19 Februari 2010

» Home » Solo Pos » Sala jadi Solo, hikmah salah kaprah

Sala jadi Solo, hikmah salah kaprah

Wacana mengubah nama Pemerintah Kota Surakarta menjadi Pemerintah Kota Solo sebenarnya sudah pernah mengemuka. Sebelum akhir-akhir ini kembali mencuat, usulan perubahan nama itu terakhir terjadi pada 1998 ketika DPRD Kotamadya Surakarta membentuk Panitia Khusus Hari Jadi Kota Solo.

Kala itu, sempat terjadi pro kontra di antara sejumlah fraksi di Dewan termasuk pihak eksekutif terkait usulan perubahan nama secara administratif Pemda Dati II Surakarta menjadi Pemda Dati II Solo. Namun karena waktu itu Pansus hanya menetapkan Hari Jadi Kota Solo, maka akhirnya semua pihak tidak sepakat dengan perubahan nama tersebut.



”Tidak perlu ada perubahan. Perda yang ditetapkan nanti kan tidak menyinggung soal pemerintahan atau administrasi Pemda, hanya soal hari lahir saja. Jadi dua-duanya (Solo dan Surakarta) dipakai saja,” kata Ketua Fraksi ABRI kala itu, Soeprapto (SOLOPOS, 13/2/1998).

Namun usulan perubahan nama Surakarta menjadi Solo kali ini sungguh sangat berbeda dan menarik, sehingga patut mendapat perhatian. Sebab, para pengusul perubahan nama itu adalah para pensiunan Pegawai Pemerintah Kota Surakarta yang kala itu umumnya menolak jika secara administratif nama Surakarta diganti menjadi Solo.

Ketua Paguyuban Pensiunan Pegawai Pemkot Solo Syamsudiat dalam sebuah jumpa pers awal pekan ini menerangkan, perubahan nama Kota Surakarta menjadi Kota Solo atau Sala sudah saatnya dilakukan. Hal tersebut, kata mantan Sekretaris Wilayah Daerah Pemda Dati II Surakarta tahun 1980-an ini didasarkan pada kenyataan bahwa lebih banyak masyarakat yang akrab dengan kata Solo atau Sala ketimbang Surakarta.

Produk-produk branding untuk Pemkot Surakarta sekarang ini juga lebih sering menggunakan Kota Solo, ”Sebut saja Solo Batik Carnival, slogan Pemkot Solo Berseri Tanpa Korupsi dan Solo Kreatif, Solo Sejahtera. Artinya, masyarakat memang lebih akrab dengan Solo atau Sala. Selain itu kami juga memandang kata Solo atau Sala itu lebih kharismatik,” papar Syamsudiat yang juga mantan Walikota Pekalongan ini.

Hal lain yang dianggap wajar mengenai penggantian nama itu adalah semakin banyak orang-–khususnya warga masyarakat di luar wilayah ini—yang bingung dengan konsep dua nama dan tidak konsistennya Pemerintah Kota Surakarta sendiri dalam penggunaan nama tersebut dalam berbagai kesempatan seperti dicontohkan Syamsudiat tadi.

Dengan alasan-alasan tersebut, serta keseriusan para pengusul yang mereka sebut dalam dua bulan ini telah menggodok konsep usulan penggantian nama dari aspek historis, yuridis dan nilai lebih, rasanya gagasan itu perlu segera direspons pihak-pihak terkait agar bisa segera direalisasikan.

Sala menjadi Solo

Persoalan yang kini menjadi perdebatan hangat adalah lebih pas dengan kata ”Sala” atau ”Solo” untuk menggantikan nama Surakarta. Di sisi lain, mereka yang menolak perubahan nama itu juga khawatir nanti nama Surakarta akhirnya akan hilang.

Masalah penyebutan istilah bagi Kota Bengawan, memang tidak lepas dari perjalanan sejarah kota ini. Setelah Keraton Kartasura dipindah ke Desa Sala, maka nama Keraton berubah menjadi Keraton Surakarta Hadiningrat dengan daerah kekuasaan yang sangat luas hingga Pacitan, Kedu, Purwodadi. Artinya, nama Surakarta tidak akan pernah hilang sepanjang Keraton Surakarta Hadiningrat masih berdiri tegak.

