17 Februari 2010

» Home » Lampung Post » Deregulasi Sistem 'Payment'

Deregulasi Sistem 'Payment'

Achmad Deni Daruri
President Director Center for Banking Crisis
JENDERAL Charles deGaulle pernah mengatakan: "A true leader always keeps an element of surprise up his sleeve, which others cannot grasp but which keeps his public excited and breathless." Seperti halnya perang, keunggulan sebuah sistem pembayaran dan penyerahan ditentukan oleh gabungan dari kompetisi antara speed, safety, fleksibility, dan standard.
Kecepatan dalam transaksi keuangan semakin membutuhkan jaminan keamanan sehingga memerlukan standar aturan yang jelas dan akurat. Keamanan publik haruslah menopang sistem pembayaran dan penyerahan. Tanpa itu, negara tersebut akan kehilangan keunggulan dalam persaingan dalam sistem pembayaran. Dengan demikian, anggaran pendapatan dan belanja negara harus secara jelas mencantumkan jumlah pengeluaran untuk menjamin keamanan transaksi keuangan di Indonesia.


Dalam satuan detik, transaksi dalam satuan ratusan miliar dolar pada saat ini kian sering terjadi. Kapitalisasi dan turnover perdagangan saham, obligasi, mata uang dan derivatif bahkan telah melebih pendapatan domestik bruto sehingga semakin menuntut jaminan keselamatan dari transaksi tersebut. Sistem pembayaran yang baik bukan saja memiliki standar, melainkan juga memiliki standar aturan yang fleksibel. Misalnya dalam krisis ekonomi dan keuangan pada 2008 yang lalu, Singapura dan Malaysia segera menetapkan blanket guarantee terhadap seluruh tabungan (tanpa batas) di dalam sistem perbankan mereka.
Sementara itu, bank swasta nasional seperti Bank BCA yang justru tidak mendapatkan perlindungan seperti bank-bank di Singapura dan Malaysia, ternyata juga dapat melewati krisis global tahun 2008. Sungguh merupakan prestasi yang sangat luar biasa. Boleh dikatakan bahwa bank tersebutlah yang secara lihai mengatasi krisis dan bukan akibat bantuan pemerintah seperti di Singapura dan Malaysia. Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Inggris bahkan melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan keuangan yang berpotensi mengalami risiko too big too fail.
Ada baiknya otoritas moneter dan pemerintah Indonesia juga tanggap terhadap kondisi seperti ini, yaitu menciptakan fleksibilitas yang diperlukan. Fleksibilitas seperti ini yang gagal diantisipasi oleh lembaga regulator keuangan internasional, seperti Bank of International Settlements (BIS) yang pada akhir tahun 2006 hanya menekankan reformasi sistem pembayaran nasional karena: Pertama, perlunya instrumen pembayaran yang bersifat cost efficient.
Kedua, risiko sistem pembayaran dan perhatian akan stabilitas sistem keuangan global. Ketiga, tekanan akan standar pembayaran internasional yang kadang justru tidak melihat akan kemungkinan terjadinya sistemik risk global. Keempat, masuknya sebuah negara dalam kancah pasar perdagangan dan keuangan regional maupun global.
Sayangnya BIS gagal dalam melihat driver utama dari kosongnya daya tangkal sistem pembayaran yang diusungnya. Misalnya, BIS gagal dalam melihat seberapa jauh adanya pengetahuan yang mencukupi akan luasnya cakupan dari sistem pembayaran nasional sebuah negara, apalagi regional maupun global. Belum lagi tidak adanya visi nasional yang jelas akan bentuk sistem pembayaran nasional yang akan dituju. Dengan tidak adanya visi tersebut, maka sistem pembayaran juga berpotensi mengalami kegagalan dari sisi leadership-nya. Seorang pemimpin tidak kalah pentingnya dengan visi itu sendiri.
Jenderal Schwarzkopf pernah mengatakan: "Leadership is a combination of strategy and character. If you must be without one, be without the strategy". Tanpa adanya kepemimpinan dan visi yang jelas, pemebentuk an sistem pembayaran nasional yang tangguh sangat sulit dibuat, apalagi jika pada saat yang sama negara tersebut seakan puas dengan sistem yang disodori oleh lembaga internasional, seperti BIS dan IMF. BIS dan IMF bukanlah pemimpin nasional yang berkepentingan dengan tangguhnya sistem pertahanan dan keamanan nasional, khususnya dalam keandalan sistem pembayaran dan penyerahan.
