17 Februari 2010

» Home » Suara Merdeka » Menakar Jumlah Ideal Daerah

Menakar Jumlah Ideal Daerah

SALAH satu persoalan berkaitan dengan otonomi daerah (otda) adalah terus bertambahnya jumlah daerah otonom baru seperti tanpa kendali. Terkait dengan hal ini muncul banyak pendapat bahwa perlu ada desain terencana.

Saat membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) di Madiun, 19 Januari lalu, Presiden SBY mengatakan bahwa grand design pemekaran wilayah tuntas tahun ini. Februari tahun lalu, Mendagri (waktu itu) Mardiyanto juga menargetkan grand design otda selesai pada 2009 sebelum masa jabatan Kabinet Indonesia Bersatu 1 berakhir.


Salah satu pertanyaan penting yang muncul di sini adalah berapa sebetulnya jumlah ideal daerah di negeri ini dan apa pula implikasinya kemudian? Untuk memperoleh gambaran bagaimana kondisi Indonesia dibandingkan negara lain, laporan United Cities and Local Government (2009) dapat menjadi rujukan. Dari laporan itu, bila dibandingkan negara lain di Asia Pasifik, seperti dalam jumlah daerah otonom di sini jauh lebih sedikit, dengan besaran daerah yang lebih tinggi.

Tahun 2007, jumlah pemerintahan lokal Filipina 1.621 dengan rata-rata penduduk 51.300 jiwa. Jumlah daerah di Malaysia 144, rata-rata penduduknya hanya 175.000 jiwa. Padahal pada tahun tersebut, rata-rata penduduk daerah di Indonesia mencapai 483.556 jiwa dengan jumlah kabupaten/kota 450.

Rata-rata jumlah penduduk per daerah tersebut adalah tertinggi di Asia Pasifik, lebih tinggi dari rata-rata China (543.147 jiwa dengan total daerah 2.860).

Sejauh ini pemerintah memang belum memberikan arah yang jelas soal jumlah daerah otonom yang ideal. Hanya angka pengandaian 40 untuk jumlah provinsi, pernah dimunculkan Mendagri Mardiyanto, tahun lalu. Tidak ada pengandaian lain untuk tingkat kabupaten/kota. Beberapa pihak, dengan caranya masing-masing, pernah mencoba menakar jumlah daerah otonom tersebut.

Tidak Cukup

Tahun 2006, Djohermansyah Djohan, guru besar ilmu pemerintahan IPDN menyebutkan perkiraan kasar jumlah daerah dalam 20 tahun ke depan adalah 40 provinsi, 400-an kabupaten, dan 100-an kota. Bagaimana angka-angka ini muncul, tidak cukup tereksplorasi.

Sementara itu, Djoko Harmantyo, pakar geografi UI dalam tulisannya (2007) menghasilkan angka ideal 460 daerah otonom (kabupaten/kota), di bawah koordinasi 46 provinsi yang bisa bertahan setidaknya sampai 2050.

Dengan catatan masing-masing daerah ini berkembang merata menjadi kota metropolis berpenduduk mendekati 1 juta jiwa. Teori tempat sentral dan model konflik spasial dipakai untuk memperkirakan jumlah ideal tersebut.

Secara empiris, jumlah penduduk 500 ribu jiwa menjadi ukuran jumlah penduduk sebuah kota. Dengan jumlah penduduk Indonesia (tahun 2005) sebanyak 230 juta, dibagi 500 ribu jiwa maka dapatlah angka 460 daerah.

BPS pernah membuat perkiraan penduduk Indonesia tahun 2025 bisa lebih dari 263 juta orang, kalau program keluarga berencana (KB) tidak dipacu lagi. Bila jumlah ini tetap dibagi 500 ribu jiwa, maka jumlah daerah mencapai 526.
Adapun Sjafrizal, guru besar ekonomi regional Universitas Andalas menyebutkan jumlah provinsi maksimal yang ideal sampai 2025 adalah 40.

Angka ini dari analisisnya (2008) dengan dua aspek utama, yakni faktor pemicu pemekaran (perbedaan agama, perbedaan etnis/budaya, ketimpangan pembangunan, luas daerah) dan faktor kelayakan pemekaran daerah (kemampuan keuangan daerah, pertumbuhan ekonomi daerah, kualitas sumber daya manusia). Dari tambahan tujuh provinsi baru tersebut, lima berada di Sumatra.

Bila mengacu pada perkiraan-perkiraan tersebut, jumlah kabupaten/kota saat ini pun sudah melampaui batas ideal. Masih jauh dari tahun 2025 atau 2050 namun jumlah kabupaten/kota sudah hampir 500. Artinya, dari sini ada indikasi bahwa pemekaran daerah sudah berlebihan sehingga logis jika ada desakan agar hal ini dihentikan sementara.

Di sisi lain,  masih ada ruang lumayan lebar untuk munculnya provinsi baru. Hal ini perlu pula dicermati karena sangat mungkin pemekaran daerah kabupaten/kota kemudian berujung pada upaya pembentukan provinsi baru.

Entah pendekatan apa yang digunakan oleh Depdagri dalam menghasilkan desain besar pemekaran wilayah. Yang pasti urusannya tidaklah sederhana. Banyak aspek yang harus dipertimbangkan dan hampir semua faktornya bersifat dinamis. Hanya luas daerah saja yang relatif ajek. Artinya kompleksitas kalkulasi bisa tinggi.

Katakanlah pada data penduduk (yang pasti akan menjadi bagian dari kalkulasi) bisa berhadapan langsung dengan pertanyaan berapa sebenarnya jumlah penduduk Indonesia (atau per wilayah). Ingat saja konflik data jumlah pemilih tetap (DPT) pada pemilu lalu yang juga dikhawatirkan akan terjadi pada pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun ini.

Demikian pula, bila aspek pluralitas jadi pertimbangan jika tidak hati-hati malah merusak pluralistas itu sendiri. Soal pluralitas ini kiranya sangat penting untuk dicermati mengingat implikasi sosialnya bisa demikian luas dan terkesan mengingkari acuan mendasar pembentukan negara ini.

Selain itu adalah penting pula mencegah desain pemekaran wilayah tidak malah sengaja mengejar jumlah daerah seperti yang ada di negara lain.

Hendaknya implikasi panjang di balik angka yang kelak keluar telah dikalkulasi pula. Termasuk di sini makin banyak potensi konflik keruangan, seperti diingatkan Djoko Harmantyo, karena jumlah garis batas antarwilayah, yang sering menjadi sumber konflik, semakin banyak, terutama garis batas darat.

Dengan model heksagonal Christaller, potensi konflik keruangan (dan sebaliknya jumlah kerja sama antardaerah) adalah enam kali jumlah daerah. Belum lagi dengan potensi konflik yang berawal dari pengabaian pluralitas.

Mudah-mudahan implikasi-implikasi semacam ini dikalkulasi matang dalam membuat desain besar pemekaran wilayah. Rasanya akan baik jika pemerintah membuka informasi yang cukup lengkap soal bagaimana proses perencanaan saat ini dilakukan. Hal ini penting supaya publik pun bisa menilai apakah pertimbangan dan implikasi desain besar pemekaran wilayah sudah benar-benar dikalkulasi secara matang. (10)

— Aloysius Gunadi Brata, dosen prodi ilmu ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Wacana Suara Merdeka 18 Februari 2010