Setelah kemerdekaan, nama Surakarta kemudian digunakan untuk menyebut wilayah Karesidenan Surakarta yang membawahi Kabupaten, Klaten, Karanganyar, Sragen, Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri dan Swapraja Kota Sala. Ketika Karesidenan dihapuskan, nama wilayah itu diganti dengan Pembantu Gubernur eks-Karesidenan Surakarta. Sedang nama Kotamadya Surakarta dipakai untuk menggantikan Swapraja Kota Sala.

Masalah kata ”Sala” dan ”Solo” sendiri sejatinya adalah sama. Hal itu menjadi perdebatan yang seolah tiada habisnya karena terkait dengan ”bunyi” yang dihasilkan kedua kata itu di mana dalam tulisan aksara Jawa huruf ”a” menghasilkan bunyi ”o” tidak sempurna. Seperti ”o” dalam kata ”cemooh, bodoh, Solok” bukan seperti dalam kata ”soto, bakso, loko”.

Hal itu berarti pula, dalam bahasa Jawa kata yang bunyinya ”o” tidak sempurna, ketika ditulis dalam huruf latin harus menggunakan huruf ”a” bukan ”o”. Sehingga ”a” dalam kata Sala dibaca seperti ”cemooh atau Solok”. Maka Kota Sala ditulis dengan huruf ”a” bukan ”o”.

Celakanya, hal itu tidak diterapkan secara konsisten dalam penulisan berbagai kata, termasuk nama-nama orang seperti, ”Diponegoro, Joko Widodo, Mulyanto Utomo”. Jika konsisten, mestinya tulisannya adalah ”Dipanegara, Jaka Widada dan Mulyanta Utama”. Kalau pun ada yang nekat konsisten, seperti nama ”Riyanta” misalnya, orang ini pasti akan dipanggil Riyanta dengan ”a” sesuai bunyi aslinya.

Hal itulah yang mungkin menjadikan kerancuan antara huruf ”a” dan ”o” dalam menerapkan tulisan Jawa ke dalam tulisan alfabet latin. Kata ”mangga, ngarsapura, kula” dan sebagainya banyak yang menuliskannya dengan huruf ”o”, ”monggo, Ngarsopuro, kulo” termasuk Kota Sala menjadi Kota Solo ini. Padahal dalam bahasa Indonesia, huruf ”a” maupun ”o” yang berada di suku kata terakhir selalu dibaca sesua aslinya.

Seorang wartawan senior, Ahmad DS, 12 tahun lalu ketika saya tanya perihal ”Sala” dan ”Solo” ini menyebut hal itu terjadi akibat salah kaprah. Menurut dia, tak hanya masyarakat di negeri ini bahkan dunia internasional pun menggunakan Solo bukan Sala. Hal itu terjadi, kata dia, selain faktor peninggalan kolonial Belanda dan juga Jepang, secara psikologis masyarakat lebih memiliki kebanggan bila mengaku sebagai ”Wong Solo” ketimbang ”Wong Sala”.

Dengan demikian, kata ”Solo” sesungguhnya penyebutan yang salah kaprah namun kini justru telah membawa berkah. Nama kota ini dengan memakai huruf ”o”, Solo, setidaknya sudah sangat dikenal di seluruh Indonesia bahkan dunia. Lihat saja kode penerbangan untuk Kota Solo adalah SOC (Solo City), para kondektur jurusan Semarang – Solo, ketika menawarkan jasa busnya akan berteriak ”Solo... Solo...” bukan ”Surakarta... Surakarta” atau ”Sala... Sala” lagu legendaris Bengawan Solo ciptaan Gesang pun lebih enak didengar dengan suara ”o” sempurna ketimbang ”Bengawan Sala....”. - Oleh : Mulyanto Utomo Wartawan SOLOPOS

Opini Solo Pos 20 Februari 2010