17 Februari 2010

» Home » Media Indonesia » Century dan Masa Depan Partai Demokrat

Century dan Masa Depan Partai Demokrat

Indonesia dengan budaya feodalistis dengan rakyat yang masih berkutat dengan kemiskinan dan demokrasi yang masih muda, kualitas sistem demokrasinya 'pura-pura'. Kekuasaan politik sesungguhnya dipegang oleh elite politik yang sudah mapan, berkolaborasi dengan para pemilik uang, maka fungsi partai politik sebenarnya tidak begitu dominan jika dibandingkan dengan peranan figur. Tokoh-tokoh utama atau kader politik yang menjalankan Partai Demokrat saat ini juga selalu melakukan blunder politik karena mungkin mabuk kekuasaan, ketidakmatangan politik, kualitas pribadi. Tokoh-tokoh utama Partai Demokrat seperti Ahmad Mubarak, Amir Syamsudin, Ruhut Sitompul, Anas Urbaningrum adalah figur-figur dengan kualitas tertentu dan hebat di bidang lain, tetapi dalam bidang politik kualitas mereka ini masih kalah jauh di bawah tokoh-tokoh partai politik lainnya.


Dengan asumsi ini maka sebenarnya faktor penentu utama kemenangan Partai Demokrat pada Pemilu 2009 dan SBY pada pilpres tahun yang sama sebenarnya bukan karena partai politiknya, melainkan faktor pribadi dan orang atau oknum SBY-nya. Oknum maupun orang yang dimaksud di sini tidak juga karena kualitasnya, tetapi bisa karena situasi demokrasi yang distortif atau peranan unsur lain yang dominan seperti jaringan atau dana kampanye yang besar. Dari hipotesis ini, tulisan ini akan mencoba menganalisis bagaimana nasib Partai Demokrat pada 2014 dengan mengambil isu penyelesaian Bank Century.

Sebagaimana dilansir di berbagai media, sikap-sikap Partai Demokrat dalam kasus Bank Century berbeda dengan pendapat BPK sebagai badan pemeriksa keuangan konstitusional dan lembaga resmi, serta beberapa pendapat pejabat yang integritasnya dipercaya rakyat. Partai Demokrat justru menganggap bahwa tidak ada masalah pelanggaran hukum dalam penanganan Bank Century. Semua sudah sesuai peraturan dan tidak ada yang melakukan pelanggaran kebijakan apalagi kemungkinan keterlibatan dalam tindak pidana korupsi. Sikap partai ini memang sudah bisa diduga sejak awal di saat mereka menolak pembentukan panitia khusus untuk menilai kasus ini. Namun karena desakan rakyat, akhirnya Partai Demokrat menyampaikan persetujuannya dengan hasil yang kita sebutkan di atas.

Sikap Presiden bisa kita nilai mengambang dan tidak konsisten. Pada awal inisiasi pembentukan pansus ini SBY memiliki pendapat yang sama, tidak perlu ada pansus itu. Karena itu Partai Demokrat menolak semua kemungkinan pembentukan pansus pada awalnya. Namun kembali lagi, sebagaimana biasa, karena desakan dan tuntutan masyarakat yang begitu besar akhirnya SBY melantunkan pidato yang sangat 'ideal', beliau ingin agar kasus ini diungkap secara terang benderang sehingga tahu siapa yang salah dan siapa yang benar. Beliau juga mengaku tidak satu sen pun dana kampanye SBY dari sumber yang haram. Anehnya, sikap SBY yang sesuai dengan hati nurani dan tuntutan masyarakat ini tidak sejalan dengan sikap Partai Demokrat. Mengapa?
Ini menunjukkan pertama, kebenaran hipotesis di atas bahwa yang menonjol adalah orang. Artinya sikap Partai Demokrat adalah sikap SBY. Sikap SBY yang dimaksud adalah sikap substansial yang mungkin disampaikan di balik layar, bukan sikap normatif yang disampaikan di dalam pidato-pidato. Secara logika memang tidak ada kemungkinannya ada seorang Menteri Keuangan sebagai pembantu yang berani memutuskan suatu keputusan penting tanpa persetujuan bosnya, yaitu Presiden. Apalagi waktu itu Wakil Presiden Jusuf Kalla tidak dilibatkan. Walaupun pidato SBY meminta agar kasus ini dibuat terang benderang, kenyataannya sebaliknya, masalah Bank Century ditutup saja tanpa harus menindak mereka yang mengambil kebijakan yang merugikan negara. Kedua, ini menunjukkan sikap ketakutan atau sikap 'kalap' SBY atau mungkin juga sikap kader Partai Demokrat yang tidak matang yang tidak mampu bermain dalam pansus dengan kader-kader yang lebih berkualitas dengan argumen kuat. Apa dampak sikap mendua ini dan melawan arus kebenaran serta nurani rakyat ini terhadap nasib Partai Demokrat khususnya pada Pemilu 2014?

