19 Februari 2010

» Home » » Jabar Menuju Pusat Industri Tilapia

Jabar Menuju Pusat Industri Tilapia


Oleh MUHAMAD HUSEN
Untuk mewujudkan visi menjadikan Indonesia penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar 2015, pemerintah memprioritaskan budi daya ikan sebagai andalan dengan kenaikan produksi mencapai 353 persen sampai 2014. Pemerintah juga menetapkan ikan nila sebagai salah satu unggulannya. Selain diyakini mampu mendongkrak peningkatan produksi, ikan yang dalam dunia perdagangan disebut tilapia ini juga sudah menjadi primadona di berbagai belahan dunia.

Sebagai ikan air tawar, tercatat tak kurang dari 85 negara telah membudidayakannya. Di negara kita, begitu pertama kali didatangkan pada 1969 dari Taiwan, ikan tersebut langsung merebut hati para pembudidaya. Selain pertumbuhannya yang relatif cepat, aspek biologisnya juga masih berkerabat dekat dengan ikan mujair sehingga teknologi budi dayanya tidak terlalu jauh berbeda. Keterkenalannya terus melejit sebagai ikan kedua terpenting setelah kelompok carp (rumpun ikan mas). Varietasnya pun semakin beragam akibat keberhasilan pemuliaan.
Tingginya permintaan tilapia di pasar dunia mendorong peningkatan produksi yang spektakuler. Konferensi Perdagangan Tilapia Dunia yang diselenggarakan satu setengah tahun lalu di Kuala Lumpur yang dihadiri 380 perwakilan industri akuakultur dari 38 negara, telah memperkirakan bahwa dalam waktu lima tahun ke depan produksinya akan mampu mencapai empat juta ton, melampaui produksi ikan salmon. Dan AS menjadi incaran para eksportir di pasar global. Alasan tersebut didukung fakta, di Negeri Paman Sam, ikan nila telah menjadi salah satu dari lima produk perikanan utama yang banyak dikonsumsi.
Di Jawa Barat, ikan nila memiliki banyak peminat, terutama untuk memenuhi pasar dalam negeri termasuk adanya permintaan ekspor. Namun, tingginya kebutuhan pasar terkadang tidak selamanya terpenuhi. Persoalannya, sebagian pelaku usaha masih belum menyadari pentingnya berbagai tuntutan konsumen. Hal ini termasuk masih lemahnya menerapkan kaidah-kaidah budi daya secara industri.
Negara kita merupakan produsen ketiga terbesar ikan nila setelah Cina dan Mesir, tetapi ini pun lagi-lagi dengan selisih jumlah yang sangat besar. Ada pun sumbernya berasal dari provinsi Sumbar, Sumut, Jambi, Sumsel, Lampung, Jabar, Jateng, Jatim, Kalteng, Kalsel, dan Sulut. Outlet pemasaran domestik cukup berkembang, mulai dari pasar tradisional hingga ke pasar-pasar swalayan serta pengecer keliling, dan pasokan berasal dari pembudidaya skala kecil.
Peta produksi ikan nila nasional menunjukkan kenaikan sekitar 19,91 persen per tahun, dari 46.627 ton pada tahun 2000 menjadi 97.116 ton pada 2004. Bahkan untuk menggenjot visi kelautan dan perikanan, pada 2010 diproyeksikan produksinya mencapai 491.800 ton dengan kenaikan rata-rata 27 persen per tahun sampai 2014.
Asia merupakan produsen dan konsumen ikan nila terbesar, serta pasokannya berasal dari pasar domestik. Hingga 2003, Taiwan adalah pemasok utama di pasar dunia. Namun, setahun berikutnya digeser Cina dan Thailand. Data FAO menyebutkan bahwa total impor AS pada 2007 mencapai 173,76 ribu ton, terdiri atas produk filet beku 51,3 persen, utuh beku 30,4 persen, dan fillet segar 18,3 persen, atau setara ikan nila segar 346 ribu ton. Cina mendominasi hampir 90 persen impor ikan nila beku ke AS. Indonesia di tempat kedua, tetapi dengan perbedaan yang sangat jauh dan ini pun hanya diekspor satu perusahaan. Untuk pasar Uni Eropa, pemasok utamanya juga Cina, berikutnya Vietnam dan Taiwan. Pemasok lainnya, yakni Indonesia, Thailand, Malaysia, Costa Rica, Jamaika, Zimbabwe, dan Uganda. Ekspor Cina terus melejit karena mampu menawarkan produk dengan kualitas dan harga yang ditawarkan sangat berbeda.
Sebagai salah satu sentra budi daya air tawar cukup ternama, Jabar sebenarnya memiliki peluang besar untuk mengembangkan ikan nila secara intensif ataupun menjadi pusat industri tilapia di tanah air. Statistik perikanan Jawa Barat mengungkapkan, sejak Pelita III, telah menempatkan ikan nila sebagai komoditi penting. Pada Pelita IV (1983-1988), ikan nila menduduki urutan kelima di antara sepuluh jenis ikan yang dibudidayakan dengan kontribusi 9,90 persen dari keseluruhan produksi ikan tawar (asal kolam) sebesar 338.058,72 ton. Pada 2005, posisinya meningkat ke posisi kedua menjadi 22,6 persen dari total produksi 110.426,57 ton. Dan sejak 2006, ikan nila menyodok ke urutan pertama dengan kontribusi 23,6 persen dari produksi ikan air tawar (116.065,69 ton), menggeser ikan mas yang selama ini selalu menjadi primadona kolam-kolam di Jawa Barat.
Namun, provinsi ini seakan kalah langkah oleh Jateng. Gubernur Jateng Bibit Waluyo mengikrarkan "desa nila" untuk desa Jimus, Ponggok, dan Nganjat di Kecamatan Polanharjo, Klaten karena makmur berkat nila. Dalam hal ekspor langsung, Jabar belum berperan banyak. Sebagian besar produknya dipasarkan lokal di wilayah sendiri, serta dipasok ke Jakarta untuk jalur pasar tradisional ataupun ke industri pengolah ikan sekaligus eksportir di Jawa Timur. Terbatasnya unit pengolahan ikan merupakan salah satu kendala. Perilaku konsumen luar tidak cukup mengandalkan segi kelezatannya, tetapi juga faktor keamanan produk, harga, dan juga kepedulian terhadap isu lingkungan. Ada pula yang menghendaki ikan nila organik dengan ketentuan, berproduksi tidak menggunakan hormon, tidak menggunakan antibiotik dan bahan kimia, serta tidak menimbulkan dampak lingkungan.
Singkat kata, sebagai prasyarat menuju Jabar sebagai pusat industri tilapia, rasanya dipandang perlu memiliki grand design terlebih dahulu melalui dukungan manajemen kawasan. Termasuk di dalamnya penguatan kelembagaan untuk pengelolaan produksi, pengadaan sarana produksi perikanan (saprokan) yang berkualitas, penjadwalan waktu tebar dan market intelligence yang andal, serta cara berbudi daya ikan yang baik sekaligus menerapkan butir-butir code of conduct for responsible fisheries anjuran FAO.***
Penulis, pengurus Masyarakat Perikanan Nusantara/pengurus DPP HNSI.

Opini Pikiran Rakyat 20 Februari 2010