19 Februari 2010

» Home » Suara Merdeka » Bunuh Diri Budaya di Salatiga

Bunuh Diri Budaya di Salatiga

’’OLD historic buildings have outstanding values......as an exceptional testimony to nation’s history, cultural tradition, and civilization’’ (UNESCO, 2005)

Pembongkaran gedung eks Markas Kodim (Makodim) 0714 Salatiga merupakan suatu tragedi yang patut disesalkan. JO Simmonds dalam buku fenomenalnya Earthscape (1978) melukiskan penghancuran alam oleh manusia dengan sebutan ecological suicide atau bunuh diri ekologis. Dengan analogi itu kita bisa menyebut kisah tragis dirobohkannya gedung-gedung kuno bersejarah warisan budaya itu dengan istilah cultural suicide atau bunuh diri budaya.


Kenapa disebut bunuh diri? Karena yang ’’membunuh’’ bangunan-bangunan peninggalan masa silam itu justru malah para pemiliknya. Dan yang memberi izin adalah para pejabat pemerintah (pusat atau daerah) yang seharusnya menjaga dan memelihara pusaka budaya yang autentik itu.

Mereka tidak menyadari bahwa pusaka budaya yang unik itu, seperti yang dinyatakan UNESCO dalam kutipan di atas, memiliki nilai yang istimewa. Terutama sekali sebagai testimoni yang terandalkan terhadap sejarah, tradisi budaya, dan peradaban suatu bangsa.

Nenek moyang kita sendiri dengan sangat arifnya menitip pesan, ’’Yen wis kliwat separo abad, jwa kongsi binabat’’. Artinya, bangunan tua yang sudah berusia lebih dari separo abad, atau 50 tahun, jangan sampai dihancurkan begitu saja. Apalagi yang memiliki nilai sejarah, budaya dan estetika.

Harap disadari bahwa kota pada hakikatnya berfungsi sebagai panggung kenangan kolektif bagi seluruh warganya. Kota yang baik adalah kota yang bisa menyuguhkan sejarah dari kotanya, dari waktu ke waktu, secara fisik dan visual.
Sejarah tidak boleh diingat dan dipahami sekadar dengan menghafal tahun-tahun peperangan dan perjuangan para pahlawan semata-mata. Anak-anak dan cucu-cucu kita akan lebih tersentuh dan menghayati kisah heroik nenek-moyangnya melalui warisan atau pusaka budaya yang kasat mata.
Berarti mereka yang menghancurkan bangunan-bangunan kuno bersejarah adalah orang-orang yang memutus rantai sejarah. Generasi mendatang juga amat sangat dirugikan, karena tidak diberi kesempatan untuk menikmati bukti-bukti atau testimoni kesejarahan melalui pancaindera mereka.

Tidak usah heran bila seorang arsitek Inggris yang tersohor bernama Eugene Ruskin pernah menyatakan, ’’Bukanlah dosa yang kecil menghancurkan bangunan bersejarah’’.

Memang, ada sekelompok pejabat daerah yang pernah menyoal, kenapa harus melestarikan bangunan-bangunan peninggalan Belanda? Kan malah jadi malu, diingatkan kembali bahwa kita dulu pernah dijajah Belanda selama 350 tahun. Bongkar sajalah, lupakan bahwa kita adalah keturunan bangsa terjajah, budak, kuli......

Menurut saya, itu pandangan yang keblinger dan bisa menyesatkan. Sejarah adalah sejarah, tidak bisa diubah atau ditutup-tutupi. Waktu tidak bisa kembali. Mestinya kita berkisah terbuka pada anak-cucu, bahwa memang dulu kita pernah dijajah Belanda tiga setengah abad. Tambah dijajah Jepang dua setengah tahun. Tetapi para pahlawan dan pejuang pendahulu kita, bersama-sama dengan rakyat, hanya berbekal bambu runcing, berhasil mengusir para penjajah. Dan kita berhasil pula menjadi negara yang merdeka, sejajar dengan negara-negara kolonialis itu. Nah, akan tumbuhlah national pride atau civic pride di kalangan generasi penerus.
Ambil Hikmah Dari fenomena bunuh diri budaya yang merebak di berbagai pelosok kota-kota di Indonesia, kita semua mesti bisa mengambil hikmahnya. Kita mafhum memang sudah ada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya dan penjabarannya berupa Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun1993. Namun dalam era desentralisasi dan otonomi daerah, kiranya perlu direkomendasikan agar setiap daerah wajib menyusun rencana konservasi dengan format dan substansi yang komprehensif.

Tidak sekadar berupa daftar bangunan bersejarah yang dinilai layak dikonservasi, tetapi juga menyangkut kawasan bersejarah, bahkan bila perlu sampai ke aras kota bersejarah (historic town).

Rencana konservasi yang dirumuskan kemudian disusun secara ilmiah dan profesional itu, mesti dikukuhkan dengan peraturan daerah agar mengikat siapa pun juga yang menjadi pimpinan daerah.

Kota Semarang sudah lumayan, memiliki SK Wali Kota tentang Konservasi Bangunan Bersejarah, tetapi sayang sekali belum diperdakan. Mudah-mudahan segera, syukur kalau bisa oleh wali kota yang sekarang. Barang tentu dengan penyempurnaan sesuai hasil penelitian yang mutakhir.

Selain rencana konservasi yang diperdakan perlu disiapkan juga tentang sistem pengelolaan atau manajemennya yang efektif. Khususnya para arsitek, perencana kota, seniman, budayawan, mesti bersatu padu ikut membantu pemikiran dan menyusun panduan perancangan. Tidak kalah penting adalah upaya yang lebih serius dalam kegiatan sosialisasi ke segenap lapisan masyarakat. (10)

— Eko Budihardjo, guru besar arsitektur dan perkotaan Undip, anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)
OPini Suara Merdeka 20 Februari 2010