Sebagaimana diketahui, proses pembelajaran demokrasi akan terus berjalan menuju situasi yang distorsi demokrasi (Harahap, Media Indonesia, 2010) akan semakin hilang. Artinya sistem demokrasi kita akan menuju proses semakin baik. Hal ini terjadi karena jumlah rakyat yang melek politik dan demokrasi semakin banyak, tingkat pendidikan masyarakat meningkat, dampak positif dari teknologi media massa serta media internet seperti Facebook semakin luas. Kenyataan di lapangan menurut pengamatan penulis menunjukkan bahwa tingkat pemahaman masyarakat bawah seperti misalnya sopir taksi, ibu rumah tangga, petugas parkir, pegawai rendah, petugas kebersihan, ataupun satpam sudah semakin memahami substansi yang sebenarnya. Menurut saya, hal ini bukan disebabkan oleh 'unbalance coverage' oleh media massa seperti yang dituduhkan pendukung pemerintah, melainkan karena kualitas pemahaman masyarakat semakin meningkat. Kasus pengumpulan koin untuk Prita, Bilqis, kasus Bibit Chandra, bahkan kasus Antasari merupakan suatu bukti bahwa rekayasa proses legal formal tidak akan berhasil membungkam kesadaran masyarakat akan tuntutan keadilan dan kebenaran.

Jika kepentingan partai dan SBY serta strategi jangka panjang yang menjadi dasar, saya menilai sungguh sangat aneh bin ajaib jika Partai Demokrat dalam menyikapi kasus Bank Century dan isu koalisi partai seblunder hari-hari ini. Jika seandainya Partai Demokrat elegan dan mempertimbangkan strategi jangka panjang terutama menghadapi 2014, sesuai dengan perintah SBY untuk membuat kasus ini terang benderang, sudah seyogianya mereka tidak malu-malu mendukung proses membongkar siapa yang bertanggung jawab terhadap 'perampokan' ini. Membela mereka yang salah--apa pun alasannya--bukan sifat jantan, bukan sikap negarawan, bukan sikap profesional, apalagi sikap partai yang bijaksana.

Sikap Partai Demokrat yang 'melawan' aspirasi masyarakat akan keadilan dan kebenaran baik dalam kasus Bank Century, Bibit Chandra, Prita Mulyasari (saat itu SBY tidak berkomentar sedikit pun), kasus hukum wong cilik, akan dikenang oleh memori rakyat sebagai bagian dari pertimbangan memilih wakilnya di parlemen dan presiden/wakil presidennya dalam proses pemilu/pilpres atau pilkada yang akan datang yang semakin kompetitif. Bagi lawan-lawan politiknya, fenomena ini tentu akan terus dimanfaatkan untuk kepentingan politiknya. Kalau sikap ini tidak diubah, saya bisa prediksikan bahwa peranan Partai Demokrat pada Pemilu 2014 tidak akan bisa mempertahankan 'bubble atau bonanza victory' tahun 2009 yang lalu.

Oleh Sofyan S Harahap, Guru Besar FE Universitas Trisakti
Opini Media Indonesia 18 Februari 2010