Seharusnya presiden sebagai pemimpin tertinggi republik berkewajiban memiliki jiwa kepemimpinan yang berorientasi untuk menciptakan sistem pertahanan dan keamanan nasional yang tangguh yang tidak dapat didikte bangsa asing.
Selain itu hambatan dari reformasi sistem pembayaran nasional umumnya diakibatkan oleh tidak adanya informasi tentang keperluan (need) dari kebutuhan pembayaran yang menopang pembangunan yang berkelanjutan. Kebutuhan ini diabaikan seiring dengan tidak sadarnya pemimpin akan kapasitas dari sistem pembayaran nasional. Kapasitas dari sistem pembayaran nasional haruslah terukur dan tidak dapat dianggap canggih dan baik jika seakan-akan segala standar dari BIS dianggap sudah terpenuhi. Kapasitas ini juga ditentukan oleh seberapa jauh disiplin dari regulator sistem pembayaran dapat dijabarkan. Tanpa disiplin maka kepemimpinan tidak akan banyak artinya.
Winston Churchill mengatakan: "Mountaintops inspire leaders but valleys mature them". Hambatan ketiga akibat tidak adanya support dari stakeholder karena mereka tidak mendapatkan konsultasi yang layak dari perencana dan pelaksana pembangunan sistem pembayaran nasional. Padahal hambatan yang sering dikeluhkan adalah tidak adanya sumber dana domestik yang mencukupi untuk membangun sistem pembayaran nasional yang tangguh. Kelangkaan dana memang selalu dianggap permasalahan utama sementara boleh jadi kelangkaan dana ini disebabkan hambatan pasar dari kebijakan dan peraturan hukum dari sistem ekonomi politik negara tersebut.
Dengan demikian, deregulasi sistem pembayaran nasional akan menyangkut aspek yang holistik dari sistem pembayaran tersebut dan tidak dapat sepotong-sepotong saja, misalnya dengan orientasi kekurangan dana pembangunan. Dengan rendahnya pengeluaran pembangunan anggaran pendapatan dan belanja negara Indonesia, masalah pendanaan oleh publik semakin sulit dicarikan solusinya.
Dalam kasus China, potensi China untuk memiliki sistem pembayaran nasional yang tangguh sangatlah mumpuni sehingga banyak pihak sudah memperkirakan bahwa perekonomian China akan menjadi perekonomian nomor satu di dunia melewati Amerika Serikat. China diproyeksikan akan mampu memiliki sistem pembayaran yang lebih tangguh dari sistem BOJ-NET yang dimiliki Jepang.
Diperkirakan China mampu melakukan invetasi terhadap pembangunan sistem pembayaran nasional mereka hingga 10 persen dari produk domestik bruto China. Artinya, bukannya tidak mungkin China juga akan membalap kapasitas sistem pembayaran milik Amerika Serikat. Hal ini dapat terjadi karena China adalah satu-satunya negara di dunia yang memiliki fleksibilitas fiskal untuk menggenjot pengeluaran pembangunannya, termasuk dalam rangka membangun sistem pembayaran nasional China yang tangguh.
Dengan kata lain, teori Keynes hanya mungkin diaplikasikan secara sempurna oleh negara seperti China yang memiliki semua komponen untuk melakukan reformasi sistem pembayaran dari visi, leadership hingga sumber pendanaan pembangunannya. Bahkan hasil yang akan diciptakan oleh sistem pembayaran China akan lebih dahsyat karena sistem ini merupakan antitesis dari sistem yang ada di Amerika Serikat, Uni Eropa, dan BOJ NET.
Seperti yang dikatakan Perdana Menteri China bahwa China akan menjadi negara demokrasi paling cepat 50 tahun lagi. Artinya, visi dan leadership di China akan secara bersifat sustainable berorientasi kepada pembangunan sistem pertahanan dan keamanan, termasuk sistem pembayaran yang tangguh.
Semua negara maju di dunia telah membuktikan kejayaan sebuah negara ditentukan mesin ekonomi negara tersebut dan mesin ekonomi negara tersebut ditentukan kapasitas sistem pembayarannya. Petuah China yang terkenal mengatakan: "Not the cry, but the flight of the wild duck, leads the flock to fly and follow." Untuk itu sistem pembayaran di Indonesia juga harus kompatibel dengan sistem pembayaran China, dan sistem penalti hukuman bagi pembobol bank, termasuk juga penggasak ATM bank harus mendapatkan hukuman yang sangat berat!

Opini Lampugn Post 18 Februari 2010