentum”.
Masa depan koalisi
Betulkah diplomasi politik telah gagal? Suasananya politik demikian menghangat saat ini, tetapi belum sepenuhnya dikatakan gagal. Komunikasi politik masih bisa diperbaiki selama masih ada kesempatan. Dalam konteks ini, gaya berpolitik masing-masing tokoh sangatlah berpengaruh. Gaya politik Aburizal tentu berbeda dengan pendahulunya, Jusuf Kalla. Demikian pula dengan yang lain. Salah paham dalam berkomunikasi tentu bisa jadi bumerang.
Masa depan koalisi tidak semata-mata ditentukan oleh cakupan dan besar struktur insentif kekuasaan (sharing power) semata, tetapi juga sangat terkait dengan konteks ”harga diri” partai. Ukuran ”harga diri” itu abstrak, lebih irasional. Dalam konteks politik ”siapa dapat apa”, tentu juga tidak semata-mata diukur semata-mata jangka pendek. Partai politik adalah urusan jangka panjang.
Dalam konteks inilah sikap cancut taliwondo Golkar tidak dapat disikapi secara reaksioner pula oleh induk koalisi sehingga membuat suasana ”perang potensial” menjadi ”perang aktual”. Yudhoyono masih butuh dukungan Golkar selama belum ada penggantinya. Peluang untuk merangkul Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan, misalnya, tampak masih sangat absurd oleh kerasnya sikap Megawati Soekarnoputri.
Masa depan koalisi akan ditentukan dari sikap-sikap politik Golkar dan partai-partai koalisi lain yang belakangan juga berupaya menunjukkan sikap kritis. Golkar dan, terutama Partai Keadilan Sejahtera, akan menjadi faktor politik yang penting yang menentukan masa depan koalisi. Namun, barangkali ada pertimbangan lain dari Yudhoyono agar tidak terjadi jalan buntu politik.
M ALFAN ALFIANDosen di Universitas Nasional, Jakarta
Opini Kompas 23 Februari 2010